Perkembangan kehidupan manusia menghadirkan sebuah situasi yang kontradiktif. Ketika masyarakat dunia modern mencapai tingkat kemajuan sosial-ekonomi dan teknologi yang tinggi, tingkat presentasi problem kemanusiaan tidak menunjukkan grafik penurunan. Justru kemajuan itu kerap memunculkan problem-problem kemanusiaan yang baru dan lebih rumit. Budaya hidup manusia modern, sering ditandai dengan budaya persaingan dalam pencapaian tingkat kemajuan hidup. Tak jarang, tidak sedikit orang yang gagal bersaing dan tidak mampu mewujudkan impian mereka. Kegagalan itu kerap kali membuat banyak orang menjadi putus asa dan menganggapnya sebagai akhir dari segalanya. Persaingan yang semakin keras juga melahirkan sebuah keprihatinan baru, yaitu melemahnya intensitas relasi antar pribadi yang menyusutkan pengalaman kasih dan keakraban antar pribadi manusia. Tidak adanya lagi kehangatan kasih, membuat banyak orang merasa ditinggalkan dan kesepian. Kecondongan batin itu menggerakkan banyak orang pada derita batin yang mendalam. Derita batin itu akan membuat orang menjadi putus asa dan tidak mampu lagi melihat makna kehidupannya secara jernih. Orang tidak lagi menyadari eksistensinya di dunia ini sebagai anugerah Allah yang luhur dan suci. Suasana umum dunia yang seperti itulah yang kerap menjadi latar belakang dan penyebab terjadinya bunuh diri. Paper ini akan melihat lebih dalam lagi tentang fenomena Bunuh Diri dan sekaligus ingin menunjukkan sejumlah penilaian moral atasnya.
a. Apa itu Bunuh Diri?
Bunuh Diri adalah tindakan seseorang yang menghabisi hidupnya sendiri atas dasar otoritasnya sendiri (direct suicide). Definisi itu dapat kita telaah ke dalam beberapa unsur berikut:
1. Bunuh Diri adalah tindakan seseorang. Seseorang yang dimaksud adalah seorang manusia. Mari kita fokuskan perhatian pada kata “tindakan”. Manusia selalu melakukan berbagai tindakan untuk mewujudkan gagasan-gagasan hidupnya dengan caranya yang khas. Kekhasan cara tersebut yang membuat tindakan-tindakan manusia, menjadi berbeda satu dengan lainnya. Apa yang menjadi tindakan manusia adalah khas dan menunjukkan bahwa dirinya adalah manusia. Berikut adalah tindakan-tindakan yang dapat dikatakan sebagai cirri khas manusia (makhluk hidup):
a. Asimilasi: Manusia berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Yang tergolong dalam tindakan asimilasi ini juga adalah tindakan manusia untuk memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya sendiri.
b. Reproduksi: Kemampuan untuk melipatgandakan diri dan membentuk bibit-bibit baru (keturunan).
c. Bereaksi: Manusia juga dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya dan atas keadaan-keadaan yang sedang dialaminya.
d. Menyadari : Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain dan benda mati. Manusia senantiasa memiliki kesadaran untuk melakukan sesuatu. Kesadaran itu menjadi landasan bagi manusia untuk berbuat.
2. Bunuh Diri sebagai tindakan yang menghabisi kehidupan sendiri.
Bunuh Diri adalah sebuah kejahatan. Sebab, tindakan ini memiliki tujuan akhir untuk menghancurkan kehidupan. Meskipun kehidupan yang dihancurkan itu adalah kehidupan si pelaku sendiri dan bukan orang lain, tetap saja itu memiliki inti tindakan yang sama, yaitu tidak menghargai kehidupan.
3. Bunuh Diri sebagai tindakan yang dilakukan atas dasar otoritas sendiri.
Sebuah tindakan disebut tindakan bunuh diri bila tindakan itu dilakukan atas dasar kemauan si pelaku sendiri. Jika tindakan itu dilakukan oleh seseorang atas perintah otoritas yang berkuasa, maka itu tidak dapat disebut sebagai bunuh diri.
