Sendiri bersama Tuhan

Sendiri bersama Tuhan

Selamat Datang di Pintu Ajaib!

Selamat Datang! Di hadapan Anda, telah berdiri sebuah pintu ajaib yang akan menghubungkan ide-ide labirin otak saya dengan mimpi serta idealisme Anda.
Terima Kasih karena Anda telah mau merengkuh mimpi-mimpi kehidupan seperti halnya burung Gereja yang senantiasa terbang rendah merengkuh mimpi-mimpinya.
Semoga Anda bisa menemukan keajaiban dalam ruang ide manusia yang sungguh ajaib.
---I Will Trust in You---


Perjalanan

Jumat, 27 Februari 2009

MONSTER MEMATIKAN ITU BERNAMA PERANG

Manusia telah memasuki sebuah babak baru kehidupannya. Jika dulu manusia harus bergulat bersama sesamanya mengatasi kerasnya alam yang liar ini, maka kini setelah manusia mampu mengendalikan tantangan itu dengan akal budinya, giliran mereka berusaha untuk saling menguasai sesamanya satu sama lain. Rasio mereka mencoba membenarkan dominasi yang berlebihan terhadap manusia-manusia lain. Dominasi dan kekuasaan menjadi obsesi-obsesi yang tak tertahankan dalam diri setiap manusia. Proses pemenuhan obsesi tersebut mengkristal secara nyata dalam berbagai wujud tragedi kemanusiaan yang kerap menghapuskan segala rasa perikemanusiaan dari kedalaman hati manusia-manusia modern. Salah satunya adalah perang.
A. Apa itu perang?
Kebutuhan yang sungguh mendesak dibutuhkan oleh manusia-manusia modern saat ini adalah kedamaian. Setiap manusia pastilah mendambakan dunia yang penuh damai. Namun, kenyataannya, sejarah manusia memperlihatkan betapa manusia tidak henti-hentinya berperang antar mereka sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perang adalah permusuhan antara dua negara yang mengkristal dalam konflik bersenjata. Secara mendasar, perang adalah bentuk permusuhan yang mengaburkan nilai kedamaian dalam kehidupan manusia. Perang menjadi pintu masuk kehancuran dan penderitaan manusia. Hingga akhir perang dunia II pada tahun 1945, tercatat sudah 20 juta manusia kehilangan nyawa. Bahkan, pada tahun 1970, terjadi 50 perang yang sebagian besar terjadi di Negara-negara dunia ketiga yang banyak tertekan oleh kemiskinan, penyakit dan masalah-masalah social lainnya. Setiap tahun, Negara-negara di dunia ini membelanjakan lebih 500 milyar dollar Amerika untuk keperluan militer.[1] Data-data itu memperlihatkan sebuah pembenaran akan pentingnya arti sebuah perang bagi penguasa-penguasa modern saat ini. Perang seolah-olah telah menjadi bagian penting dari kebudayaan manusia yang akan ikut membentuk arah kelanjutan kehidupan manusia itu sendiri. Para politikus modern cenderung menganggap perang sebagai jalan yang paling baik untuk mewujudkan perdamaian dunia. Selama ada umat manusia di dunia, selama itu pula akan muncul peperangan setiap saat. Dan, ini menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Sungguhkah benar anggapan manusia modern yang demikian?
Jika melihat sekilas, memang benar adanya bahwa sejarah hidup manusia tak pernah terlepas dari perang. Perkembangan sejarah manusia merupakan perkembangan evolusi nilai dan budaya manusia, yang berkembang dari manusia pencari dan pengumpul makanan, menuju manusia pemburu dan petani, hingga akhirnya menjadi manusia yang eksis dengan keadaan dirinya sendiri.[2] Sesungguhnya, sejarah kelam ini tidak hanya muncul karena sifat dasar manusia yang serakah dan ingin mendominasi orang lain, namun juga muncul karena situasi dunia yang sengaja diciptakan untuk memunculkan perang. Kapitalisme di Eropa yang akhirnya berkembang menjadi imperialism modern, telah memunculkan berbagai macam perang colonial untuk merebut tanah jajahan dan taklukkan. Selain itu, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya ruang berpikir dalam labirin otak manusia, berkembang pula teknologi-teknologi peperangan yang sedemikian canggih. Teknologi itu telah menghadirkan alat persenjataan yang begitu dahsyat dan mengerikan. Tidak lagi cukup bom yang dapat dilontarkan dari pesawat udara untuk memusnahkan sebuah Negara. Juga tidak hanya cukup peluru dan mesiu untuk senapan dan meriam untuk membunuh musuh-musuh yang bertikai. Namun, kini juga telah berkembang senjata biologis yang lebih mematikan daripada peluru ataupun bom. Dan, puncak perkembangannya ada pada titik penemuan bom nuklir.
Jika budaya perang ini tidak dapat dihapuskan oleh manusia sendiri dari dirinya dan masyarakat, janganlah terkejut bila suatu pagi nanti, kita terbangun karena mendengar ledakan nuklir. Dan, saat itulah, kita hanya tinggal menunggu saat-saat kematian itu datang.
­--- Ronald Reagan ---

B. Perang sebagai suatu tragedi kemanusiaan (Mengapa Memilih Perang?)
Tak dapat dipungkiri pula bahwa di balik kadar segala kecenderungan agresi yang besar dalam diri manusia, juga tersimpan hasrat-hasrat luhur akan adanya perdamaian di dunia ini. Hal itu tampak dari keberadaan agama-agama dunia ini. Dalam ajarannya masing-masing, setiap agama senantiasa mengajarkan kerukunan, cinta kasih dan perdamaian. Perdamaian menjadi harga mati yang harus diperjuangkan. Masalahnya adalah bahwa kerap kali perdamaian itu diraih lewat cara destruktif[3] yang mendistorsi[4] makna luhur perdamaian itu sendiri. Perang menjadi sebuah tragedi kemanusiaan karena dengannya, manusia menjadi kehilangan rasa cinta dan nilai humaniora dalam dirinya. Dengan perang, perdamaian yang tadinya menjadi titik tolak sasaran, pada kenyataannya tidak pernah disentuh dan hanya menjadi kedok untuk meraih keabsolutan kekuasaan serta dominasi pihak tertentu. Satu pertanyaan yang patut diajukan lebih lanjut adalah mengapa perang harus dipilih sebagai jalan akhir untuk meraih itu semua?
Seperti yang telah diungkapkan secara sekilas bahwasanya bukanlah nilai perdamaian yang sesungguhnya menjadi tujuan akhir perang, maka dapat dikatakan bahwa perang hanya menggunakan perdamaian sebagai kedok untuk meraih obsesi-obsesi kekuasaan yang ekstrem di segala bidang kehidupan. Kembali kepada pertanyaan tadi, pastilah ada motif-motif terselubung di balik terjadinya sebuah perang. Hal itu akan kita lihat dalam bagian ini.
1. Motivasi Ekonomi
Perang Dunia Kedua adalah salah satu contoh kentara yang dapat kita gunakan untuk melihat hal itu. Jepang sengaja menceburkan diri dalam Perang Dunia II ini karena didorong oleh keinginan untuk menguasai sumber-sumber minyak dan bahan mentah yang kala itu lebih dikuasai oleh Eropa. Tidak hanya itu saja, Jepang terlibat dalam perang ini juga karena ingin menguasai pasaran komoditi di Negara-negara Asia dan Pasifik. Peperangan tidak hanya sekedar konflik senjata semata, tapi juga persaingan terbuka untuk meraup keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya. Betapa menguntungkan manakala kemenangan itu datang, sebab seluruh sumber daya, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia, yang ada di Negara taklukkan itu, menjadi hak milik sang Negara agressor. Peperangan akan berujung kepada bentuk kolonialisme (penjajahan). Di dalam penjajahan itu, tersimpan segala macam bentuk sikap eksploatasi yang begitu ekstrem atas apa yang menjadi kekayaan di negeri taklukkan itu. Eksploitasi yang berlebihan itu menghasilkan income dan keuntungan yang begitu besar. Sedangkan, di lain sisi, jurang kemiskinan semakin menganga lebar di hadapan rakyat Negara yang kalah perang.
2. Perbedaan Ideologi
Dunia pemikiran manusia semakin terbagi-bagi ke dalam berbagai kutub idealisme dan pemikiran yang ekstrem. Masing-masing pemikiran itu sama-sama mengusung kepentingan kelompok yang bersembunyi di balik kebenaran-kebenaran semu yang diperjuangkan. Masalahnya adalah bahwa perbedaan-perbedaan yang ada itu menjadi titik temu yang (sengaja) dipertentangkan oleh manusia-manusia modern. Ada semacam sikap eksklusivisme yang menjadi buntut dari perbedaan-perbedaan yang ada. Masing-masing pihak mengklaim bahwa dirinyalah yang memiliki kebenaran absolut. Bahwa pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan pemikiran sebuah kelompok, dianggap sebagai musuh yang harus disingkirkan. Dan, proses yang paling mudah untuk menyingkirkan pihak-pihak yang berbeda itu adalah dengan perang.
3. Adanya Lingkaran Kekerasan dalam Masyarakat
Spiral kekerasan yang terus berlangsung dan tak pernah kunjung putus dalam masyarakat, telah menjadi virus yang mematikan komunikasi antar pribadi. Tradisi kekerasan telah merusak kepercayaan publik terhadap kebaikan umum yang diperjuangkan. Setiap orang menjadi cenderung curiga terhadap hal-hal baru yang dibuat oleh sesamanya. Matinya komunikasi yang tulus itu, secara tidak langsung memunculkan marginalisasi, ketidaksetaraan sosial, dan diskriminasi. Kemudian, dalam kelanjutannya, ketiga hal itu kembali memunculkan kekerasan-kekerasan baru, yang kerap berkembang menjadi kekerasan lintas budaya. Kekerasan lintas budaya yang dimaksud adalah bahwa setiap orang mulai tidak mampu lagi mengenal siapakah dirinya. Ia menjadi asing dengan dirinya. Selain itu, keterasingan itu membuat ia juga tidak bisa mengenal siapakah sesamanya. Pada titik inilah, berkembang sebuah mentalitas, yaitu berkomunikasi bila sedang membutuhkan. Mentalitas ini menjadi akar dari adanya penyakit-penyakit yang kini marak berkembang dalam masyarakat, yaitu ketidaktransparan komunikasi. Karenanya, tidaklah mengherankan bila pada akhirnya, hal itu hanya membuat orang menjadi saling curiga dan tidak mampu mempercayai orang lain lagi. Pada titik inilah, celah untuk terjadinya sebuah perang menjadi terbuka lebar.[5]
4. Majunya teknologi persenjataan

C. Gereja Katolik Berbicara tentang Perang
c.1 Latar belakang
Dalam terang Perjanjian Baru, kelompok Gereja Perdana merupakan kelompok pasivis atau “orang yang suka damai”. Setidaknya, hingga awal abad IV, Gereja Kristen merupakan Gereja para martir. Baru pada saat zaman Konstantinus Agung, Edik Milano yang dikeluarkannya telah membawa banyak perubahan bagi kristiani. Selain bahwa agama Kristen menjadi agama Negara, pengaruh yang muncul dari adanya Edik Milano ini adalah bahwa Gereja mulai menerima kriteria yang membedakan antara Perang Adil dan Perang yang Tidak Adil. Pada masa itu, perang adil masih bisa diizinkan.
Dalam perkembangannya, seorang tokoh filsuf Kristen, Erasmus, menyatakan bahwa perang adil yang sebelumnya diterima Gereja, sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Menurutnya, untuk bisa mencapai perdamaian, manusia harus berlari kepada kerajaan damai batiniah. Damai dapat diwujudkan dengan kehendak baik manusia. Pandangan Erasmus ini mulai ditentang oleh banyak politisi saat itu. Menurut mereka, ukuran baik atau buruk suatu tindakan dilihat dari akibatnya. Bila akibatnya baik, maka perang dapat dilakukan. Maka, tidaklah heran bahwa pandangan ini hingga kini masih dipegang banyak pemimpin. Lalu, bagaimana tanggapan Gereja terhadap perubahan pandangan tersebut?
c.2. Gereja Modern angkat bicara
Terhadap realitas perang yang terjadi di dunia ini, Gereja lebih banyak menyatakan sikapnya dalam Ajaran Sosial Gereja-nya. Secara umum, sikap Gereja memperlihatkan bahwa betapa mendesaknya kebutuhan dunia akan adanya perdamaian. Satu hal nyata yang diperlihatkan oleh Gereja adalah mengajak dunia untuk menghentikan produksi persenjataan nuklir di dunia. Dalam hal ini, Gereja secara positif mengajarkan bahwa perdamaian merupakan jawaban terhadap masalah kekerasan dan kekejaman yang ada di dunia. Gereja menilai negative kekerasan perang. Menanggapi realitas dunia yang semakin hancur lebur karena perang, Gereja selalu mengembalikan sikapnya kepada gagasan Injil, terutama gagasan cinta kasih.[6] Gagasan cinta kasih yang dimaksudkan itu juga meliputi gagasan Anti Kekerasan. Anti Kekerasan yang dimaksudkan Gereja adalah bahwa tiap pribadi harus aktif bertindak dalam mengusahakan situasi keadilan dan penciptaan. Dengan demikian, pengertian Anti Kekerasan Gereja lebih bernada aktif dan bukan pasif. Anti kekerasan bukan berarti berdiam diri tanpa berbuat apa-apa.
Ajaran Gereja tentang perdamaian ini sangat kuat Nampak dalam ensiklik Pacem in Terris yang diterbitkan pada tahun 1963 oleh Paus Yohanes ke-23. Paus ini menempatkan permasalahan perang dalam konteks Hak Asasi Manusia. Ensiklik ini ingin menyerukan perlu adanya suatu tata hukum dunia yang berhubungan dengan tata moral yang berdasarkan pada adanya sikap saling ketergantungan antar sesama. Dengan kata lain, segala aturan hidup yang dibuat oleh para penguasa, hendaknya selalu mengacu dan mengutamakan apa yang baik untuk bersama. Apa yang baik untuk bersama itu dapat kita sebut sebagai kebaikan umum. Kebaikan umum berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi setiap pribadi tanpa pernah melihat ras dan perbedaan-perbedaan yang ada. Pada titik ini, kebaikan umum yang dimaksud adalah terbebasnya dunia dari ancaman kehancuran akibat perang.
Ensiklik Pacem in Terris ingin mempertanyakan kembali kebenaran dari argumen dunia yang mengatakan bahwa produksi senjata dapat dibenarkan bila situasi damai sekarang ini tidak dapat dipertahankan. Paus Yohanes ke-23 secara jelas menyatakan bahwa perlucutan senjata untuk menggalang perdamaian, bergantung pada partisipasi aktif warga dunia untuk melenyapkan ketakutan dan kecemasan yang ada dalam setiap diri manusia. Di sini, dapat dikatakan bahwa perdamaian dunia sangatlah ditentukan oleh apa yang menjadi visi bersama umat manusia di dunia ini, yaitu kebenaran, keadilan, dan kebebasan yang bertanggung jawab.
Ajaran Gereja yang kedua yang juga berbicara tentang perdamaian dunia adalah Gaudeum et Spes. Dalam GS, dinyatakan bahwa menciptakan perdamaian dunia itu bukanlah sebuah sikap yang ditentukan oleh kekuatan militer yang identik dengan kekerasan, namun ditentukan oleh kesediaan setiap orang untuk mau mengakui dan menghargai keberadaan sesamanya yang ada di sekitarnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ancaman perang akan terus berlangsung sampai kedatangan kembali Kristus ke dunia. Kita tidak pernah tahu betul kebenaran pendapat itu. Hanya saja, hal yang harus diperhatikan adalah bahwa sikap yang membiarkan atau menyetujui perang adalah sebuah tindakan yang sungguh fatal.
Selanjutnya, perjuangan untuk memperjuangkan perdamaian ini dilanjutkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Dalam ensikliknya, Solicitudo Rei Socialis, dikatakan bahwa perdamaian adalah buah dari solidaritas umat manusia. Solidaritas itu bisa muncul jika ada keadilan dalam masyarakat. Maka, ensiklik ini ingin menunjukkan hubungan yang muncul antara perdamaian dan keadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perdamaian dapat terwujud dalam pertumbuhan dan kemajuan kehidupan. Perdamaian sejati didasarkan pada sikap adil. Sikap adil berarti mau memberikan penghargaan kepada setiap pribadi karena sama-sama memiliki martabat yang luhur.
Lalu, bagaimana Gereja Katolik sekarang melihat perang-perang yang sudah terjadi? Pada dasarnya, Gereja Katolik akan selalu mengutuk perang dan kejahatan yang diakibatkannya. Namun, ada satu hal penting lagi, yaitu bahwa Gereja tidak pernah akan mau mempersalahkan pihak manapun. Gereja mengajak seluruh umat manusia untuk menumbuhkan sikap pengampunan dalam diri setiap orang. Pengampunan adalah hal yang sangat dibutuhkan untuk memulihkan kehidupan yang kacau akibat perang. Pengampunan bisa menjadi obat untuk menyembuhkan luka dan penderitaan batin akibat perang.
Akhirnya, Gereja Katolik modern dalam ensikliknya Novo Millenio Adveniente, memberikan solusi nyata untuk dunia dalam mencegah konflik-konflik kekerasan, yaitu cara DIALOG. Dialog adalah sikap sentral dan penting dalam pemikiran dunia. Dalam dialog itu, ada sebuah kesadaran untuk mau mengakui serta menerima secara terbuka adanya perbedaan. Dari keterbukaan itu, secara bersama-sama pula manusia mencari apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh umat manusia. Dan, dialog dapat terwujud bila ada sikap yang toleran dan kebebasan beragama itu sendiri.


Daftar Pustaka

Borradori, Giovanni. 2005. Filsafat dalam Masa Teror. Jakarta: Penerbit Kompas
Cahyadi, Krispurwana. 2007. Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi, dan Kehidupan. Jakarta: Obor
Lubis, Mochtar. 1988. Menggapai Dunia Damai. Jakarta: Yayasan Obor
O Sears, David. 2000. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga
Sudarmanto. 1989. Agama dan Politik Anti Kekerasan. Yogyakarta: Kanisius
[1] David O. Sears, Psikologi Sosial edisi kelima (Jakarta: Erlangga, 2000), hlm. 2.
[2] Mochtar Lobis, Menggapai Dunia Damai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm. Viii.
[3] Destruktif = merusak, cara yang negatif
[4] Distorsi=menghilangkan nilai-nilai positif suatu realitas.
[5] Giovanna Borradori, Filsafat dalam Masa Teror (Jakarta: Kompas, 2005), hlm. 21.
[6] YB. Sudarmanto, Agama dan Politik Anti Kekerasan (Yogyakarta:Kanisius, 1989), hlm. 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar