Pada awalnya adalah sebuah kisah yang tak mungkin terungkap; kisah sang anak manusia yang tertutur dari setitik cahaya terdalam di hatinya yang terus bertanya; kisah sejati yang takkan pernah terhapuskan oleh tetesan hujan di sore hari; dan kisah yang takkan pernah habis didengarkan oleh rembulan di kegelapan malam. Tak’kan ada insan yang mampu mengerti keindahan ini karena mereka pun tak melihat indahnya sebuah awal. Bahkan, burung-burung Gereja pun kan berkicau terus memohon sang Mentari mengisahkan kisah itu kepadanya. Mereka tak serapuh seperti bulunya untuk menantikan kisah itu. Hingga saatnya nanti, mereka akan berdiam dalam keheningan nanti sambil berujar dalam hatinya, “Tuhan, terima kasih atas kisah yang indah itu.” Tak hanya burung Gereja. Bintang-bintang malam pun akan terus setia bercahaya mendengarkan mimpi-mimpi manusia yang merindukan awal keindahan itu. Meskipun kecil, bintang itu akan terus kuat memancarkan setitik cahayanya hingga burung hantu di dahan cemara itu merasa tak sendirian. Hingga akhirnya, cahaya itu akan hilang seiring kepak sayap sang burung hantu yang meninggalkan pohon cemara itu sendirian di puncak bukit itu.
Sementara, di ujung jalan itu, sang bunda menyenandungkan nyanyian malam untuk sang Putri di dekapannya. Semilir angin pun akan menerbangkan keindahan senandung itu hingga menimbulkan semarak pada hati yang merana. Sesekali sang buah hati membuka matanya seolah-olah memastikan bahwa ia masih berada di surganya. Suara binatang malam pun menambah syahdunya dongeng kehidupan sang bunda. Dan, di ujung jalan yang lain, seorang anaknya yang lain tersenyum dalam tidurnya ketika mendengar pesan sang angin untuknya, “Nak, bundamu menitipkan doa untukmu.”
Tuhan, seandainya kegelapan tak perlu ada untuk bisa menemukan terang; seandainya tak perlu ada tangis untuk bisa memahami seuntai senyuman; seandainya hujan tak perlu muncul untuk bisa melihat indahnya pelangi senja; seandainya tak perlu ada perpisahan untuk mengerti indahnya perjumpaan; seandainya tak perlu ada akhir untuk dapat menemukan indahnya sebuah cinta; dan segalanya itu hanyalah seandainya. “Seandainya” yang tak akan pernah berubah menjadi sebuah kepastian, kecuali kematian.
Tuhan, andaikan kisahku ini dapat diterbangkan oleh sang angin dan dialirkan oleh sang air. Pastilah semua orang kan tercenung merenung sambil bertanya dalam hatinya, “sungguhkah ini sebuah cinta sejati?” Andaikan pula, ia yang ada di ujung jalan sana juga terus mendengarkan dongeng dan impian hatiku. Pastilah tak ada akhir dari sebuah awal. Atau, inikah yang harus terus menjadi pertanyaan hati manusia, “Haruskah jalan lurus ini berakhir di ujung sana?”
Dan, ia pun hanya akan terus bertanya dalam hati, “Tuhan, salahkah aku karena mencintainya?”
pada hari ke-8 di bulan desember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar