Sendiri bersama Tuhan

Sendiri bersama Tuhan

Selamat Datang di Pintu Ajaib!

Selamat Datang! Di hadapan Anda, telah berdiri sebuah pintu ajaib yang akan menghubungkan ide-ide labirin otak saya dengan mimpi serta idealisme Anda.
Terima Kasih karena Anda telah mau merengkuh mimpi-mimpi kehidupan seperti halnya burung Gereja yang senantiasa terbang rendah merengkuh mimpi-mimpinya.
Semoga Anda bisa menemukan keajaiban dalam ruang ide manusia yang sungguh ajaib.
---I Will Trust in You---


Perjalanan

Senin, 23 November 2009

KISI-KISI ULANXGAN UMUM SOSIOLOGI KELAS

I. BAB I : SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN
a. Pengertian Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
b. Syarat-syarat Ilmu Pengetahuan
c. Objek Material dan Objek Formal Ilmu Sosiologi
d. Fakta Sosial, Tindakan Sosial, Khayalan Sosiologis
e. Teori-Teori Sosiologi beserta tokohnya= Teori Evolusi, Teori Struktural Fungsional, Teori Konflik, Teori Interaksionisme Simbolik, Teori Pertukaran Sosial
f. Kekuatan Sosial yang mempengaruhi munculnya Sosiologi: Revolusi Politik, Revolusi Industri, Kapitalisme, Sosialisme, Perubahan Keagamaan
g. Sejarah kemunculan ilmu Sosiologi di Indonesia
h. Definisi Sosiologi menurut Auguste Comte, dan Max Weber
i. Konsep Sosiologis: Keluarga, Masyarakat (Community dan Society), Struktur Sosial, Dinamika Sosial, Perubahan Sosial

II. BAB II : NILAI DAN NORMA SOSIAL
a. Definisi Nilai Sosial menurut Kimball Young, George Spindler, Wood, Koentjaraningrat, dan Soerjono Soekanto
b. Jenis-Jenis Nilai Sosial: - menurut Notonagoro; - menurut sumber nilainya
c. Sifat Nilai Moral, Nilai Etika, Nilai Agama, Nilai Hukum
d. Proses Sosialisasi
e. Norma Usage, Folkways, Mores, Customs, Law
f. Peranan Nilai dan Norma Sosial dalam masyarakat
g. Pelanggaran Norma beserta sanksi yang mengikutinya

III. BAB III: INTERAKSI SOSIAL
a. Interaksi sosial dan syarat interaksi sosial
b. Kontak Sosial Primer dan Kontak Sosial Sekunder
c. Pengertian Komunikasi
d. Komunikasi Verbal dan Komunikasi Non verbal
e. Interaksi Sosial Asosiatif: Akomodasi, Asimilasi, dan Akulturasi
f. Interaksi sosial Disosiatif
g. Faktor Pendorong Interaksi Sosial: Imitasi, Sugesti, Identifikasi,Empati


BENTUK SOAL ULANGAN UMUM:
PILIHAN GANDA = 70 BUTIR SOAL
HARI PELAKSANAAN ULANGAN UMUM = KAMIS, 10 DESEMBER 2009
ALOKASI WAKTU = 90 MENIT


SELAMAT MEMPERSIAPKAN ULANGAN UMUM!
TUHAN MEMBERKATI!

Selasa, 29 September 2009

BENTUK SOAL UNTUK ULANGAN BLOK SOSIOLOGI KELAS X:

50 SOAL PILIHAN GANDA

10 SOAL ISIAN SINGKAT (Ketentuan menjawab: Jawaban tidak boleh lebih dari 10 kata)


maturnuwun dan selamat menyiapkan!

freko

Sabtu, 26 September 2009

CATATAN TAMBAHAN MATERI NORMA SOSIAL

A. Pengertian Norma
• Norma adalah patokan perilaku dalam kelompok masyarakat tertentu, yang disebut juga peaturan sosial yang menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya.
• Norma adalah petunjuk hidup yang berisi perintah maupun larangan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama dan bermaksud untuk mengatur setiap perilaku manusia dalam masyarakat guna mencapai kedamaian.
B. CIRI-CIRI NORMA SOSIAL
1. Umumnya tidak tertulis ( lisan )
2. Hasil dari kesepakatan masyarakat
3. Warga masyarakat sebagai pendukung sangat menaatinya
4. Apabila norma dilanggar, ia harus menghadapinya
5. Norma sosial kadang-kadang bisa menyesuaikan perubahan sosial sehingga norma sosial bisa mengalami perubahan

C. Berdasarkan tingkat daya pengikatnya terhadap masyarakat, norma terbagi menjadi enam yaitu :
1. NORMA CARA ( USAGE )
adalah bentuk perbuatan tertentu yang dilakuka nindividu dalam suatu masyarakat tetapi tidak secara terus menerus dan daya ikatnya sangat lemah. Sanksinya ringan, hanya berupa celaan.
Contoh :
Cara makan berdecap (bersuara)
Sanksinya :
Ringan, hanya berupa celaan.

2. NORMA KEBIASAAN ( FOLKWAYS )
adalah suatu bentuk perbuatan yang berulang-ulang yang bentuknya sama dan dilakukan secara sadar serta mempunyai tujuan yang jelas.kebiasaan merupakan bukti bahwa orang menyukai perbuatan itu. Sanksi bagi pelanggar berupa teguran.
Contoh :
Makan dengan tangan kanan.
Sanksinya : (bila melanggar)
Berupa teguran.

3. NORMA TATA KELAKUAN ( MORES )
adalah merupakan aturan yang mendasarkan pada ajaran agama ( akhlak ), filsafat atau kebudayaan.
Contohnya :
Pernikahan dalam satu marga di daerah Sumatera Utara merupakan suatu pelanggaran.
Tata kelakuan juga bisa bersifat mengharuskan dan bisa juga bersifat melarang.
Contoh pelanggaran terhadap norma tata kelakuan adalah berzina, sanksinya berat. Ada yang harus berhadapan dengan massa, dan lain sebagainya

4. NORMA ADAT ISTIADAT ( CUSTOM )
adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya.
contoh:
upacara adat, tata cara pembagian waris
Sanksinya :
Akan mendapat sanksi yang berat misalnya dikucilkan dari masyarakat.


5. NORMA HUKUM ( LAWS )
adalah suatu rangkaian aturan yang ditujukan kepada anggota masyarakat yang berisi ketentuan-ketentuan, perintah, kewajiban dan larangan agar dalam masyarakat tercipta suatu ketertiban dan keadilan.
Norma hukum dibagi menjadi 2, yaitu
1. Norma hukum tertulis.
2. Norma hukum tidak tertulis.

6. NORMA MODE ( FASHION )
adalah cara dan gaya dalam melakukan dan membuat sesuatu yang sifatnya berubah-ubah serta diikuti oleh banyak orang. Ciri-ciri norma mode adalah orang yang mengikutinya bersifat massa. Tindakan yang selalu mengikuti mode disebut modis.
contoh :
meniru potongan rambut, model pakaian

Catatan Tambahan Materi Nilai Sosial


a. Pengertian Nilai Sosial menurut Para Ahli
1. Young
Nilai sosial adalah asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang benar dan apa yang penting.
2. GREEN
Nilai sosial adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap obyek, ide dan orang-perorangan.
3. GEORGE SPINDLER
Nilai sosial adalah pola-pola sikap dan tindakan yang menjadi acuan bagi individu dan masyarakat.
4. WOOD
Nilai sosial adalah petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasaan dalam kehidupan sehari-hari
5. KOENTJARANINGRAT
Nilai sosial adalah konsepsi yang hidup di dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap penting dalam hidup.
6. SOERJONO SOEKANTO
Nilai adalah konsepsi abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.

b. SUMBER-SUMBER NILAI
1. Sumber instrinsik (subjektif)
adl sumber nilai yang terletak di dalam orang atau benda yang bernilai.

2. Sumber ekstrinsik (objektif)
adl sumber nilai yang terletak di luar orang atau benda yang bernilai.

c. Menurut sumbernya, nilai dibagi menjadi tiga, antara lain :
1. NILAI THEONOM
adalah nilai sosial yang bersumber dari Tuhan yaitu melalui ajaran yang disampaikan oleh Tuhan melalui agama. Agama berisi nilai-nilai sosial yang memberikan pedoman bagaimana cara bersikap dan bertindak bagi manusia.
Contoh: Berpuasa bagi orang muslim pada bulan ramadhan; kewajiban untuk memberikan persepuluhan bagi setiap orang protestan.
2. NILAI HETERONOM
adalah nilai sosial yang dirumuskan dari kesepakatan banyak anggota masyarakat. Berisi nilai yang harus dipedomani oleh seluruh warga masyarakat.
3. NILAI OTONOM
adalah nilai sosial yang bersumber dari setiap individu. Contohnya adl J.J Rousseau dari Prancis yang merumuskan konsep Trias Politika, Dr. Sun Yat Sen dari China yang merumuskan konsep San Min Chu I ( nasionalisme, demokrasi dan sosialisme )

d. JENIS-JENIS NILAI
Menurut Prof. Notonagoro
NILAI MATERIAL
adalah segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
Ex : pangan, papan, sandang, dll
NILAI VITAL
adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan kegiatan atau aktivitas.
Ex : api, air, dll
NILAI KEROHANIAN
adalah segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
a. Nilai kebenaran ( RATIO )
bersumber pada unsur akal manusia
b. Nilai keindahan (ESTETIKA)
bersumber pada perasaan manusia
c. Nilai moral ( ETIKA )
bersumber pada kehendak atau kemauan
d. Nilai Ketuhanan (RELIGIUS)
nilai yg tertinggi, sifatnya mutlak dan abadi.

e. CIRI-CIRI NILAI SOSIAL
1. Nilai tercipta melalui interaksi anggota masy.
2. Nilai bukan bawaan sejak lahir, melainkan penularan dari orang lain.
3. Nilai terbentuk dari proses sosialisasi (proses belajar)
4. Nilai sosial dapat memberikan kepuasan sosial dan pemenuhan kebutuhan sosial manusia.
5. Nilai menjadi dasar bagi tindakan dan tingkah laku, baik secara pribadi atau grup dan masyarakat secara keseluruhan, untuk berkembang.
6. Nilai memiliki pengaruh yang berbeda antar anggota masyarakat.
7. Nilai sosial adalah nilai yang bervariasi, tergantung kebudayaan masyarakat itu sendiri.
8. Nilai-nilai dapat mempengaruhi pengembangan pribadi dalam masyarakat secara positif maupun secara negatif.
9. Nilai-nilai juga dapat membentuk pola dan sistem nilai dalam masyarakat.
KISI-KISI UJIAN TENGAH SEMESTER SOSIOLOGI KELAS X

Bab I : SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN
a. Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
b. Sosiologi sebagai ilmu Pengetahuan
c. Sketsa Histori Sosiologi
d. Batasan pengertian Sosiologi menurut tiga tokoh besar Sosiologi
e. Teori-Teori Sosiologi
f. Konsep tentang realitas sosial
g. Fakta sosial, tindakan sosial, dan realitas sosial
Catatan: Materi tentang metode sosiologi tidak diujikan. Bahan ujian yang diambil dari bab I dalam buku cetak sosiologi adalah halaman 1-22.

Bab II : NILAI DAN NORMA SOSIAL
a. Pengertian Nilai Sosial menurut Young, Green, Spindler, Wood, Koentjaraningrat, Soerjono Soekanto.
b. Ciri-Ciri Nilai Sosial
c. Jenis-jenis Nilai Sosial berdasarkan bentuknya dan sumbernya.
d. Macam-macam Nilai sosial: Etika, Agama, Moral, Hukum
e. Pengertian Norma Sosial
f. Ciri-ciri Norma Sosial
g. 6 macam norma berdasarkan tingkat daya pengikatnya
h. Sanksi-sanksi pelanggaran norma dan nilai dalam masyarakat

Perhatian:
a. Sumber acuan untuk belajar adalah:
1. Buku Cetak Sosiologi kelas X
2. Catatan-catatan tambahan dalam blog saya: www.pintuajaibku.blogspot.com

Selasa, 11 Agustus 2009

Teori-Teori Dasar Sosiologi

TEORI-TEORI DASAR SOSIOLOGI

Jika kita merunut alur pemikiran ilmu Sosiologi, terlihat jelas sekali bahwa ada begitu banyak pemikiran para sosiolog yang mempengaruhi perkembangan sosiologi. Namun, dari banyaknya teori-teori itu, perlu rasanya bagi kita untuk mengenal terlebih dahulu 5 teori dasar Sosiologi yang menjadi tiang pancang bangunan ilmu sosiologi itu sendiri.

A. Teori Evolusi
- Premis-Premis (Pernyataan) Teori Evolusi:
1. Sebuah Masyarakat akan senantiasa mengalami perubahan.
2. Perubahan itu akan senantiasa bergerak maju dan tidak akan bergerak mundur.
3. Perubahan yang akan dilalui oleh setiap masyarakat, berjalan dalam tiga tahap:
- Tahap Teologis
Tahap Teologis adalah tahapan di mana masyarakat mencoba mencari penjelasan akan realitas alam dengan berdasarkan pada kekuatan adikodrati. Tahapan teologis memiliki tiga sub-tahapan, yaitu tahap animisme, politheisme, dan monotheisme.
Pada tahapan animisme, masyarakat memandang bahwa setiap benda itu berjiwa.
Pada tahapan politheisme, masyarakat percaya akan kekuatan banyak dewa.
Pada tahapan monotheisme, masyarakat percaya akan kekuatan satu Tuhan.
- Tahap Metafisis
Tahap Metafisis adalah tahapan di mana masyarakat mencoba mencari penjelasan akan realitas alam dengan berdasarkan ide-ide abstrak.
Pada tahapan metafisis ini, masyarakat selangkah lebih maju dibanding dengan mereka yang berada pada tahapan teologis. Pada tahapan ini, orang sudah mulai menggunakan jalan pemikiran yang logis untuk menemukan penyebab dari realitas alam yang ada.
Orang-orang pada tahapan ini, belum mampu membahasakan penyebab itu dengan bahasa yang jelas.
- Tahap Positivisme
Tahap positivism adalah tahapan di mana masyarakat mencoba mencari penjelasan akan realitas alam dengan berdasarkan pada ilmu-ilmu positif. Ini adalah tahapan yang paling modern karena sudah berdasarkan pada alur pemikiran yang logis rasional dan pemikiran itu mampu dibahasakan dengan bahasa-bahasa yang jelas.
4. Perubahan itu akan senantiasa berjalan secara beruntun dan bertahap.

B. Teori Strukturalis Fungsional
- Premis-premis Teori Struktural Fungsional:
1. Setiap masyarakat tersusun atas sistem-sistem kecil.
2. Sistem-sistem yang memiliki daya guna bagi masyarakat, akan bertahan dengan sendirinya di dalam masyarakat itu. Sementara, sistem-sistem yang tidak memiliki daya guna, akan hilang dengan dirinya sendiri.
3. Hilangnya sistem-sistem yang tidak berguna itu juga didukung oleh adanya kekuatan eksternal yang mempengaruhinya.

C. Teori Konflik
- Premis-premis:
1. Setiap orang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri.
2. Masing-masing orang akan berusaha mewujudnyatakan kepentingannya itu.
3. Cara yang digunakan untuk mewujudkan kepentingan itu adalah dengan menggunakan Power (kekuatan). Orang akan sebisa mungkin menguasai orang lain terlebih dahulu agar ia dapat mewujudnyatakan kepentingan pribadinya itu. Hanya dengan menguasai orang lain itulah, ia dapat mencapai kepentingan pribadinya itu. Di sinilah, saling terjadi konflik untuk menguasai.

Catatan: Teori Konflik muncul sebagai kritik atas Teori Struktural Fungsional. Apa yang dikritik teori konflik? Yang dikritik teori konflik adalah pemahaman teori structural fungsional terhadap konsensus. Teori structural fungsional menganggap bahwa consensus (nilai-nilai bersama) adalah sesuatu yang mengikat sebuah masyarakat. Tapi, teori konflik mengkritik bahwa yang mengikat sebuah masyarakat bukanlah consensus itu. Yang mengikat sebuah masyarakat adalah penguasa (si pemilik kekuasaan). Konsensus hanyalah alat buatan si penguasa itu sendiri.

D. Teori Interaksionisme Simbolik
- Premis-Premis:
1. Dalam setiap masyarakat, pasti terdapat individu-individu yang saling berinteraksi satu sama lain.
2. Interaksi itu dilakukan dengan menggunakan symbol-simbol. Simbol-simbol itu berupa bahasa, budaya, tradisi, tanda-tanda, dan sebagainya.
3. Makna-makna symbol yang digunakan dalam proses interaksi itu adalah makna yang sudah disepakati bersama dalam masyarakat itu.

E. Teori Pertukaran Sosial
- Premis-Premis:
1. Setiap individu dalam masyarakat pasti akan melakukan tindakan sosial.
2. Tindakan sosial yang dilakukan pasti memiliki motif. Setiap orang akan selalu memiliki alasan terpendam dalam melakukan tindakan tersembunyi itu.

Senin, 10 Agustus 2009

Sketsa Historis Sosiologi

Catatan Tambahan Pelajaran Sosiologi
SKETSA HISTORIS SOSIOLOGI
(Merunut Jejak-Jejak Kelahiran Sosiologi)


A. Perspektif (Cara Pandang) Umum
Sebelum melihat sketsa historis kemunculan Sosiologi, cara pandang umum yang harus menjadi titik tolak kita adalah bahwa sebuah teori ilmu pengetahuan senantiasa lahir untuk menanggapi realitas sosial yang tengah terjadi saat itu. Setting sosial menjadi latar belakang munculnya setiap teori ilmu pengetahuan. Realitas masyarakat yang sedang terjadi menjadi titik tolak yang membuat para ahli menelurkan ide-ide brilliant tentang dunia ini. Biasanya, sebuah teori baru yang muncul adalah suatu tanggapan atas realitas negative yang dimunculkan dari adanya penyimpangan-penyimpangan yang ada dalam dunia ini. Dengan kata lain, teori-teori ilmu pengetahuan lahir dengan menawarkan solusi (jalan keluar) bagi realitas-realitas negative tersebut.

B. Kekuatan-Kekuatan Sosial yang Berpengaruh
Sebagai salah satu ilmu positif, Sosiologi juga lahir sebagai tanggapan atas situasi negative yang ada pada masyarakat saat itu. Situasi masyarakat yang terjadi saat itu, muncul karena adanya kekuatan-kekuatan sosial yang tumbuh pada masyarakat. Berikut adalah kekuatan-kekuatan sosial itu:
1. Revolusi Politik
Revolusi Politik terjadi di Perancis pada tahun 1789. Revolusi Perancis merupakan gerakan rakyat yang lahir untuk melawan Absolutisme Raja Louis XIV. Kala itu, sistem pemerintahan Teokrasi yang menempatkan seorang Raja sebagai (wakil) Tuhan di dunia, cukup menjadi lahan subur bagi tumbuhnya absolutism di Perancis. Raja memiliki kekuasaan yang tak terbantahkan oleh siapapun. Kala itu, setiap orang yang melawan titah Raja akan dianggap sebagai pemberontak Tuhan dan dijebloskan ke dalam Penjara Bastille. Karenanya, Penjara Bastille dianggap sebagai symbol Absolutisme Louis XIV.
Karena rakyat tidak tahan lagi pada situasi ketidakadilan yang dimunculkan raja, maka mereka melakukan revolusi dengan menyerang Penjara Bastille pada tahun 1789. Dengan semboyan Liberte, Egalite, dan Fraternite, kekuasaan Raja Louis XIV berhasil dijatuhkan. Pecahnya revolusi Perancis berperan besar bagi perkembangan teori sosiologi. Dampak revolusi ini terhadap masyarakat sangatlah dahsyat dan banyak perubahan positif yang dihasilkan. Tetapi, yang menjadi sasaran perhatian kebanyakan ahli bukanlah dampak positif itu, tapi dampak negative yang muncul. Revolusi Perancis telah memunculkan Chaos dan tindakan anarkis rakyat. Situasi masyarakat menjadi tidak stabil dan keamanan tidak lagi menjadi sesuatu hal yang dapat dijamin.
Atas dasar kemunculan dampak negative itulah, teori sosiologi muncul untuk menanggapinya dan mencari solusi atas masalah sosial tersebut.
2. Revolusi Industri
Revolusi Industri terjadi di Inggris. Revolusi Industri bukanlah kejadian tunggal, tetapi merupakan puncak dari perubahan sistem kehidupan dunia Barat yang tadinya dari corak sistem pertanian, menjadi sistem industry. Kala itu, banyak orang yang meninggalkan usaha pertanian dan beralih ke pekerjaan industry yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik yang sedang berkembang. Para pemilik modal mulai enggan menggunakan tenaga manusia. Mereka lebih suka menggunakan mesin-mesin industry yang dirasa lebih efektif. Banyak pekerja yang harus kehilangan pekerjaan sehingga angka pengangguran semakin meningkat. Sistem ekonomi yang dipakai saat itu adalah sistem ekonomi Kapitalis. Di dalam sistem ini, pemilik modal (kapital) adalah pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan yang besar. Sementara, sebagian besar orang yang merupakan para pekerja, harus menerima upah rendah yang tidak setimpal dengan jumlah jam kerja mereka.
Dampak yang muncul dan dirasakan dari adanya sistem ekonomi Kapitalis adalah: 1) Perkembangan ekonomi antara di kota dan di desa menjadi tidak merata. Sebab, banyak tenaga-tenaga produktif desa yang lebih senang memilih untuk pergi bekerja di kota yang merupakan pusat industry. Akibatnya, lahan di desa tidak terolah dan tidak menghasilkan hasil produksi yang mencukupi. 2) Terjadi kesenjangan antara desa dan kota. Desa menjadi semakin miskin, sementara kota menjadi semakin kaya karena industry hanya dipusatkan di kota besar.
Situasi semacam itu melahirkan reaksi penentangan dari rakyat kecil, terutama kaum buruh. Reaksi itu mengkristal dalam ledakan gerakan buruh dan berbagai gerakan radikal yang pastinya menimbulkan pergolakan sosial dahsyat dalam masyarakat. Sosiologi lahir untuk menanggapi pergolakan negative yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Sosiologi yang muncul lebih bersifat terapan.
3. Sosialisme
Sosialisme merupakan Gerakan yang muncul sebagai bentuk protes rakyat kecil atas sistem kapitalisme / sistem industri yang memiskinkan mereka. Sosialisme menjadi faham yang ingin menghancurkan sistem kapitalis ini. Bagi faham sosialisme, prinsip utama yang dipegang adalah bahwa tidak ada kepemilikan pribadi. Semua sumber daya dimiliki oleh seluruh rakyat secara bersama-sama.
Ternyata gerakan sosialisme ini menjadi sebuah revolusi sosial yang tidak memberikan jalan keluar bagi permasalahan yang dimunculkan oleh sistem ekonomi kapitalis. Sosialisme cenderung memunculkan ketidakadilan sosial di dalam masyarakat dan mensituasikan masyarakat menjadi malas. Karenanya, sosiologi lahir dan berkembang lebih sebagai reaksi untuk menentang sosialisme ini.
4. Feminisme
Situasi yang mendominasi separuh waktu dunia ini adalah bahwa wanita selalu ditempatkan sebagai makhluk nomor dua di bawah kaum laki-laki. Ide agama yang menunjukkan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki, menjadi dasar yang menguatkan pandangan bahwa laki-laki adalah kaum yang berada di atas kaum wanita. Pandangan itu yang juga mewarnai situasi kehidupan sosial kala itu. Para tenaga kerja wanita dihargai lebih murah dibanding tenaga kerja pria. Para wanita juga tidak memiliki hak politik dan hak bersuara dalam kehidupan bernegara.
Melihat bahwa kaumnya ditindas oleh sistem masyarakat, maka muncullah perempuan-perempuan yang mulai berani menyuarakan kesamaan hak antara perempuan dengan laki-laki. Gerakan itu dinamai Feminisme. Dari sisi maksud dan tujuan, gerakan ini baik. Namun, dalam prakteknya, ternyata para aktivis gerakan itu cenderung menjadi ekstrem. Mereka ingin menjadikan kaum laki-laki di bawah perempuan. Bukannya membuat keduanya menjadi sama.
Kenyataan negative itulah yang membuat sosiologi muncul. Sosiologi muncul untuk mengkritisi kecenderungan negative para aktifis feminis yang ekstrem tersebut.


5. Urbanisasi
Urbanisasi adalah gerakan perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Arus urbanisasi menjadi meningkat drastis pada situasi setelah revolusi industry. Banyak orang berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan dan meninggalkan desanya dengan segala sumber daya yang dimilikinya. Pada titik ini, urbanisasi telah membuat desa kehilangan tenaga potensialnya untuk mengolah sumber dayanya sehingga itu membuat desa kehilangan penghasilannya. Selain itu, urbanisasi juga telah memunculkan serangkaian masalah sosial yang negative, seperti kepadatan penduduk di kota, angka pengangguran yang tinggi di kota, tingginya angka kriminalitas di daerah perkotaan, serta kemacetan yang tak terkendali.
Masalah-masalah sosial itulah yang pada akhirnya menjadi bahan kajian yang membuat sosiologi muncul di tengah masyarakat ini.
6. Perubahan Keagamaan
Perubahan keagamaan bukanlah sebuah masalah sosial. Perubahan keagamaan hanyalah suatu wacana yang ikut menentukan perkembangan pesat ilmu sosiologi. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi politik, revolusi industry, dan urbanisasi, telah berpengaruh besar terhadap religiositas masyarakat. Pada waktu itu pun, ide-ide keagamaan juga masih menjadi paham yang banyak dipercaya dan diikuti oleh banyak orang.
Kecenderungan umum itu yang dimanfaatkan oleh para sosiolog-sosiolog awal. Mereka memasukkan ide-ide agama agar teori itu mudah diterima oleh masyarakat saat itu. Sebab, masyarakat saat itu, lebih mudah menerima kebenaran yang terbungkus dalam pemikiran agama.

Selasa, 12 Mei 2009

BAHAN ULANGAN HARIAN III AGAMA KATOLIK KELAS 2

Frenzzz...
bahan untuk ULANGAN HARIAN III adalah ABORSI, EUTHANASIA, dan SUICIDE...
WOMAN'S ABUSE tidak menjadi bahan ulangan kita.

Jadwal ulangan harian III:
XI IPA 2 : Kamis, 14 Mei 2009
Selasa, 19 Mei 2009 : XI Ipa 1,3,4 dan XI Ips 1-3

Format Ulangan Harian III:
Pilihan Ganda : 25 soal
Essay: memilih 1 soal dari 3 soal yang tersedia

Selamat mempersiapkan!!!

Jumat, 08 Mei 2009

EUTHANASIA

Kata Euthanasia berasal dari bahasa Yunani: (eu = baik) dan (thanatos = kematian). Secara harafiah, euthanasia berarti “mati baik”. Dalam bahasa medis, euthanasia dimaksudkan sebagai suatu bentuk pertolongan yang diberikan dokter kepada pasien yang akan meninggal agar dia meninggal tanpa rasa sakit, menderita, dan sengsara. Barulah pada abad ke-20, prakteek euthanasia dimaksudkan sebagai membunuh secara langsung dan tanpa rasa sakit terhadap seorang pasien yang tidak mungkin lagi dapat sembuh dan mau segera mati (daripada terus menderita). Kematiannya dipercepat dengan mengunakan injeksi yang mematikan. Selanjutnya, terjadi penyimpangan yang lebih jauh dalam praktek euthanasia karena itu menjadi pembunuhan terencana dan terprogram terhadap sesame manuisa yang secara sosial dan ekonomi tidak lagi menguntungkan dunia, khususnya mereka yang cacat mental dan cacat fisik.

A. Distinksi (Pembedaan)
Para dokter senantiasa membedakan antara euthanasia negative dan positif. Euthanasia negative adalah tidak memberikan (menghentikan) pelayanan medis kepada pasien terminal sehingga dia meninggal secara alami. Hidupnya tidak diperpanjang secara buatan (bantuan alat-alat). Euthanasia negative juga disebut euthanasia tidak langsung (pasif). Dalam euthanasia pasif, keadaan pasien sudah diketahui yakni bahwa dia akan mati secara cepat atau lambat. Penghentian perawatan medis tidak dimaksudkan secara langsung untuk membunuhnya. Jadi, kematian pasien tidak disebabkan oleh penghentian pelayanan medis, tetapi oleh penyakit yang diderita pasien itu.
Euthanasia positif merupakan pelayanan terapeutik yang dirancang untuk mempercepat kematian si pasien dari yang seharusnya terjadi. Euthanasia jenis ini juga disebut sebagai “mercy killings”. Ungkapan tersebut hanyalah sebuah eufemisme dari tindakan membunuh pasien secara terencana. Euthanasia positif ini memang dimaksudkan untuk segera mengakhiri kehidupan pasien dan alasan utama yang umumnya diajukan adalah “belaskasihan” pada pasien: daripada dia menderita lebih baik kehidupannya diajukan saja. Dalam perdebatan medis, euthanasia positif harus didasarkan pada kehendak rela dari pasien bahwa dia menyatakan keinginan bulat untuk meminta dokter bekerjasama agar kematiannya dipercepat. Jadi, tindakan ini memang dimaksudkan untuk mematikan pasien.

B. Problem Moral
B.1. Euthanasia Negatif
Euthanasia negative hanya dimaksudkan sebagai praktek medis di mana segala macam cara untuk memperpanjang kehidupan sudah tidak mungkin lagi sehingga oran dihadapkan pada pilihan meneruskan perawatan atau menghentikannya. Di sini, tidak ada lagi harapan menjadi lebih baik.
Tradisi moral Katolik menerima dan membenarkan suatu tindakan medis yang dimaksudkan untuk menghilangkan rasa sakit dan kegelisahan – walaupun itu mempercepat kematian menjadi suatu akibat yang mungkin dapat terjadi. Hal ini berbeda misalnya dengan menghentikan segala macam pelayanan medis dengan maksud agar pasien dapat meninggal secara alami. Dalam arti yang paling ketat, euthanasia negative adalah mempersingkat penderitaan atau penyakit yang berat dengan menghentikan atau tidak memberikan pelayanan medis lagi. Ide dasarnya adalah tidak memperpanjang penderitaan seorang pasien yang menyebabkan dia tidak bisa mati dengan tenang dan damai.
Masalah moral yang berkaitan dengan euthanasia negatif ini adalah “apakah tidak melakukan tindakan medis dengan tujuan tidak memperpanjang proses kematian baik secara moral?” Umumnya para moralis berpendapat bahwa tidak ada masalah moral yang amat serius dan berat berkaitan dengan euthanasia pasif ini. Euthanasia negative ini dapat secara formal ditolak bila hal tersebut terlalu diperluas dan bila pertimbangannya hanya didasarkan pada asas manfaat atau kegunaan. Ada sejumlah kecenderungan dalam di mana pasien tidak saja dibiarkan agar mati dengan layak, tetapi dengan tidak memberikan pelayanan medis, pasien sengaja untuk dihabisi dengan cara sederhana, terutama untuk mereka yang sakitnya lama sehingga tidak punya potensi ekonomi. Karena itu, profesi medis mesti menyadari imperative untuk menolak setiap prinsip yang dilandasi asas manfaat atau kegunaan yang mendorong praktek euthanasia positif atau memanipulasi euthanasia negative.

B.2. Euthanasia Positif
Di banyak negara, promosi legalisasi euthanasia positif menimbulkan pro-kontra yang luas dalam masyarakat. Sulit diingkari bahwa sebagian masyarakat maju, memiliki landasan hidup falsafah utilitarian dan kurang memiliki respek pada pribadi-pribadi serta kemanusiaan. Mereka melihat euthanasia positif sebagai pilihan untuk bebas dari penderitaan. Ciri masyarakat yang semakin individualistis dimana ikatan kekeluargaan dan saling memperhatikan semakin pudar, telah membuat banyak orang mengalami kesendirian dan perasaan tercampakkan. Mereka itu umumnya amat rentan terhadap penderitaan dan sulit menerima realitas hidup: menderita sakit, makin tua, makin tak berdaya, sendirian. Perjuangan legalisasi euthanasia positif lebih berlandaskan pada argument yang dibangun atas realitas itu sehingga terlihat jelas bahwa perjuangan legalisasi itu hanya sekedar sebagai pelarian dari kenyataan hidup.
Moral tidak dapat menerima dan tidak dapat membenarkan euthanasia positif. Hal tersebut tidak ada yang meragukannya. Upaya penghentian euthanasia positif tidaklah mudah karena yang terlebih dahulu harus dihadapi adalah budaya utilitarian yang telah menjadi ciri kehidupan modern. positif. Hal tersebut tidak ada yang meragukannya. Upaya penghentian euthanasia positif tidaklah mudah karena yang terlebih dahulu harus dihadapi adalah budaya utilitarian yang telah menjadi ciri kehidupan modern. Yang mesti terus menerus dipromosikan sekarang adalah penghargaan terhadap pribadi dan kemanusiaan atas dasar norma moral “jangan membunuh”.
Menurut Bernard Haring, argument utama untuk menolak euthanasia positif terletak pada perspektif kebebasan. Apa yang disebut “bebas untuk mati” dengan memaksakan kematian sesuai dengan keinginan dan kehendak sendiri, sebenarnya bukan ungkapan kebebasan tetapi justru menghilangkan keutuhan kebebasan untuk menerima kematian. Mewujudkan kebebasan memilih dalam kehidupan atas dasar kekuatan manusia dan dalam kematian atas dasar ketakberdayaan manusia, merupakan pengakuan yang paling tepat atas eksistensi keterciptaan manusia dalam dua realitas hidup, yaitu kehidupan dan kematian.
Dari sudut pandang praktis, euthanasia positif sangatlah problematic. Bila euthanasia positif dilegalisasi dan didasarkan pada falsafah manfaat ekonomis, siapa yang harus membuat keputusan final bagi pelaksanaannya? Mereka yang dibunuh dengan “belaskasihan” karena kondisi mereka, tidak dapat membuat keputusan rasional atas dasar keyakinan teguh. Amat mungkin bahwa mereka memutuskan itu karena kecemasan atau rasa salah mereka akan resiko atau kesulitan yang mereka timbulkan bagi keluarga karena keadaan nyata mereka. Dengan rasa salah dalam hati dan ditambah lagi dengan adanya penolakan, yang ada hanyalah penyesalan, mengapa hidup? DI sini, manusia tertekan dan tidak bebas lagi membuat keputusan dan terpaksa memilih mati saja. Banyak orang tua bunuh diri di negara maju karena sikap masyarakat yang memperlakukan orang tua sebagai beban masyarakat. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa di balik topeng upaya rasionalisasi untuk melegalisasi euthanasia, tersembunyi motivasi yang mengerikan, yaitu “marjinalisasi” kehidupan, penghilangan makna kehidupan dan kematian itu sendiri.
Pada titik ini, mesti disadari bahwa moral Kristen berhadapan dengan sebuah kesulitan besar untuk memberikan motivasi yang meyakinkan kepad amereka yang tidak lagi percaya pada penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Demikian juga, kepada mereka yang tidak lagi mampu menangkap nilai dari penderitaan dan pelayanan kasih kepada manusia yang menderita. Di sinilah titik temu moral kristiani dengan etika medis.
Pelayanan kasih merupakan sentral pemahaman dan komitmen moral kristiani dalam pelayanan terhadap kehidupan. Kehidupan diterima sebagai pemberian dan karenanya mesti diperlakukan dengan hormat, syukur, dan bertanggungjawab. Sakit dan penderitaan adalah bagian integral dari kehidupan. Dalam Kristus, manusia menemukan makna dan nilai penderitaan walaupun penderitaan itu pada dirinya adalah negative. Karena itu, kesengajaan untuk mengambil atau menghabisi kehidupan seseorang, tidak dapat dibenarkan oleh moral kristiani. Euthanasia positif ditolak dan dinilai immoral.

C. Pendapat Pro-Kontra Euthanasia
C.1. Pendapat yang mendukung Euthanasia:
a. Kehidupan seseorang yang menderita sakit terminal, tidak lagi bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat. Dia juga tidak lagi memiliki tugas-tugas yang dapat dia jalankan bagi dirinya maupun bagi orang lain. Memperpanjang masa hidupnya (masa sakitnya), tidak member manfaat apa-apa selain beban baginya dan bagi orang lain. Karenanya, masuk akal kalau kehidupannya dihentikan saja.
b. Dalam menghadapi dua hal jahat, orang mesti memilih kejahatan yang lebih ringan. Memperpanjang penderitaan seseorang merupakan suatu kejahatan yang lebih berat dibandingkan dengan menghentikan kehidupan seseorang.
c. Adalah tidak manusiawi dan tidak masuk akal bila memperpanjang hidup seorang pasien terminal sementara dia sendiri tidak menghendakinya lagi.
d. Mereka yang tidak percaya akan Allah, sah saja mengatakan bahwa mereka adalah tuan atas kehidupan mereka sehingga dapat dengan bebas memutuskan sendiri untuk menghentikan kehidupan.
e. Kebebasan orang untuk berbuat sesuatu hendaknya tidak dibatasi.
f. Euthanasia positif sukarela adalha tindakna belaskasih terhadap keluarga dan masyarakat karena dengan itu, pasien memilih untuk tidak membebani keluarganya dengan memperpanjang masa penderitaannya karena akan memakan biaya dan tenaga.
g. Orang beriman percaya bahwa Allah yang menganugerahkan kehidupan. Tetapi, tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengintervensi kehidupan kita, karena Allah mempercayai kita sebagai pemelihara kehidupan. Jadi, masuk akal bahwa Allah tidak menghendaki kita menderita secara tidak perlu dan kita dapat mengakhiri penderitaan itu.

C.2. Pendapat yang menolak Euthanasia:
a. Tradisi Barat dan filsafat Teistis, menolak pembunuhan langsung. Argumen dasarnya adalah bahwa Allah adalah penguasa langsung kehidupan manusia. Kita hanya mengatur dan memelihara kehidupan kita, tetapi kita bukanlah pemiliknya.
b. Manusia sebagai makhluk rasional adalah dasar dari moralitas. Dibenarkan bahwa manusia mengintervensi kehidupannya demi meningkatkan mutu dan peluang hidup. Tidaklah bijaksana menghentikan penderitaan dengan mengakhiri kehidupan. Lebih masuk akal, bila intervensi itu dimaksudkan untuk menghilangkan sakit dan penderitaan serta bukan membunuh pasien. Dalam hal ini, sekarang sudah muncul banyak obat medis untuk menghilangkan rasa sakit itu.
c. Menyebut euthanasia positif mengandaikan bahwa si pasien dengan bebas dan sukarela, meminta untuk mati. Demi menghindari kesalahpahaman dan penyimpangan maka sebaiknya si pasien mengajukan permintaan tertulis dan ditandatangani di hadapan saksi. Pertanyaannya, apakah pasien tersebut sungguh berada dalam posisi bebas dan mampu menyatakan serta mengevaluasi kehidupannya sehingga dengan rela pula meminta untuk mengakhiri kehidupannya? Jadi, persoalannya persis menyangkut kebebasan utnuk menyatakan keinginannya. Dapatkah dijamin bahwa di sana tidak ada tekanan, dan penciptaan kondisi marjinal bagi si pasien sehingga dia merasa terbuang, tidak berguna, dan frustasi?
d. Waktu bagi injeksi mematikan biasanya ditentukan. Hal itu persis sama dengan eksekusi hukuman mati. Banyak negara menolak hukuman mati karena tidak manusiawi. Adalah kejam sekali bila menentukan kapan seseorang harus mati, apalagi jika memberitahukannya kepada pasien itu.
e. Siapa yang harus menentukan dan mengatur injeksi mematikan? Pelaku mestinya bukan dokter karena hal itu bertentangan dengan sumpah profesinya.
f. Euthanasia positif adalah tidak manusiawi. Euthanasia positif itu tidak sama dengan “mati dengan hormat dan tenang”. Kemungkinan kejahatan di dalamnya berkaitan dengan legalisasi euthanasia, akan menghantui dan menakutkan bagi orang-orang usia lanjut karena jika mereka sakit, maka itulah kesempatan mengeksekusi mereka dan mengeliminasi mereka dari kehidupan dan lingkungan sosial. Adalah lebih manusiawi jika membiarkan alam kehidupan berjalan apa adanya, dan jika kematian datang, biarlah dia datang, tanpa ada campur tangan manusia atau kuasa manusia untuk mengontrolnya.

BUNUH DIRI? JALAN KELUARKAH?

Perkembangan kehidupan manusia menghadirkan sebuah situasi yang kontradiktif. Ketika masyarakat dunia modern mencapai tingkat kemajuan sosial-ekonomi dan teknologi yang tinggi, tingkat presentasi problem kemanusiaan tidak menunjukkan grafik penurunan. Justru kemajuan itu kerap memunculkan problem-problem kemanusiaan yang baru dan lebih rumit. Budaya hidup manusia modern, sering ditandai dengan budaya persaingan dalam pencapaian tingkat kemajuan hidup. Tak jarang, tidak sedikit orang yang gagal bersaing dan tidak mampu mewujudkan impian mereka. Kegagalan itu kerap kali membuat banyak orang menjadi putus asa dan menganggapnya sebagai akhir dari segalanya. Persaingan yang semakin keras juga melahirkan sebuah keprihatinan baru, yaitu melemahnya intensitas relasi antar pribadi yang menyusutkan pengalaman kasih dan keakraban antar pribadi manusia. Tidak adanya lagi kehangatan kasih, membuat banyak orang merasa ditinggalkan dan kesepian. Kecondongan batin itu menggerakkan banyak orang pada derita batin yang mendalam. Derita batin itu akan membuat orang menjadi putus asa dan tidak mampu lagi melihat makna kehidupannya secara jernih. Orang tidak lagi menyadari eksistensinya di dunia ini sebagai anugerah Allah yang luhur dan suci. Suasana umum dunia yang seperti itulah yang kerap menjadi latar belakang dan penyebab terjadinya bunuh diri. Paper ini akan melihat lebih dalam lagi tentang fenomena Bunuh Diri dan sekaligus ingin menunjukkan sejumlah penilaian moral atasnya.

a. Apa itu Bunuh Diri?
Bunuh Diri adalah tindakan seseorang yang menghabisi hidupnya sendiri atas dasar otoritasnya sendiri (direct suicide). Definisi itu dapat kita telaah ke dalam beberapa unsur berikut:
1. Bunuh Diri adalah tindakan seseorang. Seseorang yang dimaksud adalah seorang manusia. Mari kita fokuskan perhatian pada kata “tindakan”. Manusia selalu melakukan berbagai tindakan untuk mewujudkan gagasan-gagasan hidupnya dengan caranya yang khas. Kekhasan cara tersebut yang membuat tindakan-tindakan manusia, menjadi berbeda satu dengan lainnya. Apa yang menjadi tindakan manusia adalah khas dan menunjukkan bahwa dirinya adalah manusia. Berikut adalah tindakan-tindakan yang dapat dikatakan sebagai cirri khas manusia (makhluk hidup):
a. Asimilasi: Manusia berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Yang tergolong dalam tindakan asimilasi ini juga adalah tindakan manusia untuk memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya sendiri.
b. Reproduksi: Kemampuan untuk melipatgandakan diri dan membentuk bibit-bibit baru (keturunan).
c. Bereaksi: Manusia juga dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya dan atas keadaan-keadaan yang sedang dialaminya.
d. Menyadari : Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain dan benda mati. Manusia senantiasa memiliki kesadaran untuk melakukan sesuatu. Kesadaran itu menjadi landasan bagi manusia untuk berbuat.

2. Bunuh Diri sebagai tindakan yang menghabisi kehidupan sendiri.
Bunuh Diri adalah sebuah kejahatan. Sebab, tindakan ini memiliki tujuan akhir untuk menghancurkan kehidupan. Meskipun kehidupan yang dihancurkan itu adalah kehidupan si pelaku sendiri dan bukan orang lain, tetap saja itu memiliki inti tindakan yang sama, yaitu tidak menghargai kehidupan.
3. Bunuh Diri sebagai tindakan yang dilakukan atas dasar otoritas sendiri.
Sebuah tindakan disebut tindakan bunuh diri bila tindakan itu dilakukan atas dasar kemauan si pelaku sendiri. Jika tindakan itu dilakukan oleh seseorang atas perintah otoritas yang berkuasa, maka itu tidak dapat disebut sebagai bunuh diri.


Secara psikologis, diketahui bahwa kecenderungan bunuh diri terdorong oleh adanya keinginan manusia untuk bebas dari segala macam beban atau konflik hidup. Si pelaku merasa tidak berdaya dalam mengelola serta menghadapi problem-problem itu. Dia mengalamai kesendirian dan keterisolasian dari dunia pergaulannya. Ia menjadi merasa tidak berguna dan merasa hanya menjadi beban bagi orang lain. Karenanya, bunuh diri kerap dilihat sebagai jalan terakhir yang tepat untuk membebaskan diri dari segala perasaan ketertekanan itu. Data real di lapangan menunjukkan bahwa pria lebih banyak bunuh diri daripada wanita; warga kota lebih banyak bunuh diri dibanding orang desa; para manula lebih banyak bunh diri daripada anak-anak muda; dan manusia dunia maju lebih banyak bunuh diri daripada manusia di dunia ketiga.
Bagaimana dengan para filsuf? Para filsuf juga mencoba berpendapat tentang bunuh diri. Para filsuf yang menolak adanya bunuh diri adalah Aristoteles dan Immanuel Kant. Menurut Immanuel Kant, bunuh diri tidak layak dilakukan karena bunuh diri adalah penghancuran terhadap subyek moral dan juga sekaligus penghancuran terhadap moralitas itu sendiri. Namun, ada juga filsuf yang mendukung bunuh diri, seperti David Hume dan para filsuf Stoa. Di zaman modern ini, para pendukung euthanasia menyetujui bunuh diri sebagai wujud otonomi dan kebebasan pribadi terhadap hidupnya sendiri.

B. Bagaimana dengan Moral Katolik?
Secara tegas, Moral Katolik menolak Bunuh Diri, dan menilainya sebagai sebuah KEJAHATAN BESAR.
Mengapa demikian? Berikut alasan penolakannya.
B.1. Manusia bukanlah Tuan yang memiliki kehidupan.
Meskipun manusia menjalani suatu kehidupan yang ada padanya, kehidupan itu sendiri bukanlah sesuatu yang dicapai berkat upaya mausia itu sendiri. Akan tetapi, kehidupan adalah sesuatu yang diterimanya dan berada di luar kuasa kebebasannya. Karena itu, manusia tidak bisa menyatakan “menerima” atau “menolak” terhadap kehidupan ini. Teologi agama monoteis mengajarkan bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia, dan menganugerahkan kehidupan kepada manusia itu. Kehidupan adalah milik Allah. Peran manusia terhadap kehidupan hanyalah sebatas memelihara, mengembangkan dan memajukan kehidupan agar mencapai kepenuhannya.
Menyia-nyiakan kehidupan adalah tanda ketidaksetiaan dan pengingkaran manusia terhadap peranannya dan bentuk perlawanan terhadap Allah sebagai pemilik kehidupan. Karena itu, bunuh diri adalah tanda nyata dari keputusasaan dan ketidaksetiaan kepada Allah. Bunuh Diri menjadi tanda pemberontakan dan menjadi suatu ekspresi otonomi yang merusak terhadap Allah. Maka dari itu, bunh diri tidak dapat dibenarkan.
B.2. Kewajiban dan Tanggungjawab Masyarakat
Dalam banyak kasus bunuh diri, umumnya masyarakat dan lingkungan terdekatlah yang dipersalahkan karena si pelaku bunuh diri terkondisikan dalam situasi dan pengalaman hidup yang berat tak terpikulkan yang menyebabkannya putus asa dan terhalang untuk melihat kehidupan secara positif dan optimistic. Bunuh diri adalah tanda nyata kegagalan masyarakat dalam mewujudkan keadilan dan dalam memberikan perhatian kasih kepada mereka yang putus asa dan menderita. Bunuh diri sering menjadi bentuk protes dan sekaligus meminta perhatian terhadap orang-orang sekitar agar memperhatikan dan membantu.
Untuk itu, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan bahwa bunuh diri bukanlah ekspresi kebebasan, akan tetapi merupakan tanda kehilangan kebebasan. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kondisi dasar bagi otonomi manusia dalam mengembangkan dan memajukan kehidupan menuju kepenuhannya.
B.3. Keterkaitan Kehidupan satu sama lain
Sering banyak orang berpikir bahwa kehidupannya adalah semata-mata urusannya sendiri, terpisah dan tak terkait dengan kehidupan orang lain sehingga apa yang dilakukan terhadap dirinya sendiri, tidak akan mempengaruhi orang lain. Bunuh Diri seringkali dilandasi oleh keyakinan yang macam itu. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Hakekat manusia sebagai makhluk sosial menjadi landasan bagi suatu kebenaran bahwa kehidupan manusia itu saling berhubungan dan saling terkait satu sama lain. Apa yang terjadi para seseorang akan juga mempengaruhi orang lain.
Karena itu, sebenarnya setiap manusia secara tertentu memiliki dan mengemban tanggung jawab atas kehidupan orang lain. Tindakan bunuh diri jelas akan meninggalkan beban derita dan tanggungjawab moral bagi orang lain. Bagi si pelaku bunuh diri, tindakannya itu menjadi tanda ketidakpeduliannya terhadap kepentingan bersama dan tanggung jawab orang lain dalma satu kesatuan kehidupan. Bunuh diri berarti mengingkari keberadaan dan tanggung jawab sesame. Atau dengan kata lain, Bunuh diri merupakan suatu pengingkaran akan hakekat sosial manusia.
B.4. Bunuh Diri adalah Pelanggaran terhadap Tugas Mencintai dan Mengejar Kesempurnaan Hidup.
Pelaku bunuh diri membuang peluang dan kesempatan untuk terus bertumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Ia menolak untuk terus bertumbuh menuju tingkat kesempurnaan yang dapat dicapainya dalam hidup. Bunuh diri menyebabkan dia kehilangan kesempatan untuk memperbaiki dan mengembangkan diri sendiri.
B.5. Bunuh Diri sebagai Protes terhadap Kejahatan Sosial Politik
Bunuh diri sering juga dipraktekkan sebagai suatu bentuk perlawanan dan pemberontakan terhadap suatu regim atau dictator yang jahat dan kejam. Bagi para pelaku, mati adalah lebih baik dairpada membiarkan diri menyerah dan diperlakukan sewenang-wenang oleh rejim dictatorial. Dalam kasus ini, bunuh diri dilakukan untuk mengingatkan rezim itu bahwa si pelaku bunuh diri bukanlah orang yang tega dan senang mengorbankan kehidupan orang lain, seperti halnya si penguasa rezim, tetapi ia lebih senang mengorbankan diri sendiri demi perwujudan suatu situasi hidup sosial politik yang manusiawi. Kasus lain yang terkait dengan pemahaman bagian ini adalah kasus di mana orang melakukan aksi kekerasan pembunuhan dengan juga membiarkan dirinya terbunuh. Aksi seperti ini kerap menjadi pilihan perjuangan bagi para teroris.
Apapun alasannya, suatu tindakan menghilangkan kehidupan sendiri ataupun kehidupan orang lain adalah sesuatu yang tidak dibenarkan secara moral. Tujuan yang ingin diperjuangkan tidak akan pernah membenarkan cara yang dipakai itu.


C. Gereja Katolik dan Bunuh Diri
Gereja Katolik secara tegas menolak dan tidak membenarkan tindakan bunuh diri. Dulu, Gereja pernah melarang pelayanan liturgis-sakramental bagi orang yang bunuh diri. Tetapi, sekarang ini, hal itu tidak lagi disebutkan secara eksplisit sebagai bunuh diri. Dalam Kanon 1184, dikatakan bahwa: (1) Tidak boleh diberi pemakaman gerejawi, kecuali jika sebelum meninggal, menampakkan sekedar tanda-tanda tobat. Mereka yang mendapatkan perlakuan ini adalah: a. Mereka yang nyata-nyata murtad, mengikuti bidaah dan skisma; b. Mereka yang memilih kremasi jenazah mereka demi alasan yang bertentangan dengan iman kristiani; c. Pendosa-pendosa public lainnya yang tidak dapat diberi pemakaman gerejawi tanpa menimbulkan sandungan bagi kaum beriman.
(2) Jika ada keragua-raguan, hendaknya Ordinaris Wilayah dihubungi, yang keputusannya harus dituruti.

Di lain pihak, Gereja Katolik menjunjung tinggi dan menghargai orang-orang yang mengorbankan hidupnya demi kehidupan orang lain atau demi kebaikan banyak orang serta demi iman. Hidup memang merupakan nilai tertinggi, tetapi nilai hidup bukanlah segalanya. Orang bahkan dituntut untuk mengorbankan hidupnya demi orang lain. Tokoh seperti Mazimilan Maria Kolbe, merupakan model dari orang yang menyerahkan hidupnya demi kebaikan orang lain.

Selasa, 21 April 2009

Aborsi

ABORSI
A. Masalah Pokok dalam Aborsi
Aborsi dapat didefinisikan sebagai pengeluaran janin bayi dari rahim secara paksa. Secara esensial, aborsi menjadi suatu tindakan yang dikecam oleh ajaran moral maupun agama. Namun, dalam prakteknya, kecaman tersebut masih belum terlihat total. Masing-masing lembaga memiliki versinya masing-masing dalam hal pelarangan aborsi, terlebih tentang kapan tepatnya suatu aborsi tidak boleh dilakukan. Jika melihat secara seksama, hal pokok yang menjadi perdebatan seputar aborsi, yaitu “kapan kehidupan manusia itu dimulai?”
a.1. “Kapan kehidupan manusia itu dimulai?”
Berikut adalah sejumlah pendapat mengenai jawaban atas pertanyaan itu:
1. Konsepsi
Sebuah kehidupan dimulai saat sel sperma bersatu dengan sel telur. Persatuan itu akan berkembang menuju kelahiran manusia. Kelompok yang memiliki pendapat ini adalah Gereja Katolik. Menurut Gereja Katolik, betapa pentingnya bagi setiap orang untuk menghormati kehidupan manusia, termasuk manakala secara fisik, kehidupan itu masih terwujud dalam bentuk embrio. Dokumen Gereja “Donum Vitae” mengajarkan secara lebih tegas bahwa setiap fase hidup manusia sejak konsepsi, haruslah dihormati.
2. Kehidupan ada saat mulai adanya getaran syaraf.
Pandangan ini menyatakan bahwa kehidupan dimulai ketika saraf mulai berfungsi dan getaran saraf dapat dideteksi. Dasar pandangan ini adalah bahwa kematian merupakan berhentunya aktivitas otak. Dengan kata lain, kelompok ini menyatakan bahwa kehidupan dimulai sejak berfungsinya otak.
Pandangan ini memperbolehkan aborsi bila dilakukan sebelum hari ke-20 kehamilan.
3. Bergeraknya fetus
Kehidupan mulai dengan bergeraknya fetus dalam rahim ibu. Gerakan itu dapat dirasakan oleh sang ibu. Pandangan ini memperbolehkan aborsi bila dilakukan sebelum bulan ke-4 kehamilan.
4. Viabilitas
Pandangan ini menegaskan bahwa kehidupan manusia dimulai bila janin dinilai telah mampu hidup di luar rahim ibunya. Pandangan ini menjadi landasan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1973 dalam menetapkan bahwa Negara dapat melarang aborsi bila fetus itu telah dinilai dapat hidup di luar rahim ibunya. Itu berarti bahwa aborsi diperbolehkan bila dilakukan sebelum bulan ke-6 kehamilan.
5. Kelahiran
Pandangan ini menyatakan bahwa kemanusiaan baru muncul saat janin itu dilahirkan. Saat ia sudah dilahirkan, maka saat itulah ia menjadi manusia yang independen. Kelompok yang memiliki pendapat ini adalah kelompok yang memperbolehkan aborsi dilakukan pada usia kehamilan berapapun.



B. Sejarah Singkat Aborsi
Sepanjang sejarah hidup manusia, aborsi dipakai sebagai salh satu metode pengaturan kelahiran. Pengaturan kelahiran dalam konteks aborsi bukanlah pencegahan kehamilan, tetapi menggugurkan/mengeluarkan janin yang sudah ada dalam rahim ibu. Debat moral tetnang aborsi sudah dimulai sejak zaman Yunani kuno. Plato dan Aristoteles menerima aborsi karena mencegah pertumbuhan penduduk yang berlebihan di polis-polis Yunani kuno. Tetapi, mereka tidak sepenuhnya menerima. Aristoteles menolak aborsi setelah janin mulai bergerak dalam rahim. Kitab Hukum bangsa Sumer, melarang keras aborsi dan menerapkan hukuman yang keras bagi mereka yang menggugurkan janin yang belum lahir. Sumpah Hipocrater juga menegaskan untuk tidak membantu seorang wanita yang ingin melakukan aborsi.
Pada masyarakat Romawi, secara hukum, aborsi tidak menjadi masalah. Itu baru menjadi masalah bila aborsi dilakukan tanpa persetujuan suami. Pada abad kedua Masehi, muncul gerakan anti aborsi karena terjadi kemerosotan jumlah pertambahan penduduk. Dari sana, kekaisaran romawi menerapkan hukum anti aborsi yang sangat keras sebagai medium untuk menghentikan kemerosotan moral dan untuk memperkuat bangsa. Sikap Yahudi dan Kristiani adalah sangat menentang keras praktek aborsi.
Sejak PD II, praktek aborsi secara diam-diam marak di Amerika Serikat dan di banyak tempat lain di dunia ini. Praktek itulah yang makin mendorong para kaum pro aborsi untuk mendesak pengadilan membatalkan larangan terhadap aborsi. Pada tahun 1973, aborsi dilegalkan di Amerika Serikat. Untuk usia kandungan tiga bulan pertama, keputusan aborsi diserahkan kepada penilaian medis dari dokter yang menangani wanita hamil itu. Sedangkan pada usia kandungan di atas 6 bulan, Negara dapat melarang aborsi karena pada usia kehamilan itu, janin sudah dinilai dapat hidup di luar rahim.

C. Aborsi dan Pembunuhan Janin (Infantisida)
Aborsi dan Infantisida adalah dua istilah yang berbeda. Aborsi adalah penghentian kehamilan atau pengguguran kandungan sebelum kandungan mencapai usia dapat hidup di luar rahim (5-6 bulan). Sedangkan Infantisida adalah tindakan pembunuhan janin dalam rahim setelah janin tersebut mencapai usia dapat hidup di luar rahim.
Aborsi ada dua macam, yaitu aborsi alamiah dan aborsi yang disengaja. Aborsi alamiah: kematian janin sama sekali bukan karena kehendak pihak lain, tetapi terjadi secara alamiah. Aborsi yang disengaja: aborsi yang dilakukan kerena kehendak pihak lain dan dilakukan berkat campur tangan pihak lain.



D. Argumen Pro-Kontra Aborsi
KONTRA- ABORSI PRO-ABORSI
1. Embrio atau janin adalah kehidupan manusia. Aborsi secara moral adalah jahat karena mengambil kehidupan manusia. 1. Embrio bukanlah kehidupan manusia.
2. Agar menjadi sah, maka UU harus lahir dari prinsip yang kuat dan teguh, yaitu penghargaan terhadap kehidupan manusia. 2.Fungsi UU adalah melindungi wanita dari pelaku aborsi yang tidak ahli dan melindungi dokter dari pertanggungjawaban.
3. Mengambil kehidupan yang belum lahir adalah tindakan amoral. 3.Janin adalah seorang pengacau ke dalam kehidupan si wanita.
4. Janin bukanlah bagian dari diri ibu, tetapi unsur yang terpisah dari ibu dengan hak-haknya sendiri. 4.Janin adalah bagian dari tubuh ibu dan tidak lebih dari itu.
5. Hak janin yang belum lahir adalah lebih utama dari hak ibu dalam mengontrol tubuhnya. 5.Hak wanita lebih besar dari janin dan secara moral, adalah benar bila wanita dianjurkan untuk menjalankan haknya untuk tidak hamil sebelum dia menghendakinya.
6. Aborsi secara moral adalah salah dan UU harus mengikuti moralitas. 6.Agama-agama memaksakan kepercayaannya berkaitan dengan aborsi. Hal ini tidak dapat dibenarkan dalam masyarakat pluralistic.

E. Konflik-Konflik Nilai dalam Aborsi
Saat ini, tidak semua Negara melarang adanya aborsi. Beberapa pihak melegalkan aborsi. Pelegalan aborsi ini tidak serta merta mengubah moralitas aborsi itu sendiri. Jika keputusan mayoritas mengizinkan dilakukannya tindakan aborsi, itu tidak membuat aborsi dapat dipandang sebagai suatu tindakan yang bermoral. Tetap saja, aborsi merupakan tindakan amoral.
Pada bagian ini, kita akan melihat sejumlah argument yang sering diajukan untuk membenarkan tindakan aborsi. Semua argument itu berkaitan dengan perbandingan nilai antara kehidupan fetus yang masih berkembang dengan sejumlah nilai lainnya. Pemahaman yang harus dimiliki adalah bahwa dalam sebuah situasi di mana hanya ada satu nilai yang harus dipertahankan dari sekian banyak nilai yang ada, pilihan logis dan yang lebih bermoral-lah yang harus dipilih. Hukum moral itu rasional dan tidak memperbolehkan kita mengambil tindakan yang tidak rasional.

E.1. Kehidupan Sang Ibu
Dalam sejumlah kasus, kehidupan ibu dapat dibahayakan bila kehamilan diteruskan. Salah satu contohnya adalah dalam kehamilan ektopis. Maksudnya adalah bahwa sel telur yang dibuahi tidak berpindah ke dalam rahim tapi ke dalam saluran telur dan berkembang di sana. Dalam situasi yang demikian, embrio jelas tidak mungkin dapat bertahan hidup dan hal itu akan menyebabkan pendarahan yang membahayakan kehidupan sang ibu. Situasi ini merupakan salah satu contoh kasus di mana satu kehidupan berada dalam kondisi yang berlawanan dengan kehidupan lainnya. Hanya kehidupan ibu yang bisa diselamatkan sehingga tidaklah dapat diterima jika janin itu tidak dapat dipindahkan karena jika tidak dilakukan, maka kedua-duanya akan mati.
Maka, aborsi boleh dilakukan dengan pertimbangan bahwa lebih baik menyelamatkan satu kehidupan daripada keduanya binasa.

E.2. Kesehatan Ibu
Mari kita lihat kasus aborsi terapeutis. Dalam kasus ini, kehidupan janin bertentangan dengan kesehatan sang ibu yang mengandung. Para pendukung aborsi terapeutis berargumen bahwa kesehatan ibu yang hamil lebih penting daripada kehidupan janin. Kesehatan fisik menjadi yang lebih utama dalam kasus ini.
Ada sejumlah persoalan berkaitan dengan pandangan ini. Pertama, kehidupan manusia jauh lebih penting daripada sekedar kesehatan fisik. Karena itu dipertanyakan, apakah aborsi perlu dijalankan demi kesehatan? Sakit yang tidak berkaitan dengan kehamilan, tidak harus disembuhkan dengan aborsi. Kehidupan janin adalah nilai yang lebih besar daripada sekedar kesehatan fisik yang dapat diusahakan dengan obat-obat medis.
Kedua, kesehatan mental kurang dapat diterima sebagai alasan untuk melakukan aborsi. Kehamilan normal dari wanita yang menikah, bukanlah penyakit dan tidak menyebabkan gangguan mental. Misalkan, seorang wanita muda yang stress karena takut menghadapi kehamilan pertama. Untuk mengatasi stress itu, ia ingin mengaborsi anaknya. Alasan ini tidak dapat diterima. Sebab, stress-nya wanita itu, tidak membahayakan kehidupan.

E.3. Perkosaan dan Incest
Apakah aborsi diperbolehkan pada wanita korban perkosaan dan incest?
Menurut pandangan umum, seorang wanita yang hamil akibat perkosaan atau incest merupakan korban dari kekejaman dan kekerasan yang tidak manusiawi. Kerusakan mental dan penderitaan batin merupakan akibat langsung dari kehamilan yang terjadi secara terpaksa itu. Sering diajukan bahwa dalam kasus-kasus tragis seperti itu, nilai kesehatan mental dari wanita korban perkosaan, merupakan hal yang paling penting untuk diupayakan dan dapat dicapai dengan aborsi. Meneruskan kehamilan berarti membuat wanita itu menderita akibat trauma kekerasan yang dilakukan terhadapnya. Dengan kata lain, kesehatan mental korban perkosaan lebih penting dari kehidupan janin. Dalam kasus ini, janin dipandang sebagai seorang aggressor terhadap keutuhan dan kehidupan pribadi si wanita. Jika hanya aborsi yang menjadi jalan satu-satunya untuk mempertahankan nilai pribadi dan kemanusiaan si wanita itu, maka aborsi dapat dibenarkan.
Bagaimana pandangan moral berkomentar?
Janin yang muncul dalam korban perkosaan bukanlah aggressor. Yang menjadi aggressor adalah si pelaku perkosaan itu sendiri. Dalam situasi itu, janin adalah sama dengan si wanita. Mereka adalah korban yang tak bersalah. Karena itu, janin tidak dapat dibunuh dengan tuduhan sebagai aggressor. Jika diadakan perbandingan nilai antara kehidupan janin dengan pemulihan psikologis wanita melalui aborsi, maka kehidupan manusia jelas-jelas secara obyektif tetaplah lebih tinggi daripada nilai yang ingin dicapai wanita melalui aborsi itu. Dalam kasus ini, harus dicari upaya alternative untuk menolong korban, yaitu dengan penanganan religius, psikologis, dan social serta menyiapkan adopsi bila wanita tidak ingin memelihara bayi hasil perkosaan itu. Dengan kata lain, moral tetap melarang adanya aborsi untuk kasus-kasus seperti ini.

E.4. Aborsi Eugenis
Argumen yang diajukan oleh para pendukung aborsi eugenic adalah bahwa lebih baik bagi seorang bayi untuk tidak lahir daripada lahir dengan beban fisik yang cacat berat seumur hidup. Karena itu, aborsi dibenarkan bila ditemukan sejumlah kerusakan fisik pada janin yang sedang berkembang dalam rahim ibu.
Bagaimana dengan pandangan moral?
Ada dua nilai yang dipertentangkan, yaitu mempertahankan kehidupan bayi, dan membebaskan bayi dari penderitaannya sebagai bayi yang nantinya cacat. Aborsi eugenic dilakukan tidak demi si janin yang cacat karena tidak membawa keuntungan atau kesembuhan bagi si janin itu sendiri, tapi hanya untuk mengakhiri kehidupannya. Cacatnya si janin itu, bukanlah alasan untuk menghancurkan kehidupan mereka yang baru saja dimulai. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak cacat yang mampu menikmati kehidupan mereka sesuai kemampuannya dengan gembira. Bahkan, sejumlah dari mereka menjadi orang yang berprestasi dan berperanan penting. Kodrat social manusia mewajibkan setiap orang untuk memperhatikan dan memelihara mereka yang cacat. Karena itu, aborsi eugenic tidak pernah dapat dibenarkan.

E.5. Aborsi dan wanita yang tidak menikah
Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa kebanyakan wanita pelaku aborsi adalah mereka yang mengalami kehamilan di luar nikah. Alasan permintaan aborsi mereka adalah bahwa mereka tidak mau dibebani tanggung jawab akibat hubungan seksual pra-nikah yang mereka lakukan. Pada kasus ini, aborsi dilakukan untuk mengatur kelahiran. Kelompok pro-aborsi setuju bahwa aborsi harus dilakukan agar tidak menyebabkan derita batin bagi para gadis remaja itu.
Pandangan moral jelas menyatakan bahwa aborsi bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah itu. Janin hasil seks pra-nikah tetap harus dipertahankan untuk lahir. Dan, ketika lahir, bila sang wanita tidak siap merawatnya, maka adopsi menjadi jalan yang lebih bermartabat dibandingkan aborsi.

F. Gereja Katolik dan Aborsi
Aborsi bukanlah isu tunggal, tetapi terkait dengan penghargaan terhadap kehidupan yang harus dihargai sejak terjadinya konsepsi; penghargaan terhadap status hidup janin; penghargaan terhadap kesejahteraan ibu yang mencakup kemampuan untuk hamil dan melahirkan; serta penghargaan terhadap perlindungan sang ibu dari ancaman penyakit.
Gereja Katolik sudah secara tegas mengajarkan bahwa kehidupan dimulai sejak terjadinya pembuahan. Karenanya, itu harus dihormati dan dilindungi. Aborsi pada dirinya adalah jahat dan tidak netral. Gereja Katolik tetap menegaskan bahwa penghargaan terhadap kehidupan sejak pembuahan adalah nilai yang harus diperjuangkan. Gereja melarang semua bentuk aborsi yang disengaja. Hal itu dikatakan secara nyata dalam dokumen-dokumen Gereja, seperti halnya Humanae Vitae, Donum Vitae, dan Evangelium Vitae.
Lebih lantang lagi, Gereja Katolik mengutuk aborsi karena beberapa alasan berikut:
1. Aborsi adalah tindakan yang melanggar perintah Allah yang ke-5.
2. Pada prinsipnya, semua kehidupan adalah kudus (Donum Vitae art.5)
“Kehidupan manusia adalha kudus karena sejak awal ia membutuhkan kekuasaan Allah pencipta dan untuk selama-lamanya tinggal dalam hubungan khusus dengan Penciptanya. Hanya Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir. Tidak ada seorang pun yang berhak mengakhiri secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah.
3. Aborsi adalah kejahatan moral.

Dalam sejarahnya, Gereja juga tidak henti-hentinya menentang praktek aborsi. Pada tahun 80 M, para Rasul secara jelas melarang pembunuhan terhadap anak yang baru dilahirkan. Selanjutnya, pada tahun 177 M, Athenagoras menyatakan bahwa umat Kristen menganggap para wanita yang menelan ramuan untuk mengugurkan kandungannya sebagai para pembunuh. Ia mengutuk pembunuh-pembunuh itu. Pada tahun 197 M, Tertulianus dalam Apologeticam menyatakan bahwa mencegah kelahiran adalah melakukan pembunuhan. Pada tahun 374 M, dalam suratnya kepada Uskup Amphilochius, St. Basilius menyatakan bahwa seorang wanita yang dengan sengaja membinasakan janin, haruslah diganjari dengan hukuman seorang pembunuh. Mereka yang memberikan ramuan yang mengakibatkan aborsi juga harus dipandang sebagai pembunuh.

Rabu, 18 Maret 2009

SEKELUMIT TENTANG HAK ASASI MANUSIA


A. Apa itu HAM?
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat dalam diri manusia, yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Hak-hak itu dimiliki manusia pertama-tama karena ia adalah manusia. Sejak seseorang berada dalam rahim ibunya, HAM ini sudah melekat dalam diri orang itu. Di dunia ini, perjuangan penegakan HAM sudah dimulai jauh sebelum abad 20. Namun, baru pada tanggal 10 Desember 1948, melalui piagam PBB tentang HAM, perjuangan penegakan HAM ini mendapatkan legalitasnya, alias diresmikan dan ditetapkan sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap Negara dunia ini.
Hak Asasi Manusia memiliki empat ciri/sifat utama, yaitu:
1. Natural
Yang dimaksud dengan sifat ini adalah bahwa HAM telah melekat sejak awal dalam diri manusia. HAM diberikan langsung oleh Tuhan, dan tidak diberikan oleh Negara. HAM sudah melekat dalam diri manusia sejak ia ada di dalam rahim.
2. Abadi
HAM bukanlah hak-hak yang diberikan atau ditetapkan oleh Negara. HAM muncul secara alamiah dalam diri manusia. Karena itu, Negara tidak memiliki kekuasaan untuk mencabut HAM dalam diri setiap orang. HAM tidak dapat dicabut oleh Negara. Walaupun suatu saat Negara tidak mengakui HAM, tetap saja kenyataan itu tidak dapat menghilangkan HAM dari dalam diri manusia itu sendiri. HAM akan terus ada selama manusia itu hidup di dunia.
3. Universal
Hak-hak asasi merupakan hak yang universal. Artinya, hak-hak itu menyangkut semua orang, berlaku dan harus diberlakukan di mana-mana. Contoh, hak untuk hidup bagi orang-orang Jakarta, juga berlaku bagi orang-orang Afrika. Menyangkal sifat universal HAM berarti menyangkal unsur manusiawi yang terdapat dalam setiap kebudayaan.
4. Kontekstual
Sifat kontekstual HAM terletak pada proses perumusan hak-hak-nya. Perumusan HAM harus memperhatikan konteks budaya suatu masyarakat. Sifat ini tidak menyangkal sifat universal HAM. RUmus dan definisi hak asasi yang ditentukan oleh lingkup budaya tertentu, sebenarnya menjadi jalan untuk membuat orang semakin peka agar jangan sampai ada penderitaan sesama yang tidak diperhatikan dan jangan sampai ada hak seseorang yang dilanggar.

B. Penggolongan Hak-Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi manusia digolongkan ke dalam dua kelompok:
1. Kelompok hak-hak sipil dan politik.
Hak-hak sipil dan politik lebih menyangkut hubungan warga Negara dan pemerintahan. Hak-hak ini ada untuk menjamin setiap orang memperoleh kemerdekaan.
Yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik adalah hak atas hidup, hak kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, hak kebebasan hati nurani dan beragama, hak kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan dan kemampuan dirinya, dan hak atas kesamaan di depan hukum.
2. Kelompok hak-hak ekonomi, social, dan budaya.
Hak-hak ekonomi, social, dan budaya lebih menyangkut hidup kemasyarakatan yang luas. Hak-hak ini ada untuk menjamin setiap orang mempertahankan kemerdekaan.
Yang termasuk ke dalam kelompok hak ini adalah hak mendirikan keluarga, hak atas kerja, hak atas pendidikan, hak atas tingkat kehidupan yang layak, hak atas jaminan waktu sakit.

C. Hak Asasi dalam Terang Kitab Suci
Dari terang Kitab Suci Perjanjian Lama, kita dapat mengetahui bahwa salah satu pengalaman umat Israel yang sangat menentukan sejarah mereka adalah pengalaman pembebasan dari Mesir. Sejarah keselamatan itu ingin berbicara bahwa hak-hak asasi orang Israel yang sudah diinjak-injak oleh Mesir, dikembalikan lagi oleh Tuhan untuk orang Israel. Sejak saat itu, sejarah pembebasan itu menjadi perhatian khusus Tuhan bagi kaum miskin yang tertindas. Pengalaman pembebasan Israel ingin menunjukkan bahwa orang yang miskin dan tak berdaya selalu mendapatkan perhatian khusus dari Tuhan. Maka, karenanya, hak-hak asasi pertama-tama harus diperjuangkan untuk orang yang lemah dan yang tidak berdaya dalam masyarakat. Dasar perjuangan itu adalah tindakan Tuhan sendiri yang melindungi orang yang tidak memiliki kekuatan dan hak yang kuat.
Kitab Suci juga mengajarkan bahwa “Allah membuat manusia menurut citra-Nya sendiri.” Maksudnya, Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang berdaulat. Karenanya, semua hak manusia adalah hak mengembangkan diri sebagai citra Allah.

D. Hak Asasi dalam Terang Ajaran Gereja
Gaudeum et Spes art. 29. menegaskan bahwa kesamaan asasi antara manusia harus senantiasa diakui oleh siapapun. Ada tiga hal yang menjadi alasannya:
a. Karena semua manusia memiliki jiwa yang berbudi, dan diciptakan menurut citra Allah.
b. Karena semua manusia memiliki kodrat dan asal yang sama.
c. Karena penebusan Kristus memiliki panggilan dan tujuan ilahi yang sama.

Dari situ, tampak pandangan Gereja tentang hak asasi. Bagi Gereja, hak asasi adalah hak yang melekat pada diri manusia sebagai ciptaan Allah. Karenanya, itu tidak dapat diganggu
gugat dan harus ditempatkan di atas segala aturan hukum. Sebab, kalau hak ini diambil, ia tidak dapat hidup sebagai manusia lagi. Gereja juga mendesak diatasinya dan dihapuskannya setiap bentuk diskriminasi karena itu berlawanan dengan kehendak Allah.

Minggu, 15 Maret 2009

Sebuah Awal....



Pada awalnya adalah sebuah kisah yang tak mungkin terungkap; kisah sang anak manusia yang tertutur dari setitik cahaya terdalam di hatinya yang terus bertanya; kisah sejati yang takkan pernah terhapuskan oleh tetesan hujan di sore hari; dan kisah yang takkan pernah habis didengarkan oleh rembulan di kegelapan malam. Tak’kan ada insan yang mampu mengerti keindahan ini karena mereka pun tak melihat indahnya sebuah awal. Bahkan, burung-burung Gereja pun kan berkicau terus memohon sang Mentari mengisahkan kisah itu kepadanya. Mereka tak serapuh seperti bulunya untuk menantikan kisah itu. Hingga saatnya nanti, mereka akan berdiam dalam keheningan nanti sambil berujar dalam hatinya, “Tuhan, terima kasih atas kisah yang indah itu.” Tak hanya burung Gereja. Bintang-bintang malam pun akan terus setia bercahaya mendengarkan mimpi-mimpi manusia yang merindukan awal keindahan itu. Meskipun kecil, bintang itu akan terus kuat memancarkan setitik cahayanya hingga burung hantu di dahan cemara itu merasa tak sendirian. Hingga akhirnya, cahaya itu akan hilang seiring kepak sayap sang burung hantu yang meninggalkan pohon cemara itu sendirian di puncak bukit itu.
Sementara, di ujung jalan itu, sang bunda menyenandungkan nyanyian malam untuk sang Putri di dekapannya. Semilir angin pun akan menerbangkan keindahan senandung itu hingga menimbulkan semarak pada hati yang merana. Sesekali sang buah hati membuka matanya seolah-olah memastikan bahwa ia masih berada di surganya. Suara binatang malam pun menambah syahdunya dongeng kehidupan sang bunda. Dan, di ujung jalan yang lain, seorang anaknya yang lain tersenyum dalam tidurnya ketika mendengar pesan sang angin untuknya, “Nak, bundamu menitipkan doa untukmu.”
Tuhan, seandainya kegelapan tak perlu ada untuk bisa menemukan terang; seandainya tak perlu ada tangis untuk bisa memahami seuntai senyuman; seandainya hujan tak perlu muncul untuk bisa melihat indahnya pelangi senja; seandainya tak perlu ada perpisahan untuk mengerti indahnya perjumpaan; seandainya tak perlu ada akhir untuk dapat menemukan indahnya sebuah cinta; dan segalanya itu hanyalah seandainya. “Seandainya” yang tak akan pernah berubah menjadi sebuah kepastian, kecuali kematian.
Tuhan, andaikan kisahku ini dapat diterbangkan oleh sang angin dan dialirkan oleh sang air. Pastilah semua orang kan tercenung merenung sambil bertanya dalam hatinya, “sungguhkah ini sebuah cinta sejati?” Andaikan pula, ia yang ada di ujung jalan sana juga terus mendengarkan dongeng dan impian hatiku. Pastilah tak ada akhir dari sebuah awal. Atau, inikah yang harus terus menjadi pertanyaan hati manusia, “Haruskah jalan lurus ini berakhir di ujung sana?”
Dan, ia pun hanya akan terus bertanya dalam hati, “Tuhan, salahkah aku karena mencintainya?”
pada hari ke-8 di bulan desember

SEKS PRANIKAH? NO WAY!!!!


A. Seks dan Seksualitas, berbedakah?
Seksualitas merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Seksualitas dapat didefinisikan sebagai kualitas manusia, perasaan paling dalam, akrab, intim dari lubuk hati paling dalam. Perasaan itu dapat berupa pengakuan, penerimaan dan ekspresi diri manusia sebagai mahluk seksual. Karena itu pengertian dari seksualitas merupakan sesuatu yang lebih luas dari pada hanya sekedar kata seks yang merupakan kegiatan fisik hubungan seksual. Seksualitas merupakan aspek yang sering dibicarakan dari bagian personalitas total manusia, dan berkembang terus dari mulai lahir sampai kematian. Seksualitas menunjuk pada makna keseluruhan diri manusia, dan terus berkembang sepanjang usia hidup manusia. Pandangan tentang seksualitas mencakup siapa kita dan apa yang kita kerjakan. Sedangkan seks hanya menunjuk pada tindakan seksual saja.
Pengertian itu memperlihatkan bahwa sesungguhnya seks hanyalah bagian kecil yang ada dalam pemahaman tentang seksualitas itu sendiri. Pada kenyataannya, orang cenderung menegatifkan pengertian tentang seks itu sendiri. Padahal, yang dibutuhkan pada titik ini adalah pengolahan yang benar akan daya-daya seksual yang muncul dalam diri setiap orang. Ditinjau dari berbagai sudut pandang, baik biologis, psikologis, maupun sosio dan kultural, daya seksualitas mencakup diri sendiri dan individu lain. Seksualitas merupakan proses yang berkesinambungan, yang berubah sesuai dengan usia, sesuai dengan peran yang ada di masyarakat sesuai dengan gender serta interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Seksualitas harus di pandang secara keseluruhan dalam konteks kehidupan manusia dan dalam berbagai dimensi. Pengolahan yang benar dari berbagai kacamata berpikir itu, akan mewujudkan sebuah keseimbangan seksualitas yang akan sangat berguna bagi setiap orang. Untuk bisa mencapai keseimbangan itu, orang harus memperhatikan elemen-elemen yang mendukung tercapainya titik tengah itu.

1. Elemen biologis

1.1. PERKEMBANGAN AWAL
Perbedaan Biologis antara laki-laki dan perempuan ditentukan sejak masa konsepsi. Janin perempuan mempunyai dua kromosom X dari setiap orang tua. Janin laki-laki mempunyai kromosom X dan Y. Kromosom X dari ibu dan Y dari ayah. Awalnya tidak ada perbedaan yang menonjol dari perkembangan janin. Sejak tujuh minggu masa konsepsi, organ seksualitas laki-laki mulai terbentuk karena pengaruh hormon testeteron. Dan pada waktu yang sama organ seksual perempuan mulai terbentuk karena kurangnya testosteron, bukan karena adanya hormon esterogen. Pada masa pubertas, hormon membantu untuk menyempurnakan perkembangan laki-laki dan perempuan. Perempuan mulai menstruasi dan terbentuk ciri seks skunder. Laki-laki mulai membentuk sperma dan ciri seks sekunder.




1.2. RESPON SEKSUAL DEWASA
Orang dewasa melakukan hubungan seksual untuk kesenangan dan untuk melanjutkan keturunan. Laki-laki dan perempuan dewasa normal mulai menjalankan peran dan identitas gender yang kuat.

2. Elemen psikologis

2.1. IDENTITAS GENDER
Identitas gender merupakan perasaan seseorang menjadi laki-laki atau perempuan, dan mendeskripsikan perasaan seseorang akan sifat kelaki-lakiannya atau kewanitaanya. Peran gender merupakan bagian dari identitas seseorang. Masyarakat mempunyai peran penting dalam perkembangan identitas gender. Begitu bayi lahir langsung memiliki identitas gender. Diberikan baju dan mainan tertentu. Selain itu respon orang dewasa terhadap anak laki-laki dan perempuan berbeda tergantung pada cara dia dibesarkan dan gaya mengasuh anak. Ketika anak tumbuh, ia menyatukan informasi dari masyarakat dan dari persepsi tentang dirinya untuk membangun identitas gender. Pada usia tiga tahun, anak tahu tentang dirinya sendiri, sebagai anak perempuan atau anak laki-laki. Mereka juga tahu bahwa tidak akan dapat mengubah seks dengan mengubah penampilannya. Sumber utama identitas seksual yang menentukan konsep seseorang akan dirinya dan orang lain sebagai wanita/pria tergantung dari :
♦Ciri biologis yang di turunkan
♦Konsep dan peran gender

2.2. PERAN GENDER
Peran gender merupakan ekspresi publik tentang identitas gender. Hampir semua ahli sosial yakin bahwa pengaruh sosial (orang tua, teman seusia dan media) merupakan kekuatan perkembangan utama dalam pembelajaran atau peran gender. Selain itu peran gander juga dapat dipelajari dari lingkungan individu berada, termasuk di sekolah dan di rumah. Pembelajaran formal tentang informasi spesifik tentang organ seksual, perubahan tubuh sehubungan dengan puberitas dan keinginan untuk menunda hubungan seksual sampai seseorang dianggap dewasa untuk melakukan hubungan seksual. Pembelajaran yang paling berpengaruh melalui sistem nilai seksual dalam keluarga dan masyarakat. Anak mendapatkan sikap tentang suatu nilai tersebut sejak dini. Sering kali pola ini melibatkan represi dan menghindari topik seksual yang dianggap sebagai pengalaman negatif. Sumber pembelajaran yang juga berpengaruh, adalah berbagai lambang dan diskusi dengan teman sebaya. Meskipun demikian tidak sepenuhnya peran gender merupakan ciri masyarakat. Walaupun demikian, ada perbedaan prilaku anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, bahkan semenjak masih bayi. Diperkirakan hormon seks mempunyai pengaruh pada otak dan prilaku. Peran gender merupakan area seksualitas yang tumbang tindih antara komponen psikologis, biologis dan sosiokultural.

2.3. ORIENTASI SEKSUAL
Orientasi seksual merupakan pilihan hubungan intim seseorang dengan lawan jenis atau sejenisnya. Mayoritas orang dewasa mengidentifikasi dirinya heteroseksual, yang berarti memiliki gairah seksual dengan lawan jenisnya. Kira-kira 10 % mengidentifikasi dirinya dengan homoseksual (Gay pada laki-laki dan Lesbian pada wanita). Sejumlah kecil orang adalah Biseksual, mereka mempunyai hubungan intim dengan kedua jenis. Orang yang transeksual, tidak puas dengan keadaan fisiknya, karena tidak sesuai dengan peran identitas gendernya. Mereka seringkali merasa terperangkap dalam tubuh yang salah.
Merupakan kesalah-mengertian bahwa lesbian adalah perempuan yang ingin jadi laki-laki dan gay adalah laki-laki yang ingin jadi wanita. Laki-laki gay sering memang punya sifat kewanitaan dan wanita lesbian punya perilaku kelaki-lakian. Tetapi hampir semua laki-laki homoseksual dan wanita lesbian puas dengan gender laki-laki atau perempuannya.

3. Elemen Sosio-Kultural
Komponen sosiokultural merefleksikan keyakinan kultur masyarakat. Keyakinan ini membentuk perkembangan seseorang sebagai mahluk seksual. Interaksi sosial penting pada proses ini karena perilaku peran merupakan model dan harapan sosial yang dipelajari. Sistem agama dan hukum mencoba mengontrol atau mengatur seksualitas. Komponen sosio-kultur juga mempengaruhi seksualitas laki-laki dan perempuan dan perilaku peran gender.

3.1. PERAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Kultur mempengaruhi peran gender, kultur tertentu mempunyai perbedaan yang jelas tentang peran gender. Misalnya peran laki-laki adalah mencari nafkah dan peran wanita mengasuh anak. Pada kultur lain tidaklah membuat perbedaan yang sangat tajam seperti ini. Adanya Emansipasi wanita telah mengubah sebagian peran gender. Kondisi yang biasa pada saat ini ditemukan wanita yang bekerja di luar rumah, dan dapat diterima. Sementara, pada saat suami libur, ia bekerja bergantian dengan istri untuk mengasuh anak di rumah. Pembalikan peran ini bukannya terjadi tanpa konflik. Banyak laki-laki dan perempuan merasa kesukaran ketika bertukar peran. Ibu merasa bekerja berlebihan ketika mencoba menyelaraskan rumah, keluarga dan tanggung jawab kerja. Laki-laki juga menghargai persetujuan sosial agar lebih terlibat dalam mengasuh anak. Faham Feminisme telah memaksa masyarakat untuk mengakhiri perbedaan gender dengan melegalisasi perubahan untuk kesamaan kerugian ekonomi dan menghasilkan kesempatan politik, pendidikan dan Ekonomi.

3.2. PRAKTEK SEKSUAL
Sikap dan sudut pandang terhadap seks berada pada suatu rentang mulai dari sudut non tradisional sampai tradisional, yaitu bahwa seseorang harus memilih prilaku yang sesuai. Misalnya : seseorang hanya boleh melakukan hubungan seksual setelah menikah. Resiko mendapat penyakit kelamin atau hamil dan juga keyakinan agama mempengaruhi praktek seksual. Pelanggaran yang dilakukan dan pada saat yang bersamaan mendapatkan bencana, sering kali menimbulkan perasaan berdosa/bersalah yang hebat serta menimbulkan konflik dalam diri atas prilaku tersebut. Karena identitas Gender, prilaku gender dan norma seksual berbeda antar kultur dan berubah sesuai dengan zaman. Perlu dimengerti bahwa yang penting bukan norma itu sendiri, tetapi yang lebih penting adalah bahwa norma itu dimengerti dan diterima oleh orang-orang pada kultur atau masyarakat tersebut.

Dari uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa keseimbangan seks dan seksualitas sangat penting dicapai oleh individu karena hal ini berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam menjalankan peran dan fungsinya di masyarakat sesuai dengan identitas gender yang disandangnya. Kemampuan pencapaian keseimbangan seks dan seksualitas ini dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya dari sejak fase pertumbuhan dan perkembangan pada awal kehidupan individu, seperti tentang pengenalan identitas dan peran gender yang dipelajari individu di lingkungan tempatnya berada sesuai dengan cirri gendernya, contoh : adanya perbedaan prilaku dan peran antara anak laki-laki dan perempuan. Karena identitas gender tersebut, prilaku gender dan norma seksual berbeda antar kultur dan berubah sesuai dengan zaman. Perlu dimengerti yang terpenting bukan norma itu sendiri, tetapi yang lebih penting adalah apakah norma itu dimengerti dan diterima oleh orang-orang pada kultur atau masyarakat dimana individu tinggal.


B. Seks Pra Nikah? No Way!!!
Di dalam suasana kebebasan informasi seperti yang kita alami sekarang ini, di antara kita dapat dipastikan sudah pernah atau bahkan sering mendengar istilah pergaulan bebas, seks bebas, seks pranikah, hamil di luar nikah, aborsi, dan lain-lain. Informasi semacam itu, misalnya, bisa kita dapatkan di media massa dan lainnya. Istilah-istilah tersebut juga rasanya akrab di telinga kita karena yang demikian tidak jarang juga terjadi di lingkungan kita. Kita yang masih remaja ini memang menjadi perhatian banyak pihak. Tapi, jeleknya kadang kita hanya dijadikan obyek saja. Dan kita sendiri pun kadang kurang waspada terhadap informasi yang kita terima. Apakah itu informasi yang positif bagi kita atau justru informasi yang bakal menjerumuskan kita. Dalam kondisi seperti itu, sudah barang tentu bahwa kita tidak bisa hanya menyalahkan lingkungan sosial saja. Yang lebih dibutuhkan tidak lain adalah sikap waspada dari kita sendiri untuk tidak terpengaruh dengan informasi yang negatif tersebut.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya aktivitas seks pranikah. Ada yang bisa kita kategorikan sebagai faktor internal, yaitu karena hal-hal yang datang dari dalam, tetapi juga ada faktor eksternal, yaitu dari luar diri yang bersangkutan. Faktor luar, misalnya, karena pengaruh berbagai informasi yang salah dan bahkan dapat menyesatkan berkenaan dengan kesehatan reproduksi dan seksual. Biasanya informasi itu diperoleh dari teman yang tidak memiliki pemahaman yang benar tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Juga bisa diperoleh dari berbagai media seperti VCD ataupun buku-buku yang dikategorikan porno, termasuk berbagai tayangan acara di TV yang semakin vulgar saja belakangan ini. Contoh lain dari faktor luar adalah adanya kesempatan yang dapat mendorong untuk melakukan hubungan seksual.
B.1. Faktor Internal
Setiap manusia akan memasuki sebuah masa yang dinamakan sebagai masa pubertas. Dalam masa ini, terjadi berbagai perubahan secara fisik, psikologis, dan sosial. Perubahan itu terjadi karena mulai aktifnya hormon seks dalam tubuh kita. Kaum pria memiliki hormon testosteron yang diproduksi secara terus-menerus oleh testis. Sedangkan kaum perempuan memiliki hormon estrogen dan progesterone yang diproduksi dalam ovarium secara bersiklus. Hormon seks inilah yang menimbulkan ciri seksual sekunder dan mengakibatkan timbulnya dorongan seksual dalam diri kita. Hormon seks tersebut dapat sangat besar pengaruhnya dalam menimbulkan dorongan seksual karena hormon seksual itu baru saja aktif berfungsi secara optimal. Namun, pada sisi lain, kadar hormon ini sering kali belum stabil. Karena itu, dorongan seksual ini sebenarnya tumbuh secara alami. Dari peristiwa inilah lalu mulai timbul perilaku seksual, yaitu tindakan atau perbuatan yang dilakukan yang didasari dengan dorongan seksual, antara lain untuk memuaskan hasrat seksual. Salah satu perilaku seksual tersebut yaitu berhubungan seks sebelum menikah.

B.2. Faktor Eksternal
Selain faktor internal, ada pula faktor eksternal yang membuka celah terjadinya seks pra nikah. Ada dua faktor eksternal, yaitu pengaruh media, dan pengaruh lingkungan. Media informasi kini telah memegang peranan penting dalam membentuk pola pikir masyarakat. Iklan-iklan alat kontrasepsi dan film-film remaja yang muncul dalam media televisi, secara tidak langsung telah membentuk suatu pola pikir dalam diri remaja yang mengatakan bahwa seks pra nikah itu legal asalkan menggunakan kondom. Ada kesalahkaprahan dalam menangkap pesan media yang memang kadang terlalu dibesar-besarkan itu. Tidak adanya batasan-batasan yang jelas, kerap membuat banyak remaja salah melihat tontonan yang sesungguhnya diperuntukkan untuk orang dewasa. Ketidaksiapan mereka dalam menerima informasi itulah yang membuat mereka harus “matang” lebih cepat dari sebagaimana mestinya. Faktor yang kedua adalah pengaruh lingkungan. Kultur kebebasan yang begitu kental di Amerika telah membuat seks pra nikah menjadi bukan lagi masalah moral. Kebebasan itu telah mengubah seks pra nikah sebagai sebuah hak yang dapat dipakai oleh setiap orang. Orang lain tidak berhak menegur bila ada remaja yang melakukan hubungan seksual pra nikah karena itu adalah hak pribadi. Seks pra nikah dianggap sebagai hak manusia yang harus dijunjung tinggi sebagaimana hak asasi manusia. Hal ini memperlihatkan bahwa lingkungan juga ikut berperan dalam membentuk pola pikir orang muda terhadap seksualitas. Karenanya, sebuah lingkungan yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan nilai-nilai agama dalam masyarakat, akan mampu membebaskan orang-orang mudanya dari jeratan seks pra nikah.

C. Apa kata Gereja tentang itu Seks Pra Nikah?
C.1. Ajaran Gereja Katolik tentang Moralitas Seksual
Ajaran Katolik mengenai moralitas seksual berasal dari hukum alam, Kitab Suci dan tradisi suci Gereja, serta disusun secara resmi oleh Magisterium Gereja. Moralitas seksual menganalisa kebaikan perilaku seksual, dan seringkali menyumbangkan prinsip-prinsip umum yang bisa digunakan seseorang untuk menganalisa moralitas suatu tindakan. Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa kehidupan manusia dan seksualitas manusia adalah tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya dan adalah suatu yang suci. Oleh karena umat Katolik percaya bahwa Tuhan menciptakan umat manusia berdasarkan citra dan kemiripan-Nya, serta bahwa Tuhan menjadikan semua yang diciptakannya sebagai hal-hal yang "sangat baik" (Kitab Kejadian 1:31), Gereja mengajarkan bahwa tubuh manusia dan seks haruslah baik oleh karenanya. Katekisme Katolik mengajarkan bahwa "tubuh manusia merupakan sendi dari penyelamatan". Gereja menganggap bahwa perwujudan cinta antara suami dan istri sebagai suatu bentuk aktivitas manusia yang lebih tinggi nilainya, menyatukan suami dan istri di dalam bentuk saling menyerahkan diri yang sepenuhnya, dan membuka hubungan mereka pada kehidupan yang baru. "Aktivitas seksual dimana suami dan istri bersatu secara intim dan murni antara yang satu dengan yang lainnya, yang daripadanya kehidupan manusia disalurkan, adalah, sebagaimana yang diingatkan oleh Konsili terkahir, 'mulia dan berharga'". Adalah di dalam kasus-kasus dimana perwujudan seksual dicari di luar ikatan pernikahan yang suci, atau dimana fungsi-fungsi membentuk keturunan (prokreasi) dari perwujudan seksual di dalam pernikahan ditanggalkan secara sengaja, Gereja menyatakan keprihatinan moral yang sangat mendalam.
Gereja jelas mengajarkan bahwa hubungan seksual di luar ikatan pernikahan adalah bertentangan dengan tujuan hubungan seksual itu sendiri. "Aktivitas hubungan suami-istri" bertujuan untuk mencapai kesatuan pribadi yang sangat mendalam; sebuah persatuan yang lebih daripada hanya sebuah persetubuhan, yang menjurus pada pembentukan kesatuan hati dan jiwa semenjak ikatan pernikahan merupakan sebuah tanda cinta antara Tuhan dan manusia. Di antara dosa-dosa yang sangat bertentangan dengan kemurnian seksual adalah masturbasi, hubungan seks bebas, pornografi, preaktek-praktek hubungan homoseksual dan alat-alat kontrasepsi. Disamping dianggap sebagai sebuah dosa besar, penyediaan sarana atau bantuan dalam tindakan aborsi bisa mengakibatkan dijatuhinya hukuman ekskomunikasi.
C.2. Sumber-sumber Moralitas Seksual dalam Gereja Katolik
a. Hukum alam
Hukum alam (lex naturalis) adalah sebuah teori etika yang menempatkan keberadaan sebuah hukum dimana isinya dibentuk oleh alam dan oleh karenanya memiliki keabsahan di manapun ia berada. Dalam sebuah tulisan yang sangat berpengaruh dari Summa Theologia, Santo Thomas Aquinas menulis:
“ makhluk hidup yang memiliki rasionalitas tunduk pada Tuhan Allah dengan sebaik-baiknya, sampai-sampai ia turut mengambil bagian dalam karya Allah tersebut, baik berkarya ilahi untuk diri sendiri maupun untuk sesama. Karena, keikut-sertaan ini memiliki bagian di dalam Logika Abadi, yaitu sebuah dasar pemikuran yang memiliki kecenderungan alami pada tindakan dan tujuan yang wajar: dan partisipasi hukum abadi ini di dalam makhluk hidup yang rasional disebut sebagai hukum alam.”
Hukum alam adalah sebuah sumber dasar bagi ajaran-ajaran Katolik mengenai moralitas seksual.
b. Kitab Suci
Cerita-cerita penciptaan di Kitab Kejadian 1-3 memberikan masukan dalam segi antropologi yang menerangkan umat Katolik mengenai moralitas seksual. Ayat-ayat berikut ini seringkali disebutkan di dalam pelajaran-pelajaran moralitas seksual Katolik:
"Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: 'Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu ...' " (Kejadian 1:27-28)
"Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu." (Kejadian s:21-25)
"Firman-Nya kepada perempuan itu: 'Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu." (Kejadian 3:16)

Dua dari Sepuluh Perintah Allah secara langsung merujuk pada moralitas seksual, yaitu melarang perzinahan dan mengidamkan istri tetangga. (Baca Kitab Keluaran 20:14, 17; Kitab Ulangan 5:18, 21). Yesus berkomentar mengenai kedua perintah ini di dalam Injil Matius 5:27-28: "Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya." Yesus membuat rujukan pada kalimat-kalimat dari Kitab Kejadian dalam khotbah-khotbahnya mengenai pernikahan di dalam Kitab Matius 19:4-6: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."


Minggu, 08 Maret 2009

Kontrasepsi

Kontrasepsi dalam Kacamata Gereja Katolik
I. PENGANTAR
A. Apa itu moral hidup?
Pembicaraan tentang “alat kontrasepsi” akan menjadi sebuah pembicaraan yang akan mengawali rangkaian diskusi kita tentang Moral Hidup. Saat ini, seiring dengan kemajuan bidang medis dan biologis, dunia ini semakin memberikan perhatian besar pada masalah-masalah moral. Ada sejumlah hal yang memacu berkembangnya perhatian terhadap masalah moral itu. Pertama, kemajuan IPTEK telah membuat para dokter semakin berperan dalam kehidupan dan nasib seorang pasien. Kedua, Kemajuan tersebut memiliki cermin ganda. Di satu pihak, itu semua menjanjikan hal yang luar biasa bermanfaat bagi manusia, tapi di lain pihak, juga dapat menjadi ancaman bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang masalah-masalah moral yang akan kita telaah, ada baiknya bagi kita untuk memahami terlebih dahulu apa itu moral hidup. Moral hidup adalah bagian integral dari moral yang berbicara dan berefleksi tentang perilaku, sikap, tindakan, dan pemahaman manusia terhadap kehidupan manusia agar dapat dijalani secara baik dan benar menurut norma-norma moral[1]. Obyek Moral hidup adalah perilaku manusia yang diamati dari satu sudut pandang, yaitu nilai-nilai dan prinsip moral. Secara nyata, moral hidup mencakup pembicaraan tentang kesehatan dan kehidupan manusia itu sendiri.
B. Prinsip-Prinsip Umum yang harus ada dalam sikap Moral Hidup
1. Penghargaan terhadap kehidupan
Moral Kristen selalu berlandaskan pada keyakinan akan Allah yang menciptakan manusia dan mencintai kehidupan. Karenanya, prinsip moral pertama ini adalah bersifat mutlak harus ada dalam setiap tindakan moral yang diambil. Tradisi Kristen percaya bahwa manusia diciptakan Allah dalam keserupaan dengan Dia. Hidup manusia begitu luhur. Oleh karenanya, segala bentuk kesewenangan manusia terhadap kehidupan harus ditentang. Sehubungan dengan itu, pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah setiap tindakan yang diambil menjadikan manusia sebagai obyek(korban) atau subyek atas tindakannya? Prinsip yang juga termasuk dalam nilai ini adalah prinsip efek ganda. Prinsip efek ganda berkaitan dengan suatu tindakan yang menghasilkan akibat ganda, yaitu baik dan jahat. Prinsip itu ingin menjelaskan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan walaupun dari padanya keluar akibat ganda, yaitu kebaikan dan keburukan. Terkait dengan itu, ada empat syarat yang membenarkan tindakan berefek ganda ini, yaitu:
1)Tindakan itu secara moral adalah baik.
2)Maksud tindakan adalah mengupayakan kebaikan dan menghindari hal buruk.
3)ada hubungan tidak langsung dengan akibat buruk.
4)akibat buruk itu tidak dapat dicegah.
COntoh tindakan berefek ganda ini adalah pengangkatan rahim pada penderita kanker kandungan.
2. Mutu dan Kesucian Hidup

C. Beberapa paham-paham tindakan moral yang tidak dibenarkan oleh Gereja.
1. Intuitionisme
Paham ini beranggapan bahwa kebenaran itu diukur pada intuisi setiap pribadi manusia (feeling manusia). Kenapa ditolak? Tiap orang memiliki intuisi yang berbeda-beda. Maka, paham ini hanya akan mengaburkan kebenaran sejati itu sendiri. Masing-masing orang punya kebenarannya sendiri-sendiri dan tidak dihubungkan dengan situasi. Akibatnya, nilai kebenaran tidak menjadi mutlak karena bisa berubah-ubah.
2. Positivisme
Paham ini menyatakan bahwa moralitas bukanlah sesuatu yang ada begitu saja, tapi itu diciptakan dan dibuat oleh manusia itu sendiri.
Kenapa ditolak? Paham ini hanya membuat orang tidak bisa menghayati kemurnian motivasi dalam bertindak. Paham ini mengajak orang untuk melakukan sesuatu hanya karena dasar kewajiban.
3. Deontologi
Paham deontologi sama dengan paham positivisme. Hanya saja, paham deontology lebih tidak memperhitungkan dampak akibat dari tindakan yang diambil.
4. Hedonisme
Menurut Hedonisme, sebuah tindakan disebut baik bila itu memberikan kenikmatan kepada pelakunya. Paham hedonism mendasarkan hidup pada nilai kesenangan. Tindakan yang tidak membawa nikmat, dianggap sebagai tindakan yang salah.
5. Utilitarianisme
Paham ini merupakan pemurnian dari paham hedonisme. Jika hedonisme mendasarkan baik tidaknya sebuah tindakan pada nilai kenikmatan yang didapat oleh pelaku, maka paham utilitarianisme menyatakan bahwa sebuah tindakan disebut baik bila memberikan kegunaan bagi si pelaku.
6. Proporsionalisme
Proporsionalisme menyatakan bahwa sebuah penilaian atas baik tidaknya sebuah tindakan didasarkan pada perbandingan baik-buruk akibat yang ditimbulkan. Jika nilai kebaikannya lebih besar daripada keburukannya, maka itu dapat dikatakan sebagai tindakan yang benar. Kenapa ditolak? Paham ini ditolak karena menghalalkan segala cara dalam pencapaian tujuannya.
7. Etika Situasi
Etika situasi menyatakan bahwa tindakan manusia harus didasarkan oleh situasi yang sedang terjadi. Jadi, suatu tindakan yang sama dapat dibilang sebagai tindakan yang baik sekaligus buruk, tergantung situasinya. Kenapa ditolak? Karena terlalu bersifat subyektif.





II. SEKILAS TENTANG KONTRASEPSI
A. Apa itu Kontrasepsi?
Istilah “Kontrasepsi” tersusun atas dua kata, yaiu “kontra” dan “konsepsi”. “Kontra” menunjuk pada makna “mencegah atau melawan, sedangkan “Konsepsi” adalah pertemuan ovum dengan sperma yang dapat menghasilkan pembuahan. Dengan demikian, kontrasepsi dapat diartikan sebagai usaha-usaha untuk menghalangi terjadinya kehamilan. Usaha itu bisa bersifat permanen ataupun sementara.
B. Jenis-Jenis Kontrasepsi
Ada tiga kelompok besar kontrasepsi, yaitu kontrasepsi mekanik, hormonal, dan kontrasepsi mantap. Kontrasepsi mekanik bersifat sebagai pencegahan akan pertemuan sel telur dengan sperma. Contohnya, kondom, diafragma, spermisida, dan IUD.
Kontrasepsi hormonal bersifat sebagai pencegahan pengeluaran sel telur dari indung telur dan mengentalkan cairan dalam rahim sehingga sperma sulit menembus. Contohnya, pil KB, suntikan KB, Susuk. Kontrasepsi mantap adalah bersifat tetap. Contohnya, vasektomi (Pria) dan tubektomi (wanita).
C. Dampak Negatif KB / Alat Kontrasepsi
a. KB bisa menjadi sebuah pembenaran logis terhadap tindak Aborsi. Ini berarti, itu bisa mendukung kejahatan hidup.
b. Alat-alat kontrasepsi bisa menimbulkan penyakit berbahaya bagi wanita, seperti kanker rahim, kanker payudara.
c. Keberadaan Alat kontrasepsi menjadi pemulus segala macam tindakan seks pra nikah, terutama bagi para remaja.

III. Memahami Moralitas Keluarga Berencana
Keluarga Berencana bukanlah isu tunggal tetapi terkait erat dengan tiga isu lain, yakni politik kependudukan, menjadi orang tua bertanggung jawab, dan metode pengaturan kelahiran. Ketiga isu itu diperlukan sebagai kesadaran awal untuk memahami moralitas keluarga berencana.
A. Politik Kependudukan
Menurut data terakhir, pada zaman sekarang ini jumlah total penduduk dunia sudah mencapai angka 6,5 miliar jiwa. Rasio pertumbuhan penduduk adalah 150 orang/menit, 220.000/hari, dan 90 juta/tahun. Dan, tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi di Asia dan Afrika.
Angka-angka itu menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk tidak pernah berhenti. Pertumbuhan penduduk itu sendiri memiliki kekhasan, yakni ketidakseimbangan jumlah pertambahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain. Pembicaraan tentang pertambahan jumlah penduduk ini tidak dapat dilepaskan dari masalah tingkat kesejahteraan, seperti halnya penyediaan sumber-sumber alam. Dan, ketersediaan sumber daya alam itu sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari gaya hidup para manusia dalam mempertahankan kelayakan hidupnya yang manusiawi.
Yang dimaksudkan dengan politik kependudukan adalah upaya campur tangan pemerintah untuk mengatur jumlah penduduk dalam wilayah negaranya. Mengenai hal ini, pada prinsipnya itu semua harus memperhitungkan kebebasan pribadi, seperti kebebasan orang untuk menikah, dan memutuskan banyaknya anak; kebebasan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan diyakininya.
B. Orang tua bertanggungjawab
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa dalam melahirkan keturunan, setiap orang tua bekerja sama dengan Sang Pencipta dalam kasih. Orang tua menjadi penerjemah kasih Allah itu. Ada banyak alasan yang menekankan bahwa orang tua memiliki tanggung jawab yang besar dalam hal anak, seperti adanya desakan teologis dan social yang menyatakan bahwa perkawinan merupakan sarana reproduksi; semakin memudarnya kualitas perkawinan; merebaknya sarana-sarana kontrasepsi; kepedulian umum terhadap seksualitas; dan interpretasi tentang kelahiran sebagai penyelenggaraan ilahi.
Konsep “orang tua bertanggungjawab” adalah konsep tentang keputusan pasangan untuk memperbanyak atau mengurangi jumlah anak. Tanggung jawab di sini dimaksudkan bahwa reproduksi manusiawi tidak boleh dilihat hanya sebagai insting makhluk manusia belaka atau sekedar nasib. Juga itu tidak boleh dilihat sebagai hal alamiah pada manusia. Reproduksi harus merupakan bagian dari keyakinan dan sikap berpengharapan kepada Allah. Konsep tanggung jawab ini juga dimaksudkan untuk mencegah sikap kesewenang-wenangan pasangan dalam menentukan jumlah anak.
Menurut HUMANAE VITAE, dalam penentuan jumlah anak, moralitas harus menjadi elemen vital sehingga keputusan yang diambil harus mengacu kepada norma-norma moral yang ditentukan Allah. Keputusan tentang jumlah anak harus menjadi semata-mata sebagai keputusan bersama suami-istri dan harus ada persetujuan bebas bersama tanpa adanya paksaan.
C. Metode Pengaturan kelahiran : Aspek-aspek Moral
1. Metode serta penilaian moral.
Metode yang dimaksudkan di sini adalah metode yang terkait dengan pencegahan kehamilan dan bukan pencegahan kelahiran. Secara umum, dikenal dua metode, yaitu metode alamiah, dan metode buatan.
a. Metode alamiah: Mencegah terjadinya kehamilan dengan melakukan hubungan seksual pada masa istri sedang tidak subur. Di sini, orang harus tahu siklus masa subur istri.
Penilaian moralnya: Metode ini dinilai metode yang paling baik karena menghormati tubuh wanita dengan kodrat fisiknya sebagai wanita yang mengenal masa subur dan tidak subur; karena memacu suami istri untuk terbuka satu sama lain; karena dapat menjadi latihan untuk menguasai diri dalam hal nafsu seksual.
Kesulitannya: Bisa kecolongan. Jika kecolongan, maka kehamilan akan jadi beban.
b. Metode buatan: Upaya pencegahan kehamilan dengan menggunakan sarana-sarana buatan yang dimasukkan ke dalam tubuh wanita atau pria, yang digunakan untuk sementara ataupun secara tetap.
Penilaian moralnya:
Kondom: tidak ada keberatan moral soal kondom karena dinilai sama seperti metode alamiah. Tapi, Gereja menolak kondom, spermiside, diafragma, dan coetus interuptus karena tidak sejalan dengan tujuan kesatuan suami istri yang mesti terarah kepada prokreasi.
Pil KB, Suntik dan Susuk: Keberatan moral atas cara ini adalah bahwa alat-alat itu dapat mengubah ritme kesuburan pada wanita.
IUD atau Spiral: Keberatan moralnya adalah bahwa cara ini lebih berciri abortif dan bukan kontraseptif.
Vasektomi dan tubektomi: cara ini ditolak karena mengubah kondisi fisik yang sempurna menjadi tidak sempurna.


IV. Gereja angkat bicara perihal KB
a. Paus Pius XII
Tidak ada masalah moral bila suami-istri mengadakan hubungan seks pada masa tidak subur. AKan tetapi, bisa menjadi masalah bila mereka hanya mau mengadakan hubungan seksual di masa tak subur itu.
Paus ini juga mengutuk semua bentuk sterilisasi langsung.
b. Paus Paulus VI
Pada tanggal 25 Juli 1968, paus ini menerbitkan Humanae Vitae. Ensiklik ini dengan tegas membedakan metode alamiah dengan metode buatan. Ia menegaskan bahwa tiap persetubuhan harus terarah pada kelahiran hidup manusia. Dengan alat-alat kontrasepsi, proses menuju pada pembuahan itu secara sengaja dienyahkan. Dengan kata lain, menggunakan alat kontrasepsi adalah sama halnya dengan mengenyahkan karya Tuhan pada manusia.
c. Paus Yohanes Paulus II
Pendapatnya tentang alat kontrasepsi disampaikan dalam ensiklik Familiaris Consortio. Ia menyatakan bahwa jika dengan alat kontrasepsi, pasangan menjauhkan kemampuan untuk menciptakan kehidupan, maka mereka dinyatakan telah bertindak sewenang-wenang mengambil alih tugas yang hanya dijalankan Allah saja. Karena sarana kontrasepsi itu, pasangan telah memisahkan kehidupan. Hal ini dipandang sebagai sikap kesewenang-wenangan terhadap rencana Allah serta memanipulasi dan merendahkan seksualitas manusia.



[1] James F. Childress, “Bioethics” in John Macquarrie, Dictionary of Christian Ethics, SCM Press, London, 1986.