Secara psikologis, diketahui bahwa kecenderungan bunuh diri terdorong oleh adanya keinginan manusia untuk bebas dari segala macam beban atau konflik hidup. Si pelaku merasa tidak berdaya dalam mengelola serta menghadapi problem-problem itu. Dia mengalamai kesendirian dan keterisolasian dari dunia pergaulannya. Ia menjadi merasa tidak berguna dan merasa hanya menjadi beban bagi orang lain. Karenanya, bunuh diri kerap dilihat sebagai jalan terakhir yang tepat untuk membebaskan diri dari segala perasaan ketertekanan itu. Data real di lapangan menunjukkan bahwa pria lebih banyak bunuh diri daripada wanita; warga kota lebih banyak bunuh diri dibanding orang desa; para manula lebih banyak bunh diri daripada anak-anak muda; dan manusia dunia maju lebih banyak bunuh diri daripada manusia di dunia ketiga.
Bagaimana dengan para filsuf? Para filsuf juga mencoba berpendapat tentang bunuh diri. Para filsuf yang menolak adanya bunuh diri adalah Aristoteles dan Immanuel Kant. Menurut Immanuel Kant, bunuh diri tidak layak dilakukan karena bunuh diri adalah penghancuran terhadap subyek moral dan juga sekaligus penghancuran terhadap moralitas itu sendiri. Namun, ada juga filsuf yang mendukung bunuh diri, seperti David Hume dan para filsuf Stoa. Di zaman modern ini, para pendukung euthanasia menyetujui bunuh diri sebagai wujud otonomi dan kebebasan pribadi terhadap hidupnya sendiri.
B. Bagaimana dengan Moral Katolik?
Secara tegas, Moral Katolik menolak Bunuh Diri, dan menilainya sebagai sebuah KEJAHATAN BESAR.
Mengapa demikian? Berikut alasan penolakannya.
B.1. Manusia bukanlah Tuan yang memiliki kehidupan.
Meskipun manusia menjalani suatu kehidupan yang ada padanya, kehidupan itu sendiri bukanlah sesuatu yang dicapai berkat upaya mausia itu sendiri. Akan tetapi, kehidupan adalah sesuatu yang diterimanya dan berada di luar kuasa kebebasannya. Karena itu, manusia tidak bisa menyatakan “menerima” atau “menolak” terhadap kehidupan ini. Teologi agama monoteis mengajarkan bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia, dan menganugerahkan kehidupan kepada manusia itu. Kehidupan adalah milik Allah. Peran manusia terhadap kehidupan hanyalah sebatas memelihara, mengembangkan dan memajukan kehidupan agar mencapai kepenuhannya.
Menyia-nyiakan kehidupan adalah tanda ketidaksetiaan dan pengingkaran manusia terhadap peranannya dan bentuk perlawanan terhadap Allah sebagai pemilik kehidupan. Karena itu, bunuh diri adalah tanda nyata dari keputusasaan dan ketidaksetiaan kepada Allah. Bunuh Diri menjadi tanda pemberontakan dan menjadi suatu ekspresi otonomi yang merusak terhadap Allah. Maka dari itu, bunh diri tidak dapat dibenarkan.
B.2. Kewajiban dan Tanggungjawab Masyarakat
Dalam banyak kasus bunuh diri, umumnya masyarakat dan lingkungan terdekatlah yang dipersalahkan karena si pelaku bunuh diri terkondisikan dalam situasi dan pengalaman hidup yang berat tak terpikulkan yang menyebabkannya putus asa dan terhalang untuk melihat kehidupan secara positif dan optimistic. Bunuh diri adalah tanda nyata kegagalan masyarakat dalam mewujudkan keadilan dan dalam memberikan perhatian kasih kepada mereka yang putus asa dan menderita. Bunuh diri sering menjadi bentuk protes dan sekaligus meminta perhatian terhadap orang-orang sekitar agar memperhatikan dan membantu.
Untuk itu, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan bahwa bunuh diri bukanlah ekspresi kebebasan, akan tetapi merupakan tanda kehilangan kebebasan. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kondisi dasar bagi otonomi manusia dalam mengembangkan dan memajukan kehidupan menuju kepenuhannya.
B.3. Keterkaitan Kehidupan satu sama lain
Sering banyak orang berpikir bahwa kehidupannya adalah semata-mata urusannya sendiri, terpisah dan tak terkait dengan kehidupan orang lain sehingga apa yang dilakukan terhadap dirinya sendiri, tidak akan mempengaruhi orang lain. Bunuh Diri seringkali dilandasi oleh keyakinan yang macam itu. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Hakekat manusia sebagai makhluk sosial menjadi landasan bagi suatu kebenaran bahwa kehidupan manusia itu saling berhubungan dan saling terkait satu sama lain. Apa yang terjadi para seseorang akan juga mempengaruhi orang lain.
Karena itu, sebenarnya setiap manusia secara tertentu memiliki dan mengemban tanggung jawab atas kehidupan orang lain. Tindakan bunuh diri jelas akan meninggalkan beban derita dan tanggungjawab moral bagi orang lain. Bagi si pelaku bunuh diri, tindakannya itu menjadi tanda ketidakpeduliannya terhadap kepentingan bersama dan tanggung jawab orang lain dalma satu kesatuan kehidupan. Bunuh diri berarti mengingkari keberadaan dan tanggung jawab sesame. Atau dengan kata lain, Bunuh diri merupakan suatu pengingkaran akan hakekat sosial manusia.
B.4. Bunuh Diri adalah Pelanggaran terhadap Tugas Mencintai dan Mengejar Kesempurnaan Hidup.
Pelaku bunuh diri membuang peluang dan kesempatan untuk terus bertumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Ia menolak untuk terus bertumbuh menuju tingkat kesempurnaan yang dapat dicapainya dalam hidup. Bunuh diri menyebabkan dia kehilangan kesempatan untuk memperbaiki dan mengembangkan diri sendiri.
B.5. Bunuh Diri sebagai Protes terhadap Kejahatan Sosial Politik
Bunuh diri sering juga dipraktekkan sebagai suatu bentuk perlawanan dan pemberontakan terhadap suatu regim atau dictator yang jahat dan kejam. Bagi para pelaku, mati adalah lebih baik dairpada membiarkan diri menyerah dan diperlakukan sewenang-wenang oleh rejim dictatorial. Dalam kasus ini, bunuh diri dilakukan untuk mengingatkan rezim itu bahwa si pelaku bunuh diri bukanlah orang yang tega dan senang mengorbankan kehidupan orang lain, seperti halnya si penguasa rezim, tetapi ia lebih senang mengorbankan diri sendiri demi perwujudan suatu situasi hidup sosial politik yang manusiawi. Kasus lain yang terkait dengan pemahaman bagian ini adalah kasus di mana orang melakukan aksi kekerasan pembunuhan dengan juga membiarkan dirinya terbunuh. Aksi seperti ini kerap menjadi pilihan perjuangan bagi para teroris.
Apapun alasannya, suatu tindakan menghilangkan kehidupan sendiri ataupun kehidupan orang lain adalah sesuatu yang tidak dibenarkan secara moral. Tujuan yang ingin diperjuangkan tidak akan pernah membenarkan cara yang dipakai itu.
C. Gereja Katolik dan Bunuh Diri
Gereja Katolik secara tegas menolak dan tidak membenarkan tindakan bunuh diri. Dulu, Gereja pernah melarang pelayanan liturgis-sakramental bagi orang yang bunuh diri. Tetapi, sekarang ini, hal itu tidak lagi disebutkan secara eksplisit sebagai bunuh diri. Dalam Kanon 1184, dikatakan bahwa: (1) Tidak boleh diberi pemakaman gerejawi, kecuali jika sebelum meninggal, menampakkan sekedar tanda-tanda tobat. Mereka yang mendapatkan perlakuan ini adalah: a. Mereka yang nyata-nyata murtad, mengikuti bidaah dan skisma; b. Mereka yang memilih kremasi jenazah mereka demi alasan yang bertentangan dengan iman kristiani; c. Pendosa-pendosa public lainnya yang tidak dapat diberi pemakaman gerejawi tanpa menimbulkan sandungan bagi kaum beriman.
(2) Jika ada keragua-raguan, hendaknya Ordinaris Wilayah dihubungi, yang keputusannya harus dituruti.
Di lain pihak, Gereja Katolik menjunjung tinggi dan menghargai orang-orang yang mengorbankan hidupnya demi kehidupan orang lain atau demi kebaikan banyak orang serta demi iman. Hidup memang merupakan nilai tertinggi, tetapi nilai hidup bukanlah segalanya. Orang bahkan dituntut untuk mengorbankan hidupnya demi orang lain. Tokoh seperti Mazimilan Maria Kolbe, merupakan model dari orang yang menyerahkan hidupnya demi kebaikan orang lain.
Jumat, 08 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar