Sebelum mengakhiri kelasnya, guru Sekolah Minggu bertanya kepada murid-muridnya.
Guru : "Kenapa kalo di gereja kita tidak boleh berisik?"
Murid: "Karena di gereja ada yang lagi tidur."
Jumat, 27 Februari 2009
ASAL MULANYA 10 PERINTAH ALLAH
Konon, 10 Perintah Tuhan itu sebenernya bukan untuk orang Israel, melainkan untuk bangsa lain tapi justru bangsa lain yang ditawari menolak. Begini kisahnya...Malaikat ke Italia.Malaikat:"Hei kamu orang Italia, mau perintah Tuhan nggak?"Orang Italia:"Apa isinya?"Malaikat:"Jangan membunuh!"Orang Italia:"Sori yach, kami ini mafia, membunuh adalah kegiatan kami"Lalu malaikat itu terbang ke Rusia.Malaikat:"Hei kamu orang Rusia, mau perintah Tuhan nggak?"Orang Rusia:"Apa Isinya?"Malaikat:"Sembahlah Tuhanmu!"Orang Rusia:"Sori yach, kami ini atheis. Nggak percaya ama Tuhanmu!"Lalu malaikat itu terbang ke Tiongkok.Malaikat:"Hei kamu orang Tionghoa, mau perintah Tuhan nggak?"Orang Tiongkok:"Apa isinya?"Malaikat:"Jangan berdusta!"Orang Tionghoa:"Sori yach, kami ini pedagang, jadi mesti menipu."Malaikat tsb menjadi frustrasi. Akhirnya ia terbang ke orang Israel yang terkenal kebandelan dan kekikirannya. Siapa tahu mereka mau, gumam malaikat.Malaikat:"Hei kamu orang Israel, mau perintah Tuhan nggak?"Orang Israel:"Mbayar nggak?"Malaikat:"Ini gratis!"Orang Israel:"OK, kami minta SEPULUH!"
MONSTER MEMATIKAN ITU BERNAMA PERANG
Manusia telah memasuki sebuah babak baru kehidupannya. Jika dulu manusia harus bergulat bersama sesamanya mengatasi kerasnya alam yang liar ini, maka kini setelah manusia mampu mengendalikan tantangan itu dengan akal budinya, giliran mereka berusaha untuk saling menguasai sesamanya satu sama lain. Rasio mereka mencoba membenarkan dominasi yang berlebihan terhadap manusia-manusia lain. Dominasi dan kekuasaan menjadi obsesi-obsesi yang tak tertahankan dalam diri setiap manusia. Proses pemenuhan obsesi tersebut mengkristal secara nyata dalam berbagai wujud tragedi kemanusiaan yang kerap menghapuskan segala rasa perikemanusiaan dari kedalaman hati manusia-manusia modern. Salah satunya adalah perang.
A. Apa itu perang?
Kebutuhan yang sungguh mendesak dibutuhkan oleh manusia-manusia modern saat ini adalah kedamaian. Setiap manusia pastilah mendambakan dunia yang penuh damai. Namun, kenyataannya, sejarah manusia memperlihatkan betapa manusia tidak henti-hentinya berperang antar mereka sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perang adalah permusuhan antara dua negara yang mengkristal dalam konflik bersenjata. Secara mendasar, perang adalah bentuk permusuhan yang mengaburkan nilai kedamaian dalam kehidupan manusia. Perang menjadi pintu masuk kehancuran dan penderitaan manusia. Hingga akhir perang dunia II pada tahun 1945, tercatat sudah 20 juta manusia kehilangan nyawa. Bahkan, pada tahun 1970, terjadi 50 perang yang sebagian besar terjadi di Negara-negara dunia ketiga yang banyak tertekan oleh kemiskinan, penyakit dan masalah-masalah social lainnya. Setiap tahun, Negara-negara di dunia ini membelanjakan lebih 500 milyar dollar Amerika untuk keperluan militer.[1] Data-data itu memperlihatkan sebuah pembenaran akan pentingnya arti sebuah perang bagi penguasa-penguasa modern saat ini. Perang seolah-olah telah menjadi bagian penting dari kebudayaan manusia yang akan ikut membentuk arah kelanjutan kehidupan manusia itu sendiri. Para politikus modern cenderung menganggap perang sebagai jalan yang paling baik untuk mewujudkan perdamaian dunia. Selama ada umat manusia di dunia, selama itu pula akan muncul peperangan setiap saat. Dan, ini menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Sungguhkah benar anggapan manusia modern yang demikian?
Jika melihat sekilas, memang benar adanya bahwa sejarah hidup manusia tak pernah terlepas dari perang. Perkembangan sejarah manusia merupakan perkembangan evolusi nilai dan budaya manusia, yang berkembang dari manusia pencari dan pengumpul makanan, menuju manusia pemburu dan petani, hingga akhirnya menjadi manusia yang eksis dengan keadaan dirinya sendiri.[2] Sesungguhnya, sejarah kelam ini tidak hanya muncul karena sifat dasar manusia yang serakah dan ingin mendominasi orang lain, namun juga muncul karena situasi dunia yang sengaja diciptakan untuk memunculkan perang. Kapitalisme di Eropa yang akhirnya berkembang menjadi imperialism modern, telah memunculkan berbagai macam perang colonial untuk merebut tanah jajahan dan taklukkan. Selain itu, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya ruang berpikir dalam labirin otak manusia, berkembang pula teknologi-teknologi peperangan yang sedemikian canggih. Teknologi itu telah menghadirkan alat persenjataan yang begitu dahsyat dan mengerikan. Tidak lagi cukup bom yang dapat dilontarkan dari pesawat udara untuk memusnahkan sebuah Negara. Juga tidak hanya cukup peluru dan mesiu untuk senapan dan meriam untuk membunuh musuh-musuh yang bertikai. Namun, kini juga telah berkembang senjata biologis yang lebih mematikan daripada peluru ataupun bom. Dan, puncak perkembangannya ada pada titik penemuan bom nuklir.
Jika budaya perang ini tidak dapat dihapuskan oleh manusia sendiri dari dirinya dan masyarakat, janganlah terkejut bila suatu pagi nanti, kita terbangun karena mendengar ledakan nuklir. Dan, saat itulah, kita hanya tinggal menunggu saat-saat kematian itu datang.
--- Ronald Reagan ---
B. Perang sebagai suatu tragedi kemanusiaan (Mengapa Memilih Perang?)
Tak dapat dipungkiri pula bahwa di balik kadar segala kecenderungan agresi yang besar dalam diri manusia, juga tersimpan hasrat-hasrat luhur akan adanya perdamaian di dunia ini. Hal itu tampak dari keberadaan agama-agama dunia ini. Dalam ajarannya masing-masing, setiap agama senantiasa mengajarkan kerukunan, cinta kasih dan perdamaian. Perdamaian menjadi harga mati yang harus diperjuangkan. Masalahnya adalah bahwa kerap kali perdamaian itu diraih lewat cara destruktif[3] yang mendistorsi[4] makna luhur perdamaian itu sendiri. Perang menjadi sebuah tragedi kemanusiaan karena dengannya, manusia menjadi kehilangan rasa cinta dan nilai humaniora dalam dirinya. Dengan perang, perdamaian yang tadinya menjadi titik tolak sasaran, pada kenyataannya tidak pernah disentuh dan hanya menjadi kedok untuk meraih keabsolutan kekuasaan serta dominasi pihak tertentu. Satu pertanyaan yang patut diajukan lebih lanjut adalah mengapa perang harus dipilih sebagai jalan akhir untuk meraih itu semua?
Seperti yang telah diungkapkan secara sekilas bahwasanya bukanlah nilai perdamaian yang sesungguhnya menjadi tujuan akhir perang, maka dapat dikatakan bahwa perang hanya menggunakan perdamaian sebagai kedok untuk meraih obsesi-obsesi kekuasaan yang ekstrem di segala bidang kehidupan. Kembali kepada pertanyaan tadi, pastilah ada motif-motif terselubung di balik terjadinya sebuah perang. Hal itu akan kita lihat dalam bagian ini.
1. Motivasi Ekonomi
Perang Dunia Kedua adalah salah satu contoh kentara yang dapat kita gunakan untuk melihat hal itu. Jepang sengaja menceburkan diri dalam Perang Dunia II ini karena didorong oleh keinginan untuk menguasai sumber-sumber minyak dan bahan mentah yang kala itu lebih dikuasai oleh Eropa. Tidak hanya itu saja, Jepang terlibat dalam perang ini juga karena ingin menguasai pasaran komoditi di Negara-negara Asia dan Pasifik. Peperangan tidak hanya sekedar konflik senjata semata, tapi juga persaingan terbuka untuk meraup keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya. Betapa menguntungkan manakala kemenangan itu datang, sebab seluruh sumber daya, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia, yang ada di Negara taklukkan itu, menjadi hak milik sang Negara agressor. Peperangan akan berujung kepada bentuk kolonialisme (penjajahan). Di dalam penjajahan itu, tersimpan segala macam bentuk sikap eksploatasi yang begitu ekstrem atas apa yang menjadi kekayaan di negeri taklukkan itu. Eksploitasi yang berlebihan itu menghasilkan income dan keuntungan yang begitu besar. Sedangkan, di lain sisi, jurang kemiskinan semakin menganga lebar di hadapan rakyat Negara yang kalah perang.
2. Perbedaan Ideologi
Dunia pemikiran manusia semakin terbagi-bagi ke dalam berbagai kutub idealisme dan pemikiran yang ekstrem. Masing-masing pemikiran itu sama-sama mengusung kepentingan kelompok yang bersembunyi di balik kebenaran-kebenaran semu yang diperjuangkan. Masalahnya adalah bahwa perbedaan-perbedaan yang ada itu menjadi titik temu yang (sengaja) dipertentangkan oleh manusia-manusia modern. Ada semacam sikap eksklusivisme yang menjadi buntut dari perbedaan-perbedaan yang ada. Masing-masing pihak mengklaim bahwa dirinyalah yang memiliki kebenaran absolut. Bahwa pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan pemikiran sebuah kelompok, dianggap sebagai musuh yang harus disingkirkan. Dan, proses yang paling mudah untuk menyingkirkan pihak-pihak yang berbeda itu adalah dengan perang.
3. Adanya Lingkaran Kekerasan dalam Masyarakat
Spiral kekerasan yang terus berlangsung dan tak pernah kunjung putus dalam masyarakat, telah menjadi virus yang mematikan komunikasi antar pribadi. Tradisi kekerasan telah merusak kepercayaan publik terhadap kebaikan umum yang diperjuangkan. Setiap orang menjadi cenderung curiga terhadap hal-hal baru yang dibuat oleh sesamanya. Matinya komunikasi yang tulus itu, secara tidak langsung memunculkan marginalisasi, ketidaksetaraan sosial, dan diskriminasi. Kemudian, dalam kelanjutannya, ketiga hal itu kembali memunculkan kekerasan-kekerasan baru, yang kerap berkembang menjadi kekerasan lintas budaya. Kekerasan lintas budaya yang dimaksud adalah bahwa setiap orang mulai tidak mampu lagi mengenal siapakah dirinya. Ia menjadi asing dengan dirinya. Selain itu, keterasingan itu membuat ia juga tidak bisa mengenal siapakah sesamanya. Pada titik inilah, berkembang sebuah mentalitas, yaitu berkomunikasi bila sedang membutuhkan. Mentalitas ini menjadi akar dari adanya penyakit-penyakit yang kini marak berkembang dalam masyarakat, yaitu ketidaktransparan komunikasi. Karenanya, tidaklah mengherankan bila pada akhirnya, hal itu hanya membuat orang menjadi saling curiga dan tidak mampu mempercayai orang lain lagi. Pada titik inilah, celah untuk terjadinya sebuah perang menjadi terbuka lebar.[5]
A. Apa itu perang?
Kebutuhan yang sungguh mendesak dibutuhkan oleh manusia-manusia modern saat ini adalah kedamaian. Setiap manusia pastilah mendambakan dunia yang penuh damai. Namun, kenyataannya, sejarah manusia memperlihatkan betapa manusia tidak henti-hentinya berperang antar mereka sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perang adalah permusuhan antara dua negara yang mengkristal dalam konflik bersenjata. Secara mendasar, perang adalah bentuk permusuhan yang mengaburkan nilai kedamaian dalam kehidupan manusia. Perang menjadi pintu masuk kehancuran dan penderitaan manusia. Hingga akhir perang dunia II pada tahun 1945, tercatat sudah 20 juta manusia kehilangan nyawa. Bahkan, pada tahun 1970, terjadi 50 perang yang sebagian besar terjadi di Negara-negara dunia ketiga yang banyak tertekan oleh kemiskinan, penyakit dan masalah-masalah social lainnya. Setiap tahun, Negara-negara di dunia ini membelanjakan lebih 500 milyar dollar Amerika untuk keperluan militer.[1] Data-data itu memperlihatkan sebuah pembenaran akan pentingnya arti sebuah perang bagi penguasa-penguasa modern saat ini. Perang seolah-olah telah menjadi bagian penting dari kebudayaan manusia yang akan ikut membentuk arah kelanjutan kehidupan manusia itu sendiri. Para politikus modern cenderung menganggap perang sebagai jalan yang paling baik untuk mewujudkan perdamaian dunia. Selama ada umat manusia di dunia, selama itu pula akan muncul peperangan setiap saat. Dan, ini menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Sungguhkah benar anggapan manusia modern yang demikian?
Jika melihat sekilas, memang benar adanya bahwa sejarah hidup manusia tak pernah terlepas dari perang. Perkembangan sejarah manusia merupakan perkembangan evolusi nilai dan budaya manusia, yang berkembang dari manusia pencari dan pengumpul makanan, menuju manusia pemburu dan petani, hingga akhirnya menjadi manusia yang eksis dengan keadaan dirinya sendiri.[2] Sesungguhnya, sejarah kelam ini tidak hanya muncul karena sifat dasar manusia yang serakah dan ingin mendominasi orang lain, namun juga muncul karena situasi dunia yang sengaja diciptakan untuk memunculkan perang. Kapitalisme di Eropa yang akhirnya berkembang menjadi imperialism modern, telah memunculkan berbagai macam perang colonial untuk merebut tanah jajahan dan taklukkan. Selain itu, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya ruang berpikir dalam labirin otak manusia, berkembang pula teknologi-teknologi peperangan yang sedemikian canggih. Teknologi itu telah menghadirkan alat persenjataan yang begitu dahsyat dan mengerikan. Tidak lagi cukup bom yang dapat dilontarkan dari pesawat udara untuk memusnahkan sebuah Negara. Juga tidak hanya cukup peluru dan mesiu untuk senapan dan meriam untuk membunuh musuh-musuh yang bertikai. Namun, kini juga telah berkembang senjata biologis yang lebih mematikan daripada peluru ataupun bom. Dan, puncak perkembangannya ada pada titik penemuan bom nuklir.
Jika budaya perang ini tidak dapat dihapuskan oleh manusia sendiri dari dirinya dan masyarakat, janganlah terkejut bila suatu pagi nanti, kita terbangun karena mendengar ledakan nuklir. Dan, saat itulah, kita hanya tinggal menunggu saat-saat kematian itu datang.
--- Ronald Reagan ---
B. Perang sebagai suatu tragedi kemanusiaan (Mengapa Memilih Perang?)
Tak dapat dipungkiri pula bahwa di balik kadar segala kecenderungan agresi yang besar dalam diri manusia, juga tersimpan hasrat-hasrat luhur akan adanya perdamaian di dunia ini. Hal itu tampak dari keberadaan agama-agama dunia ini. Dalam ajarannya masing-masing, setiap agama senantiasa mengajarkan kerukunan, cinta kasih dan perdamaian. Perdamaian menjadi harga mati yang harus diperjuangkan. Masalahnya adalah bahwa kerap kali perdamaian itu diraih lewat cara destruktif[3] yang mendistorsi[4] makna luhur perdamaian itu sendiri. Perang menjadi sebuah tragedi kemanusiaan karena dengannya, manusia menjadi kehilangan rasa cinta dan nilai humaniora dalam dirinya. Dengan perang, perdamaian yang tadinya menjadi titik tolak sasaran, pada kenyataannya tidak pernah disentuh dan hanya menjadi kedok untuk meraih keabsolutan kekuasaan serta dominasi pihak tertentu. Satu pertanyaan yang patut diajukan lebih lanjut adalah mengapa perang harus dipilih sebagai jalan akhir untuk meraih itu semua?
Seperti yang telah diungkapkan secara sekilas bahwasanya bukanlah nilai perdamaian yang sesungguhnya menjadi tujuan akhir perang, maka dapat dikatakan bahwa perang hanya menggunakan perdamaian sebagai kedok untuk meraih obsesi-obsesi kekuasaan yang ekstrem di segala bidang kehidupan. Kembali kepada pertanyaan tadi, pastilah ada motif-motif terselubung di balik terjadinya sebuah perang. Hal itu akan kita lihat dalam bagian ini.
1. Motivasi Ekonomi
Perang Dunia Kedua adalah salah satu contoh kentara yang dapat kita gunakan untuk melihat hal itu. Jepang sengaja menceburkan diri dalam Perang Dunia II ini karena didorong oleh keinginan untuk menguasai sumber-sumber minyak dan bahan mentah yang kala itu lebih dikuasai oleh Eropa. Tidak hanya itu saja, Jepang terlibat dalam perang ini juga karena ingin menguasai pasaran komoditi di Negara-negara Asia dan Pasifik. Peperangan tidak hanya sekedar konflik senjata semata, tapi juga persaingan terbuka untuk meraup keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya. Betapa menguntungkan manakala kemenangan itu datang, sebab seluruh sumber daya, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia, yang ada di Negara taklukkan itu, menjadi hak milik sang Negara agressor. Peperangan akan berujung kepada bentuk kolonialisme (penjajahan). Di dalam penjajahan itu, tersimpan segala macam bentuk sikap eksploatasi yang begitu ekstrem atas apa yang menjadi kekayaan di negeri taklukkan itu. Eksploitasi yang berlebihan itu menghasilkan income dan keuntungan yang begitu besar. Sedangkan, di lain sisi, jurang kemiskinan semakin menganga lebar di hadapan rakyat Negara yang kalah perang.
2. Perbedaan Ideologi
Dunia pemikiran manusia semakin terbagi-bagi ke dalam berbagai kutub idealisme dan pemikiran yang ekstrem. Masing-masing pemikiran itu sama-sama mengusung kepentingan kelompok yang bersembunyi di balik kebenaran-kebenaran semu yang diperjuangkan. Masalahnya adalah bahwa perbedaan-perbedaan yang ada itu menjadi titik temu yang (sengaja) dipertentangkan oleh manusia-manusia modern. Ada semacam sikap eksklusivisme yang menjadi buntut dari perbedaan-perbedaan yang ada. Masing-masing pihak mengklaim bahwa dirinyalah yang memiliki kebenaran absolut. Bahwa pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan pemikiran sebuah kelompok, dianggap sebagai musuh yang harus disingkirkan. Dan, proses yang paling mudah untuk menyingkirkan pihak-pihak yang berbeda itu adalah dengan perang.
3. Adanya Lingkaran Kekerasan dalam Masyarakat
Spiral kekerasan yang terus berlangsung dan tak pernah kunjung putus dalam masyarakat, telah menjadi virus yang mematikan komunikasi antar pribadi. Tradisi kekerasan telah merusak kepercayaan publik terhadap kebaikan umum yang diperjuangkan. Setiap orang menjadi cenderung curiga terhadap hal-hal baru yang dibuat oleh sesamanya. Matinya komunikasi yang tulus itu, secara tidak langsung memunculkan marginalisasi, ketidaksetaraan sosial, dan diskriminasi. Kemudian, dalam kelanjutannya, ketiga hal itu kembali memunculkan kekerasan-kekerasan baru, yang kerap berkembang menjadi kekerasan lintas budaya. Kekerasan lintas budaya yang dimaksud adalah bahwa setiap orang mulai tidak mampu lagi mengenal siapakah dirinya. Ia menjadi asing dengan dirinya. Selain itu, keterasingan itu membuat ia juga tidak bisa mengenal siapakah sesamanya. Pada titik inilah, berkembang sebuah mentalitas, yaitu berkomunikasi bila sedang membutuhkan. Mentalitas ini menjadi akar dari adanya penyakit-penyakit yang kini marak berkembang dalam masyarakat, yaitu ketidaktransparan komunikasi. Karenanya, tidaklah mengherankan bila pada akhirnya, hal itu hanya membuat orang menjadi saling curiga dan tidak mampu mempercayai orang lain lagi. Pada titik inilah, celah untuk terjadinya sebuah perang menjadi terbuka lebar.[5]
4. Majunya teknologi persenjataan
C. Gereja Katolik Berbicara tentang Perang
c.1 Latar belakang
Dalam terang Perjanjian Baru, kelompok Gereja Perdana merupakan kelompok pasivis atau “orang yang suka damai”. Setidaknya, hingga awal abad IV, Gereja Kristen merupakan Gereja para martir. Baru pada saat zaman Konstantinus Agung, Edik Milano yang dikeluarkannya telah membawa banyak perubahan bagi kristiani. Selain bahwa agama Kristen menjadi agama Negara, pengaruh yang muncul dari adanya Edik Milano ini adalah bahwa Gereja mulai menerima kriteria yang membedakan antara Perang Adil dan Perang yang Tidak Adil. Pada masa itu, perang adil masih bisa diizinkan.
Dalam perkembangannya, seorang tokoh filsuf Kristen, Erasmus, menyatakan bahwa perang adil yang sebelumnya diterima Gereja, sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Menurutnya, untuk bisa mencapai perdamaian, manusia harus berlari kepada kerajaan damai batiniah. Damai dapat diwujudkan dengan kehendak baik manusia. Pandangan Erasmus ini mulai ditentang oleh banyak politisi saat itu. Menurut mereka, ukuran baik atau buruk suatu tindakan dilihat dari akibatnya. Bila akibatnya baik, maka perang dapat dilakukan. Maka, tidaklah heran bahwa pandangan ini hingga kini masih dipegang banyak pemimpin. Lalu, bagaimana tanggapan Gereja terhadap perubahan pandangan tersebut?
c.2. Gereja Modern angkat bicara
Terhadap realitas perang yang terjadi di dunia ini, Gereja lebih banyak menyatakan sikapnya dalam Ajaran Sosial Gereja-nya. Secara umum, sikap Gereja memperlihatkan bahwa betapa mendesaknya kebutuhan dunia akan adanya perdamaian. Satu hal nyata yang diperlihatkan oleh Gereja adalah mengajak dunia untuk menghentikan produksi persenjataan nuklir di dunia. Dalam hal ini, Gereja secara positif mengajarkan bahwa perdamaian merupakan jawaban terhadap masalah kekerasan dan kekejaman yang ada di dunia. Gereja menilai negative kekerasan perang. Menanggapi realitas dunia yang semakin hancur lebur karena perang, Gereja selalu mengembalikan sikapnya kepada gagasan Injil, terutama gagasan cinta kasih.[6] Gagasan cinta kasih yang dimaksudkan itu juga meliputi gagasan Anti Kekerasan. Anti Kekerasan yang dimaksudkan Gereja adalah bahwa tiap pribadi harus aktif bertindak dalam mengusahakan situasi keadilan dan penciptaan. Dengan demikian, pengertian Anti Kekerasan Gereja lebih bernada aktif dan bukan pasif. Anti kekerasan bukan berarti berdiam diri tanpa berbuat apa-apa.
Ajaran Gereja tentang perdamaian ini sangat kuat Nampak dalam ensiklik Pacem in Terris yang diterbitkan pada tahun 1963 oleh Paus Yohanes ke-23. Paus ini menempatkan permasalahan perang dalam konteks Hak Asasi Manusia. Ensiklik ini ingin menyerukan perlu adanya suatu tata hukum dunia yang berhubungan dengan tata moral yang berdasarkan pada adanya sikap saling ketergantungan antar sesama. Dengan kata lain, segala aturan hidup yang dibuat oleh para penguasa, hendaknya selalu mengacu dan mengutamakan apa yang baik untuk bersama. Apa yang baik untuk bersama itu dapat kita sebut sebagai kebaikan umum. Kebaikan umum berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi setiap pribadi tanpa pernah melihat ras dan perbedaan-perbedaan yang ada. Pada titik ini, kebaikan umum yang dimaksud adalah terbebasnya dunia dari ancaman kehancuran akibat perang.
Ensiklik Pacem in Terris ingin mempertanyakan kembali kebenaran dari argumen dunia yang mengatakan bahwa produksi senjata dapat dibenarkan bila situasi damai sekarang ini tidak dapat dipertahankan. Paus Yohanes ke-23 secara jelas menyatakan bahwa perlucutan senjata untuk menggalang perdamaian, bergantung pada partisipasi aktif warga dunia untuk melenyapkan ketakutan dan kecemasan yang ada dalam setiap diri manusia. Di sini, dapat dikatakan bahwa perdamaian dunia sangatlah ditentukan oleh apa yang menjadi visi bersama umat manusia di dunia ini, yaitu kebenaran, keadilan, dan kebebasan yang bertanggung jawab.
Ajaran Gereja yang kedua yang juga berbicara tentang perdamaian dunia adalah Gaudeum et Spes. Dalam GS, dinyatakan bahwa menciptakan perdamaian dunia itu bukanlah sebuah sikap yang ditentukan oleh kekuatan militer yang identik dengan kekerasan, namun ditentukan oleh kesediaan setiap orang untuk mau mengakui dan menghargai keberadaan sesamanya yang ada di sekitarnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ancaman perang akan terus berlangsung sampai kedatangan kembali Kristus ke dunia. Kita tidak pernah tahu betul kebenaran pendapat itu. Hanya saja, hal yang harus diperhatikan adalah bahwa sikap yang membiarkan atau menyetujui perang adalah sebuah tindakan yang sungguh fatal.
Selanjutnya, perjuangan untuk memperjuangkan perdamaian ini dilanjutkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Dalam ensikliknya, Solicitudo Rei Socialis, dikatakan bahwa perdamaian adalah buah dari solidaritas umat manusia. Solidaritas itu bisa muncul jika ada keadilan dalam masyarakat. Maka, ensiklik ini ingin menunjukkan hubungan yang muncul antara perdamaian dan keadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perdamaian dapat terwujud dalam pertumbuhan dan kemajuan kehidupan. Perdamaian sejati didasarkan pada sikap adil. Sikap adil berarti mau memberikan penghargaan kepada setiap pribadi karena sama-sama memiliki martabat yang luhur.
Lalu, bagaimana Gereja Katolik sekarang melihat perang-perang yang sudah terjadi? Pada dasarnya, Gereja Katolik akan selalu mengutuk perang dan kejahatan yang diakibatkannya. Namun, ada satu hal penting lagi, yaitu bahwa Gereja tidak pernah akan mau mempersalahkan pihak manapun. Gereja mengajak seluruh umat manusia untuk menumbuhkan sikap pengampunan dalam diri setiap orang. Pengampunan adalah hal yang sangat dibutuhkan untuk memulihkan kehidupan yang kacau akibat perang. Pengampunan bisa menjadi obat untuk menyembuhkan luka dan penderitaan batin akibat perang.
Akhirnya, Gereja Katolik modern dalam ensikliknya Novo Millenio Adveniente, memberikan solusi nyata untuk dunia dalam mencegah konflik-konflik kekerasan, yaitu cara DIALOG. Dialog adalah sikap sentral dan penting dalam pemikiran dunia. Dalam dialog itu, ada sebuah kesadaran untuk mau mengakui serta menerima secara terbuka adanya perbedaan. Dari keterbukaan itu, secara bersama-sama pula manusia mencari apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh umat manusia. Dan, dialog dapat terwujud bila ada sikap yang toleran dan kebebasan beragama itu sendiri.
Daftar Pustaka
Borradori, Giovanni. 2005. Filsafat dalam Masa Teror. Jakarta: Penerbit Kompas
Cahyadi, Krispurwana. 2007. Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi, dan Kehidupan. Jakarta: Obor
Lubis, Mochtar. 1988. Menggapai Dunia Damai. Jakarta: Yayasan Obor
O Sears, David. 2000. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga
Sudarmanto. 1989. Agama dan Politik Anti Kekerasan. Yogyakarta: Kanisius
[1] David O. Sears, Psikologi Sosial edisi kelima (Jakarta: Erlangga, 2000), hlm. 2.
[2] Mochtar Lobis, Menggapai Dunia Damai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm. Viii.
[3] Destruktif = merusak, cara yang negatif
[4] Distorsi=menghilangkan nilai-nilai positif suatu realitas.
[5] Giovanna Borradori, Filsafat dalam Masa Teror (Jakarta: Kompas, 2005), hlm. 21.
[6] YB. Sudarmanto, Agama dan Politik Anti Kekerasan (Yogyakarta:Kanisius, 1989), hlm. 45
C. Gereja Katolik Berbicara tentang Perang
c.1 Latar belakang
Dalam terang Perjanjian Baru, kelompok Gereja Perdana merupakan kelompok pasivis atau “orang yang suka damai”. Setidaknya, hingga awal abad IV, Gereja Kristen merupakan Gereja para martir. Baru pada saat zaman Konstantinus Agung, Edik Milano yang dikeluarkannya telah membawa banyak perubahan bagi kristiani. Selain bahwa agama Kristen menjadi agama Negara, pengaruh yang muncul dari adanya Edik Milano ini adalah bahwa Gereja mulai menerima kriteria yang membedakan antara Perang Adil dan Perang yang Tidak Adil. Pada masa itu, perang adil masih bisa diizinkan.
Dalam perkembangannya, seorang tokoh filsuf Kristen, Erasmus, menyatakan bahwa perang adil yang sebelumnya diterima Gereja, sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Menurutnya, untuk bisa mencapai perdamaian, manusia harus berlari kepada kerajaan damai batiniah. Damai dapat diwujudkan dengan kehendak baik manusia. Pandangan Erasmus ini mulai ditentang oleh banyak politisi saat itu. Menurut mereka, ukuran baik atau buruk suatu tindakan dilihat dari akibatnya. Bila akibatnya baik, maka perang dapat dilakukan. Maka, tidaklah heran bahwa pandangan ini hingga kini masih dipegang banyak pemimpin. Lalu, bagaimana tanggapan Gereja terhadap perubahan pandangan tersebut?
c.2. Gereja Modern angkat bicara
Terhadap realitas perang yang terjadi di dunia ini, Gereja lebih banyak menyatakan sikapnya dalam Ajaran Sosial Gereja-nya. Secara umum, sikap Gereja memperlihatkan bahwa betapa mendesaknya kebutuhan dunia akan adanya perdamaian. Satu hal nyata yang diperlihatkan oleh Gereja adalah mengajak dunia untuk menghentikan produksi persenjataan nuklir di dunia. Dalam hal ini, Gereja secara positif mengajarkan bahwa perdamaian merupakan jawaban terhadap masalah kekerasan dan kekejaman yang ada di dunia. Gereja menilai negative kekerasan perang. Menanggapi realitas dunia yang semakin hancur lebur karena perang, Gereja selalu mengembalikan sikapnya kepada gagasan Injil, terutama gagasan cinta kasih.[6] Gagasan cinta kasih yang dimaksudkan itu juga meliputi gagasan Anti Kekerasan. Anti Kekerasan yang dimaksudkan Gereja adalah bahwa tiap pribadi harus aktif bertindak dalam mengusahakan situasi keadilan dan penciptaan. Dengan demikian, pengertian Anti Kekerasan Gereja lebih bernada aktif dan bukan pasif. Anti kekerasan bukan berarti berdiam diri tanpa berbuat apa-apa.
Ajaran Gereja tentang perdamaian ini sangat kuat Nampak dalam ensiklik Pacem in Terris yang diterbitkan pada tahun 1963 oleh Paus Yohanes ke-23. Paus ini menempatkan permasalahan perang dalam konteks Hak Asasi Manusia. Ensiklik ini ingin menyerukan perlu adanya suatu tata hukum dunia yang berhubungan dengan tata moral yang berdasarkan pada adanya sikap saling ketergantungan antar sesama. Dengan kata lain, segala aturan hidup yang dibuat oleh para penguasa, hendaknya selalu mengacu dan mengutamakan apa yang baik untuk bersama. Apa yang baik untuk bersama itu dapat kita sebut sebagai kebaikan umum. Kebaikan umum berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi setiap pribadi tanpa pernah melihat ras dan perbedaan-perbedaan yang ada. Pada titik ini, kebaikan umum yang dimaksud adalah terbebasnya dunia dari ancaman kehancuran akibat perang.
Ensiklik Pacem in Terris ingin mempertanyakan kembali kebenaran dari argumen dunia yang mengatakan bahwa produksi senjata dapat dibenarkan bila situasi damai sekarang ini tidak dapat dipertahankan. Paus Yohanes ke-23 secara jelas menyatakan bahwa perlucutan senjata untuk menggalang perdamaian, bergantung pada partisipasi aktif warga dunia untuk melenyapkan ketakutan dan kecemasan yang ada dalam setiap diri manusia. Di sini, dapat dikatakan bahwa perdamaian dunia sangatlah ditentukan oleh apa yang menjadi visi bersama umat manusia di dunia ini, yaitu kebenaran, keadilan, dan kebebasan yang bertanggung jawab.
Ajaran Gereja yang kedua yang juga berbicara tentang perdamaian dunia adalah Gaudeum et Spes. Dalam GS, dinyatakan bahwa menciptakan perdamaian dunia itu bukanlah sebuah sikap yang ditentukan oleh kekuatan militer yang identik dengan kekerasan, namun ditentukan oleh kesediaan setiap orang untuk mau mengakui dan menghargai keberadaan sesamanya yang ada di sekitarnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ancaman perang akan terus berlangsung sampai kedatangan kembali Kristus ke dunia. Kita tidak pernah tahu betul kebenaran pendapat itu. Hanya saja, hal yang harus diperhatikan adalah bahwa sikap yang membiarkan atau menyetujui perang adalah sebuah tindakan yang sungguh fatal.
Selanjutnya, perjuangan untuk memperjuangkan perdamaian ini dilanjutkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Dalam ensikliknya, Solicitudo Rei Socialis, dikatakan bahwa perdamaian adalah buah dari solidaritas umat manusia. Solidaritas itu bisa muncul jika ada keadilan dalam masyarakat. Maka, ensiklik ini ingin menunjukkan hubungan yang muncul antara perdamaian dan keadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perdamaian dapat terwujud dalam pertumbuhan dan kemajuan kehidupan. Perdamaian sejati didasarkan pada sikap adil. Sikap adil berarti mau memberikan penghargaan kepada setiap pribadi karena sama-sama memiliki martabat yang luhur.
Lalu, bagaimana Gereja Katolik sekarang melihat perang-perang yang sudah terjadi? Pada dasarnya, Gereja Katolik akan selalu mengutuk perang dan kejahatan yang diakibatkannya. Namun, ada satu hal penting lagi, yaitu bahwa Gereja tidak pernah akan mau mempersalahkan pihak manapun. Gereja mengajak seluruh umat manusia untuk menumbuhkan sikap pengampunan dalam diri setiap orang. Pengampunan adalah hal yang sangat dibutuhkan untuk memulihkan kehidupan yang kacau akibat perang. Pengampunan bisa menjadi obat untuk menyembuhkan luka dan penderitaan batin akibat perang.
Akhirnya, Gereja Katolik modern dalam ensikliknya Novo Millenio Adveniente, memberikan solusi nyata untuk dunia dalam mencegah konflik-konflik kekerasan, yaitu cara DIALOG. Dialog adalah sikap sentral dan penting dalam pemikiran dunia. Dalam dialog itu, ada sebuah kesadaran untuk mau mengakui serta menerima secara terbuka adanya perbedaan. Dari keterbukaan itu, secara bersama-sama pula manusia mencari apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh umat manusia. Dan, dialog dapat terwujud bila ada sikap yang toleran dan kebebasan beragama itu sendiri.
Daftar Pustaka
Borradori, Giovanni. 2005. Filsafat dalam Masa Teror. Jakarta: Penerbit Kompas
Cahyadi, Krispurwana. 2007. Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi, dan Kehidupan. Jakarta: Obor
Lubis, Mochtar. 1988. Menggapai Dunia Damai. Jakarta: Yayasan Obor
O Sears, David. 2000. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga
Sudarmanto. 1989. Agama dan Politik Anti Kekerasan. Yogyakarta: Kanisius
[1] David O. Sears, Psikologi Sosial edisi kelima (Jakarta: Erlangga, 2000), hlm. 2.
[2] Mochtar Lobis, Menggapai Dunia Damai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm. Viii.
[3] Destruktif = merusak, cara yang negatif
[4] Distorsi=menghilangkan nilai-nilai positif suatu realitas.
[5] Giovanna Borradori, Filsafat dalam Masa Teror (Jakarta: Kompas, 2005), hlm. 21.
[6] YB. Sudarmanto, Agama dan Politik Anti Kekerasan (Yogyakarta:Kanisius, 1989), hlm. 45
BAB III: KEKHASAN DALAM GEREJA KATOLIK
Teman-teman yang terkasih, pengembaraan kita dalam mencari esensi dasar Gereja sudah sampai di titik tengah. Itu berarti, kita masih menyisakan setengah perjalanan lagi menuju titik akhir pengembaraan kita. Pada bab ini, kita akan melihat lebih jauh tentang unsur-unsur khas yang hanya dimiliki oleh Gereja Katolik saja. Dan, beberapa di antaranya merupakan unsur yang langsung menunjukkan identitas kekatolikan.
Saya akan mencoba menggunakan cara pendekatan baru dalam memaparkan materi pada bab ini, yaitu melalui metode tanya jawab. Semoga dapat membantu pengembaraan kita bersama.
III.1. HIRARKI GEREJA
a. Makna dan Sejarah Singkat
1. Apa itu Pengertian Hirarki?
Hirarki berasal dari kata Hirarchia yang berarti Tata Kudus. Hirarki terkait dengan pelayanan dalam Gereja yang mengarah kepada Allah yang mahakudus. Hirarki menjadi tanda lahiriah yang menunjuk pada sifat Gereja sebagai institusi di dunia. Dapat pula dikatakan bahwa Hirarki lebih mirip dengan struktur keorganisasian dalam sebuah lembaga.
2. Apa fungsi dari Hirarki?
Ada dua fungsi hirarki. Pertama, fungsi sosiologis, yaitu hirarki menjadi simbol nyata yang menunjukkan bahwa Gereja adalah institusi lahiriah yang mendunia. Dengan fungsi itu, Gereja memperoleh pengakuan dari publik sebagai lembaga yang memiliki kekuatan publik. Kedua, fungsi religius, yaitu hirarki menjadi semacam jalan pelayanan iman umat yang mendasarkan dirinya pada iman kepada Yesus Kristus yang senantiasa membimbing Gereja-Nya hingga akhir zaman. Dengan kata lain, inti dari sebuah hirarki bukanlah struktur kekuasaan tapi struktur pelayanan.
3. Seperti apakah struktur hirarki dalam Gereja Katolik?
Susunan Hirarki Gereja secara formal adalah Uskup (Episkopos)-Imam (Presbyteros)-Diakon (Diakonos).
4. Kapan sistem hirarki macam itu mulai berlaku?
Sistem itu mulai dikenal pada akhir abad kedua. Struktur itu muncul seiring munculnya klaim dari Gereja bahwa dirinya adalah lembaga yang terpisah dari Yudaisme. Ekaristi dipandang sebagai pengganti korban kenisah. Mereka yang memimpin Ekaristi dengan segera disebut imam meskipun pada permulaannya, hanya para uskup yang dikatakan mempersembahkan kurban.
5. Siapakah yang masuk ke dalam hirarki?
Yang masuk ke dalam sistem hirarki adalah para pelayan tertahbis. Hanya kaum tertahbis-lah yang boleh masuk ke dalam struktur hirarkis Gereja. Kaum tertahbis itu kerap disebut sebagai Klerus. Tahbisan imamat-lah yang memasukkan seseorang ke dalam struktur hirarki Gereja.
b. Uskup, Imam, dan Diakon
1. Siapakah Uskup itu?
Uskup adalah seorang imam yang mendapatkan kepenuhan tahbisan imamat. Uskup menjadi pemimpin teritorial Gereja di wilayah tertentu. Untuk menjadi uskup, orang itu harus menjadi imam terlebih dahulu karena pada dasarnya Uskup adalah seorang imam. Uskup adalah pengganti para Rasul Kristus.
2. Siapakah Imam itu?
Imam adalah para pembantu uskup. Imamat mereka adalah terbatas. Para imam tidak berwenang mentahbiskan imam. Hanya uskup yang berhak mentahbiskan imam.
3. Siapakah Diakon itu?
Diakon tertahbis adalah para pembantu Uskup. Mereka berwenang membaptis orang dan memimpin sakramen pernikahan. Sakramen-sakramen lain masih belum boleh diterimakan hingga ia ditahbiskan menjadi Imam.
4. Apa yang dimaksud dengan tahbisan?
Tahbisan adalah suatu tindakan inderawi yang menandakan dan menyatakan bahwa sesuatu atau seseorang dikhususkan untuk mengabdi Yang Kudus.
5. Mengapa para imam dan para religius tidak boleh menikah padahal Yesus tidak pernah secara khusus berpesan kepada para murid-Nya agar tidak menikah?
Hidup tidak menikah disebut sebagai hidup selibat. Mengenai hal ini, kita perlu membuat pembedaan antara imam dan kaum religius. Imam menjalani hidup selibat karena peraturan Gereja mewajibkannya. Sedangkan, kaum religius (suster/bruder/imam religius) menjalani hidup selibat karena secara bebas ia memilih sendiri cara hidup tersebut. Lewat kaul kemurniannya, mereka harus menjalani hidup tidak menikah. Dengan kata lain, seandainya peraturan Gereja mengizinkan seorang imam untuk menikah, maka seorang religius tetap tidak dapat menikah karena terikat dengan kaul kemurniannya itu. Sedangkan, imam non religius dapat melepaskan diri dari kewajiban hidup selibat bila peraturan Gereja mengizinkan hal itu.
Yesus memang tidak pernah menyuruh murid-Nya untuk tidak menikah. Bahkan, Petrus pun menikah. Jika demikian, untuk apa imam dan kaum religius tetap menjalani hidup selibat? Ada dua alasan untuk itu. Pertama, untuk meniru Yesus yang tidak menikah. Kedua, karena Yesus pernah bersabda bahwa ada orang yang membuat dirinya tidak menikah karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Surga (Lih. Mat 19:12).
Sesungguhnya, tidak ada dasar biblis untuk kewajiban bagi para imam. Bahkan, dahulu, para imam Katolik pun boleh menikah. Dalam hal ini, Paus memiliki kekuasaan penuh untuk melepaskan kewajiban itu. Hanya saja, dari pengalaman selama ratusan tahun, Gereja tetap mempertahankan kewajiban hidup selibat dengan alasan bahwa seorang imam yang tidak memiliki istri dan anak, biasanya akan lebih terlindungi dari godaan untuk memakai uang jemaat yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan keluarganya. Atau, dalam bahasa rasul Paulus, “Orang yang tidak beristri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan.” (Lih. 1 Kor 7:32).
6. Apa dasar peraturan dari hidup selibat?
Kewajiban selibat bagi semua imam ditetapkan oleh Gereja secara resmi dan universal dalam Konsili Lateran I dan II (tahun 1123 dan 1139). Sepanjang sejarahnya, ada beberapa alasan yang mendukung hidup selibat bagi para imam, yaitu:
a. Imam menjalani hidup selibat untuk meneladani Kristus dan Paulus yang tidak menikah.
b. Imam tidak menikah karena cintanya kepada Kristus dan demi Kerajaan Allah.
c. Imam tidak menikah karenahidup selibat dan pantang kenikmatan seksual dianggap sebagai persiapan yang paling baik untuk melayani altar Tuhan.
d. Imam tidak menikah agar harta benda Gereja jangan sampai menjadi warisan keturunannya.
7. Apa bedanya antara Imam Projo dengan Imam Ordo/Religius?
a. Imam Praja adalah seorang imam yang langsung berada di bawah pimpinan seorang Uskup. Sedangkan, Imam religius adalah imam yang sekaligus seorang religius yang taat kepada pimpinan tarekatnya.
b.Imam Praja tidak mengucapkan kaul kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian. Sedangkan seorang imam religius, mengucapkan ketiga kaul tersebut dan terikat padanya.
c. Imam religius memiliki regula (aturan dasar ordo yang disahkan oleh Paus), sedangkan imam Praja tidak memiliki regula.
Saya akan mencoba menggunakan cara pendekatan baru dalam memaparkan materi pada bab ini, yaitu melalui metode tanya jawab. Semoga dapat membantu pengembaraan kita bersama.
III.1. HIRARKI GEREJA
a. Makna dan Sejarah Singkat
1. Apa itu Pengertian Hirarki?
Hirarki berasal dari kata Hirarchia yang berarti Tata Kudus. Hirarki terkait dengan pelayanan dalam Gereja yang mengarah kepada Allah yang mahakudus. Hirarki menjadi tanda lahiriah yang menunjuk pada sifat Gereja sebagai institusi di dunia. Dapat pula dikatakan bahwa Hirarki lebih mirip dengan struktur keorganisasian dalam sebuah lembaga.
2. Apa fungsi dari Hirarki?
Ada dua fungsi hirarki. Pertama, fungsi sosiologis, yaitu hirarki menjadi simbol nyata yang menunjukkan bahwa Gereja adalah institusi lahiriah yang mendunia. Dengan fungsi itu, Gereja memperoleh pengakuan dari publik sebagai lembaga yang memiliki kekuatan publik. Kedua, fungsi religius, yaitu hirarki menjadi semacam jalan pelayanan iman umat yang mendasarkan dirinya pada iman kepada Yesus Kristus yang senantiasa membimbing Gereja-Nya hingga akhir zaman. Dengan kata lain, inti dari sebuah hirarki bukanlah struktur kekuasaan tapi struktur pelayanan.
3. Seperti apakah struktur hirarki dalam Gereja Katolik?
Susunan Hirarki Gereja secara formal adalah Uskup (Episkopos)-Imam (Presbyteros)-Diakon (Diakonos).
4. Kapan sistem hirarki macam itu mulai berlaku?
Sistem itu mulai dikenal pada akhir abad kedua. Struktur itu muncul seiring munculnya klaim dari Gereja bahwa dirinya adalah lembaga yang terpisah dari Yudaisme. Ekaristi dipandang sebagai pengganti korban kenisah. Mereka yang memimpin Ekaristi dengan segera disebut imam meskipun pada permulaannya, hanya para uskup yang dikatakan mempersembahkan kurban.
5. Siapakah yang masuk ke dalam hirarki?
Yang masuk ke dalam sistem hirarki adalah para pelayan tertahbis. Hanya kaum tertahbis-lah yang boleh masuk ke dalam struktur hirarkis Gereja. Kaum tertahbis itu kerap disebut sebagai Klerus. Tahbisan imamat-lah yang memasukkan seseorang ke dalam struktur hirarki Gereja.
b. Uskup, Imam, dan Diakon
1. Siapakah Uskup itu?
Uskup adalah seorang imam yang mendapatkan kepenuhan tahbisan imamat. Uskup menjadi pemimpin teritorial Gereja di wilayah tertentu. Untuk menjadi uskup, orang itu harus menjadi imam terlebih dahulu karena pada dasarnya Uskup adalah seorang imam. Uskup adalah pengganti para Rasul Kristus.
2. Siapakah Imam itu?
Imam adalah para pembantu uskup. Imamat mereka adalah terbatas. Para imam tidak berwenang mentahbiskan imam. Hanya uskup yang berhak mentahbiskan imam.
3. Siapakah Diakon itu?
Diakon tertahbis adalah para pembantu Uskup. Mereka berwenang membaptis orang dan memimpin sakramen pernikahan. Sakramen-sakramen lain masih belum boleh diterimakan hingga ia ditahbiskan menjadi Imam.
4. Apa yang dimaksud dengan tahbisan?
Tahbisan adalah suatu tindakan inderawi yang menandakan dan menyatakan bahwa sesuatu atau seseorang dikhususkan untuk mengabdi Yang Kudus.
5. Mengapa para imam dan para religius tidak boleh menikah padahal Yesus tidak pernah secara khusus berpesan kepada para murid-Nya agar tidak menikah?
Hidup tidak menikah disebut sebagai hidup selibat. Mengenai hal ini, kita perlu membuat pembedaan antara imam dan kaum religius. Imam menjalani hidup selibat karena peraturan Gereja mewajibkannya. Sedangkan, kaum religius (suster/bruder/imam religius) menjalani hidup selibat karena secara bebas ia memilih sendiri cara hidup tersebut. Lewat kaul kemurniannya, mereka harus menjalani hidup tidak menikah. Dengan kata lain, seandainya peraturan Gereja mengizinkan seorang imam untuk menikah, maka seorang religius tetap tidak dapat menikah karena terikat dengan kaul kemurniannya itu. Sedangkan, imam non religius dapat melepaskan diri dari kewajiban hidup selibat bila peraturan Gereja mengizinkan hal itu.
Yesus memang tidak pernah menyuruh murid-Nya untuk tidak menikah. Bahkan, Petrus pun menikah. Jika demikian, untuk apa imam dan kaum religius tetap menjalani hidup selibat? Ada dua alasan untuk itu. Pertama, untuk meniru Yesus yang tidak menikah. Kedua, karena Yesus pernah bersabda bahwa ada orang yang membuat dirinya tidak menikah karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Surga (Lih. Mat 19:12).
Sesungguhnya, tidak ada dasar biblis untuk kewajiban bagi para imam. Bahkan, dahulu, para imam Katolik pun boleh menikah. Dalam hal ini, Paus memiliki kekuasaan penuh untuk melepaskan kewajiban itu. Hanya saja, dari pengalaman selama ratusan tahun, Gereja tetap mempertahankan kewajiban hidup selibat dengan alasan bahwa seorang imam yang tidak memiliki istri dan anak, biasanya akan lebih terlindungi dari godaan untuk memakai uang jemaat yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan keluarganya. Atau, dalam bahasa rasul Paulus, “Orang yang tidak beristri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan.” (Lih. 1 Kor 7:32).
6. Apa dasar peraturan dari hidup selibat?
Kewajiban selibat bagi semua imam ditetapkan oleh Gereja secara resmi dan universal dalam Konsili Lateran I dan II (tahun 1123 dan 1139). Sepanjang sejarahnya, ada beberapa alasan yang mendukung hidup selibat bagi para imam, yaitu:
a. Imam menjalani hidup selibat untuk meneladani Kristus dan Paulus yang tidak menikah.
b. Imam tidak menikah karena cintanya kepada Kristus dan demi Kerajaan Allah.
c. Imam tidak menikah karenahidup selibat dan pantang kenikmatan seksual dianggap sebagai persiapan yang paling baik untuk melayani altar Tuhan.
d. Imam tidak menikah agar harta benda Gereja jangan sampai menjadi warisan keturunannya.
7. Apa bedanya antara Imam Projo dengan Imam Ordo/Religius?
a. Imam Praja adalah seorang imam yang langsung berada di bawah pimpinan seorang Uskup. Sedangkan, Imam religius adalah imam yang sekaligus seorang religius yang taat kepada pimpinan tarekatnya.
b.Imam Praja tidak mengucapkan kaul kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian. Sedangkan seorang imam religius, mengucapkan ketiga kaul tersebut dan terikat padanya.
c. Imam religius memiliki regula (aturan dasar ordo yang disahkan oleh Paus), sedangkan imam Praja tidak memiliki regula.
C. Peranan Kaum Awam dalam Gereja
1. Siapakah itu Kaum Awam?
Kaum awam adalah mereka yang tidak mendapatkan tahbisan imamat. Kaum religius yang bukan klerus, masuk ke dalam kelompok ini, seperti bruder dan suster. Dengan demikian jelas, bahwa ada dua status besar dalam Gereja, yaitu kaum klerus (kaum tertahbis) dan kaum Awam (non-tertahbis).
2. Berikut adalah kaum religius yang juga termasuk ke dalam golongan Awam:
a. Frater: Calon imam yang secara intensif mempersiapkan diri untuk menerima tahbisan imamat.
b. Novis adalah para calon biarawan/wati yang mempersiapkan diri secara intensif untuk mengucapkan tri kaul yang pertama. Masa yang dijalani seorang novis disebut Novisiat.
c. Postulan adalah sebutuan untuk para calon biarawan/wati yang sudah mencoba hidup di dalam biara sebelum mereka diperkenankan secara resmi masuk ke masa novisiat.
d. Aspiran adalah mereka yang ingin masuk ke suatu biara.
e. Rahib adalah para pertapa dan para anggota ordo kontemplatif yang hidup di balik tembok.
f. Rubiah adalah rahib perempuan.
g. Abas adalah seorang kepala suatu biara pertapaan.
III.2. TRADISI “BERDOA” DALAM GEREJA KATOLIK
A. Mengapa Orang Katolik Berdoa kepada Orang Kudus?
Pertanyaan ini kerap dimunculkan oleh orang Protestan kepada orang Katolik. Mereka mempertanyakan bahwa mengapa orang Katolik tidak berdoa langsung saja kepada Allah atau Yesus. Hal itu akan dijabarkan sebagai berikut:
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa Alkitab telah menunjukkan banyak contoh nyata kepada kita bahwa manusia bisa menjadi pengantara pada Allah demi kepentingan orang lain, seperti:
1. Dalam Perjanjian Lama:
- Abraham berdoa untuk kepentingan penduduk kota Sodom dan Gomora.
- Musa sering berdoa untuk kepentingan umat Israel.
- Bangsa Israel meminta kepada Samuel agar ia mendoakan mereka.
2. Dalam Perjanjian Baru:
- Yesus berdoa untuk para murid-Nya dan untuk dunia.
- Paulus senantiasa berdoa untuk umatnya.
- Paulus juga sadar bahwa keselamatannya tergantung juga pada doa-doa umatnya.
Contoh-contoh itu menunjukkan tiga hal berikut: Pertama, bahwa doa seseorang dapat berguna bagi orang lain. Paham ini memunculkan paham tentang doa syafaat. Kedua, bahwa kita pun dapat meminta kepada orang lain supaya berdoa bagi kita. Ketiga, bahwa doa orang yang benar, akan sangat besar kuasanya.
Dengan ketiga paham itu, maka praktek berdoa kepada orang kudus dapat dibenarkan. Sebab, orang-orang kudus itu adalah anggota Gereja juga. Setelah mereka meninggal dunia dan bersatu dengan Kristus di Surga, mereka tetap anggota satu tubuh Kristus. Mereka tidak terpisah jauh dari kita, tapi malah lebih dekat dengan kita. Kita meyakini bahwa doa-doa orang Kudus itu lebih besar kuasanya karena mereka itu lebih dekat dengan Allah di surga.
Berdoa kepada orang kudus bukan berarti menyembah orang kudus. Akan tetapi, berdoa kepada orang kudus berarti menyampaikan permohonan supaya mereka memintakan rahmat-rahmat tertentu bagi kita. Dengan kata lain, orang-orang kudus itu hanyalah perantara manusia kepada Kristus. Dengan demikian, praktek berdoa dengan perantaraan orang kudus tidak mengurangi nilai Kristus sebagai satu-satunya perantara antara manusia dan Bpa.
B.Tradisi Berdoa untuk Orang Mati dan Api Penyucian.
1. Dasar historis apa yang memunculkan tradisi ini?
Dalam 2 Mak 12:38-45, diceritakan bahwa para tentara Yahudi yang tewas dalam perang suci yang dipimpin oleh Yudas Makabe itu kedapatan memiliki jimat-jimat dari berhala kota Yamnia di bawah jubahnya. Menurut kitab ini, dosa itulah yang menyebabkan kematian mereka itu. Maka dari itu, para prajurit yang masih hidup, mengirimkan uang yang akan digunakan untuk membeli kurban penghapus dosa bagi para prajurit yang gugur itu. Bantuan rohani untuk orang mati itu, dianggap sebagai perbuatan yang saleh dan baik.
Kisah itu menunjukkan adanya kepercayaan bahwa sesudah mati, dosa orang dapat diampuni berkat doa-doa dan kurban dari mereka yang masih hidup. Dalam kitab Sirakh 7:33, juga dikatakan “Hendaklah kemurahan hatimu meliputi semua orang yang hidup, tapi orang mati pun jangan kau kecualikan pula dari kemurahanmu. Ayat ini menunjukkan bahwa mereka yang masih hidup harus merawat dan memberikan bantuan rohani bagi orang yang sudah mati.
2. Bila seseorang meninggal dunia, ke manakah rohnya pergi?
Menurut ajaran Katolik, sesudah kematian, setiap orang akan diadili secara pribadi. Ada tiga kemungkinan dari hasil pengadilan itu, yaitu orang masuk surga, neraka, dan masuk ke api penyucian sebelum orang masuk ke surga.
Dasar untuk keyakinan itu adalah:
- Lukas 16:22 : Orang kaya yang sudah mati berteriak minta tolong kepada Abraham.
- 2 Korintus 5:8 dan Filipi 1:23: Paulus mengungkapkan keinginannya untuk mati saja, yakni berpisah dari tubuhnya yang fana untuk bersatu dengan Kristus demi kebahagiaan. Keyakinan Paulus ini mencerminkan iman bahwa sebelum kebangkitan pada akhir zaman pun, orang yang mati sudah dapat bersama dengan Kristus di surga.
3. Kematian erat kaitannya dengan akhir zaman. Apa yang akan terjadi saat itu?
Pada akhir zaman, akan ada kebangkitan badan. Jiwa orang mati akan dipersatukan kembali dengan badan untuk diadili bersama-sama dengan seluruh umat manusia. Semua akan dipisahkan menjadi dua kelompok, yaitu domba dan kambing. Hasil pengadilan pribadi yang sudah terjadi sebelum akhir zaman, tetap berlaku dan hanya akan diteguhkan dalam pengadilan umum di akhir zaman itu.
4. Apa gunanya mendoakan orang yang sudah meninggal?
Tujuan mendoakan roh orang yang sudah meninggal ialah memperingan dan mempersingkat masa penderitaan arwah orang itu seandainya orang itu masih harus dimurnikan di api penyucian. Kita juga boleh berdoa dengan perantaraan orang-orang yang sudah meninggal agar mereka juga mendoakan kita kepada Allah. Hanya saja, berdoa kepada orang yang sudah meninggal, harus mengandaikan bahwa orang itu sudah masuk surga. Lalu, bagaimana jika kita berdoa untuk memanggil orang yang sudah meninggal agar ia memberikan petunjuk? Hal itu dilarang oleh Gereja Katolik. Praktek ini dilarang karena sama halnya dengan menduakan Tuhan.
5. Apakah setiap orang Kristen akan otomatis masuk surga ketika ia meninggal?
Dalam Gereja Katolik, yang menyelamatkan manusia adalah bukan hanya iman, tapi juga perbuatan. Baptis memang menjadi jaminan bagi seseorang untuk bersatu dengan Yesus di surga nanti, tapi itu tidak begitu saja membuat orang itu otomatis masuk ke surga. Yang pasti masuk ke surga adalah mereka yang mati dalam persatuan dengan Yesus. Persatuan ini dapat diperoleh bila selama hidup di dunia, perbuatan yang dilakukannya terus sejalan dengan nilai-nilai kebaikan. Orang Kristiani yang terpisah dari Kristus karena dosa-dosanya, tidak akan dipersatukan dengan Yesus di surga.
6. Apa itu ajaran tentang Api Penyucian?
Ajaran ini berdasarkan keyakinan bahwa ada orang yang tidak terpisah dari Kristus, tetapi sekaligus belum sepenuhnya bersatu dengan Yesus sehingga ia perlu disucikan dan dimurnikan di dalam Api Penyucian sebelum boleh bersatu dengan Yesus di surga. Ajaran Api Penyucian tidak mengurangi sedikit pun peranan Yesus Kristus yang mengampuni dosa kita. Manfaat doa bagi jiwa di Api Penyucian adalah meringankan hukuman atas doa, dan bukan penghapusan dosa itu sendiri.
III.3. SAKRAMEN-SAKRAMEN
1. Apa itu Sakramen?
Sakramen adalah tanda yang mendatangkan rahmat Allah dan memberikan kehidupan ilahi kepada kita, yang telah ditetapkan Kristus dan dipercayakan kepada Gereja-Nya. Sakramen-sakramen yang dirayakan dengan pantas dalam iman, memberikan rahmat yang mereka nyatakan. Sakramen itu menjadi berdaya guna karena Kristus sendiri bekerja di dalamnya. Yesus sendirilah yang bertindak dalam Sakramen-sakramen-Nya untuk membagi-bagikan rahmat yang dinyatakan oleh Sakramen.
Gereja sendiri mengajarkan bahwa Sakramen adalah karya penyelamatan Yesus Kristus yang dimaksudkan untuk membantu anggota Gereja dalam perjalanan iman mereka menuju kehidupan kekal.
2. Sakramen apa sajakah yang ada dalam Gereja Katolik?
Dalam Gereja Katolik, ada tujuh sakramen, yaitu:
a. Sakramen Baptis (Sacramentum Baptismi)
b. Sakramen Penguatan (Sacramentum Confirmationis)
c. Sakramen Ekaristi (Sacramentum Eucharistiae)
d. Sakramen Tobat (Sacramentum Paenitentiae)
e. Sakramen Imamat (Sacramentum Ordinis)
f. Sakramen Perkawinan (Sacramentum Matrimonii)
g. Sakramen Pengurapan orang sakit (Sacramentum Unctionis Infirmorum)
3. Bagaimana, kapan, dan oleh siapa ketujuh sakramen itu diadakan?
Menurut keyakinan Gereja Katolik, ketujuh sakramen diadakan atau dikehendaki oleh Yesus Kristus sendiri. Hal itu disimpulkan dari prakteknya dalam Gereja sejak dahulu. Kemudian, praktek itu direfleksikan dalam terang Perjanjian Baru dan akhirnya dinyatakan sebagai sakramen yang dikehendaki olehYesus. Adapun dasar alkitabiah untuk ketujuh sakramen itu adalah sebagai berikut:
1. Untuk sakramen baptis, adalah sabda Yesus yang tertulis dalam Mat 28:19-20, dan juga perintah Petrus dalam Kis 2:38.
2. Untuk sakramen Krisma, dasar yang dapat digunakan adalah Kisah Para Rasul 8:14-16 yang berbicara tentang Petrus dan Yohanes yang berdoa supaya orang-orang Samaria beroleh Roh Kudus. Pembedaan antara sakramen Krisma dan Baptis, ditunjukkan dalam ayat 16.
3. Untuk sakramen Ekaristi, dasar yang digunakan adalah Kisah Perjamuan Terakhir Yesus dengan para murid-Nya (Mat 26:26-29; Mrk 14:22-25)
4. Untuk sakramen Tobat, dasar yang digunakan adalah sabda Yesus kepada para Rasul yang terdapat dalam Yoh 20:22-23.
5. Untuk sakramen Orang Sakit, dasar yang dapat digunakan adalah surat Yakobus 5:14-15, dan Mrk 6:13.
6. Untuk sakramen Imamat, dasar yang dapat digunakan adalah ayat-ayat yang menunjukkan bagaimana Yesus menjadikan para Rasul “petugas” Gereja dan peserta dalam karya dan kuasa imamat-Nya, khususnya perintah Yesus dalam Perjamuan Terakhir, agar para Rasul mengadakan perjamuan itu sebagai kenangan akan Dia.
7. Untuk sakramen perkawinan, dasar yang digunakan adalah Ef 5:22-28 tentang kasih suami-istri sebagai tanda dan perwujudan kasih Kristus kepada umat-Nya dan kasih umat kepada Kristus.
4. Apakah Makna setiap sakramen itu?
Nama Sakramen
Makna Sakramen
1. Sakramen Baptis
Menginisiasikan seseorang ke dalam kehidupan Kristen dan Gereja. Sakramen ini menjadi tanda bahwa kita telah diselamatkan oleh Yesus Kristus dan disucikan oleh Roh Allah. Pembaptisan menghapuskan dosa asal.
2. Sakramen Penguatan
Memeteraikan seseorang dengan Roh Kudus. Penguatan memampukan seseorang untuk melayani Kerajaan Allah dengan baik. Melalui penumpangan tangan dan pengurapan minyak krisma, karunia Roh Kudus dicurahkan kepada para penerima Sakramen Krisma.
3. Sakramen Ekaristi
Sakramen Ekaristi adalah puncak misteri Kristus. Dalam Ekaristi, tercakup seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paskah dan Roti Hidup.
4. Sakramen Tobat
Sakramen ini merupakan perayaan resmi pertobatan pendosa dari dosa-dosanya, pengampunan Allah melalui absolusi dari imam dan janji si peniten untuk melunasi dosanya dan membarui kehidupan.
5. Sakramen Pengurapan orang sakit
Sakramen ini merupakan upacara liturgis untuk mendoakan anggota Gereja yang sakit berat. Dalam sakramen ini, terkandung unsur rekonsiliasi (pertobatan). Simbol minyak suci dan penumpangan tangan yang digunakan dalam sakramen ini, menyatakan iman kita akan kekuatan Allah yang mengatasi penyakit dan penderitaan dalam kehidupan persekutuan.
6. Sakramen Imamat
Sakramen imamat adalah sakramen pelayanan. Para uskup, imam, dan diakon dipanggil untuk menguduskan kaum awam, yang turut mengambil bagian dalam imamat umum yang diterima pada saat mereka dibaptis.
7. Sakramen Pernikahan
Melalui sakramen ini, kedua pengantin memperlihatkan suatu kedalaman dan keabadian kasih Allah dan mengikrarkan suatu bentuk persatuan permanen satu sama lain.
5. Apa sajakah yang menjadi unsur-unsur dasar dari setiap sakramen itu?
Nama Sakramen
Unsur dasar Sakramen
1. Sakramen Baptis
Air pembaptisan, dan forma pembaptisan dalam kuasa Tritunggal Mahakudus.
2. Sakramen Penguatan
Minyak Krisma dan Penumpangan Tangan
3. Sakramen Ekaristi
Perjamuan
4. Sakramen Tobat
Absolusi, Penitensi
5. Sakramen Pengurapan orang sakit
Minyak Pengurapan orang sakit (Oil Infirmorum)
6. Sakramen Imamat
Penumpangan tangan, Tahbisan
7. Sakramen Pernikahan
Janji pernikahan, kedua mempelai, pejabat Gereja
6. Tujuh Sakramen itu dikelompokkan menjadi tiga kelompok lagi. Apa sajakah itu?
Sakramen baptis, penguatan, dan ekaristi disebut sebagai sakramen inisiasi karena ketiganya merupakan jalan menuju partisipasi penuh dalam misteri Paskah Kristus dan menjadikan kita anggota penuh dalam Gereja.
Kelompok yang kedua adalah Sakramen Penyembuhan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah sakramen rekonsiliasi dan pengurapan orang sakit. Disebut sebagai sakramen penyembuhan karena sakramen itu mampu memberikan kesembuhan tubuh, jiwa, dan pikiran seseorang.
Kelompok ketiga adalah Sakramen Pelayanan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah sakramen imamat dan pernikahan. Disebut sebagai sakramen pelayanan adalah karena sakramen ini mengarahkan setiap orang untuk melayani Gereja dan dunia.
7. Bagaimana kita merayakan Sakramen?
Pertama, dengan tanda-tanda dan lambang-lambang. Allah mengajar kita melalui kodrat manusia, kebudayaan, karya penciptaan, dan peristiwa-peristiwa dunia. Yesus kerap menggunakan lambang dan isyarat untuk menyingkapkan rahasia Kerajaan Allah.
Kedua, dengan kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan ini terlihat dalam upacara-upacara liturgis yang dilakukan. Kata-kata dan tindakan itu menyuburkan iman, dan menghadirkan kemuliaan Allah yang diwartakan.
Ketiga, dengan nyanyian dan musik. Keempat, dalam masa liturgi. Seluruh misteri Kristus dan pengharapan akan kedatangan-Nya, coba disingkapkan oleh Gereja dalam masa-masa liturgi yang dijalani.
8. Apa itu Sakramentali?
Sakramentali adalah sarana untuk mengingat kehadiran Allah dalam kehidupan manusia. Contoh sakramentali adalah Gambar, Patung, dan medali Yesus maupun orang-orang kudus. Ibadat-Ibadat Sabda dan doa-doa liturgis juga menjadi bentuk nyata dari Sakramentali.
III.4. Dokumen-Dokumen Gereja
A. Dokumen Konsili Vatikan II
1. Apa itu Dokumen Konsili Vatikan II (DKV)?
DKV adalah dokumen resmi Gereja yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan II.
2. Kapan Konsili Vatikan II itu sendiri dilaksanakan?
Konsili Vatikan II dimulai pada tanggal 11 Oktober 1962 dan ditutup pada tanggal 8 Desember 1965. Lamanya konsili ini adalah 3 tahun. Penggagasnya adalah Paus Yohanes XXIII.
3. Ada berapa dokumenkah di dalam DKV II?
Konsili Vatikan II telah berhasil menghasilkan 16 dokumen resmi. Dokumen resmi itu terdiri dari 4 konstitusi, 9 dekrit, dan 3 deklarasi. Konstitusi mengungkapkan landasan ideal; Dekrit mengandung keputusan-keputusan yang ingin dilaksanakan; dan deklarasi menuangkan pernyataan sikap Gereja terhadap realitas tertentu.
4. Apakah yang menjadi inti keseluruhan DKV II?
DKV II ingin mencanangkan pemahaman diri Gereja Katolik akan tempat, hak dan kewajibannya dalam dunia dan tata masyarakat serta menggoreskan rencana upaya dan usaha yang ingin dilaksanakan.
5. Dokumen-dokumen apa sajakah yang ada dalam DKV II?
Nama Dokumen
Jenis Dokumen
Isi Dokumen
Struktur Teknis
Ad Gentes (AG)
Dekrit
Karya Misioner Gereja
Pendahuluan + 6 Bab Isi
Apostolicam Actuositatem (AA)
Dekrit
Kerasulan Awam
Pendahuluan + 6 Bab Isi
Christus Dominus (CD)
Dekrit
Tugas Kegembalaan para Uskup dalam Gereja
Pendahuluan + 3 Bab Isi
Dei Verbum (DV)
Konstitusi
Wahyu Ilahi
Pendahuluan + 6 bab Isi
Dignitatis Humanae (DH)
Deklarasi
Kebebasan Beragama
Pendahuluan + 1 Bab Isi
Gaudium et Spes (GS)
Konstitusi
Gereja di dalam dunia
Pendahuluan + 5 bab isi + Penutup
Gravissimum Educationis (GE)
Deklarasi
Pendidikan Kristen
1 Bab isi
Inter Mirifica (IM)
Dekrit
Alat-Alat Komunikasi Sosial
Pendahuluan + 2 Bab Isi
Lumen Gentium (LG)
Konstitusi
Gereja
8 Bab Isi
Nostra Aetate (NA)
Deklarasi
Sikap Gereja terhadap agama bukan Kristen
1 Bab Isi
Optatam Totius (OT)
Dekrit
Pendidikan Imam
Pendahuluan + 1 bab Isi
Orientalium Ecclesiarum (OE)
Dekrit
Gereja Katolik Timur
1 Bab Isi
Perfectae Caritatis (PC)
Dekrit
Pembaruan yang serasi Hidup Kebiaraan
1 Bab Isi
Presbyterorum Ordinis (PO)
Dekrit
Pelayanan dan Kehidupan para Imam
Pendahuluan + 3 Bab Isi
Sacrosanctum Concilium (SC)
Konstitusi
Liturgi Kudus
Pendahuluan + 6 Bab Isi
Unitatis Redintegratio (UR)
Dekrit
Ekumene
Pendahuluan + 3 Bab Isi
B. Ajaran-Ajaran Sosial Gereja
1. Apa itu Ajaran Sosial Gereja (ASG)?
Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah kumpulan dokumen yang dikeluarkan Gereja dalam menanggapi realitas sosial yang terjadi di dunia ini. Ajaran sosial Gereja muncul dari sebuah kesadaran dan upaya Gereja untuk mau terlibat dalam hidup sosial beserta permasalahan sosial yang ada di dalamnya.
2. Siapakah yang memunculkan ASG? kapan itu muncul? Dan apa sajakah yang termasuk sebagai ajaran sosial Gereja?
ASG tidak dimunculkan secara bersamaan dan tidak pula ditetapkan oleh satu orang saja. Ajaran Sosial Gereja yang ada saat ini merupakan kumpulan dari dokumen yang muncul dalam jangka waktu yang berbeda. Berikut adalah rincian yang dapat dilihat berdasarkan urutan tanggal:
Nama Dokumen
Tanggal Penetapan
Yang menetapkan
Tema Dokumen
Ensiklik Rerum Novarum
15 Mei 1891
Paus Leo XIII
Keadaan Kaum Buruh
Ensiklik Quadragesimo Anno
15 Maret 1931
Paus Pius XII
Pembangunan ulang Tata Sosial dan Penyesuaiannya dengan hukum Injil (Dalam rangka Ulang tahun ke-40 Rerum Novarum
Ensiklik Mater et Magistra
15 Mei 1961
Paus Yohanes XXIII
Perkembangan akhir Masalah Sosial dalam Terang Ajaran Kristiani
Ensiklik Pacem in Terris
11 April 1963
Paus Yohanes XXIII
Perdamaian Semesta dalam Kebenaran, Keadilan dan Cinta Kasih
Konstitusi Gaudium et Spes
7 Desember 1965
Konsili Vatikan II
Gereja di Dunia
Ensiklik Populorum Progressio
26 Maret 1967
Paus Paulus VI
Perkembangan Bangsa-Bangsa di Dunia
Ensiklik Octogesima Adveniens
14 Mei 1971
Paus Paulus VI
Tantangan Marxisme, Sosialisme, dan Liberalisme
Amanat Convenientes Ex Universo
30 November 1971
Amanat Sinode Uskup
Keadilan Dunia
Ensiklik Evangelii Nuntiandi
8 Desember 1975
Paus Paulus VI
Pewartaan Injil dalam Dunia Modern
Ensiklik Redemptor Hominis
9 Maret 1979
Paus Yohanes Paulus II
Misteri Penebusan Kristus
Ensiklik Laborem Excercens
14 September 1979
Paus Yohanes Paulus II
Kerja Manusia
Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis
30 Desember 1987
Paus Yohanes Paulus II
Keprihatinan Sosial akan Dunia
Ensiklik Centesimus Annus
1 Mei 1991
Paus Yohanes Paulus II
Kebudayaan Modern dan Negara
(Dalam rangka Ulang Tahun ke-100 Rerum Novarum)
C. Kitab Hukum Kanonik
1. Apa itu Kitab Hukum Kanonik (KHK)?
KHK adalah naskah legislatif utama Gereja yang bersandar pada warisan hukum dan perundangan Wahyu serta Tradisi Gereja yang juga merupakan alata untuk menjaga tatanan hidup pribadi serta hidup sosial para anggta Gereja. KHK hanya berlaku untuk Gereja Latin (Gereja Katolik Roma). KHK tidak menentukan ritus yang harus ditepati dalam perayaan liturgis, dan keberadaan KHK juga tidak menghapuskan keberadaan hukum sipil. KHK merupakan upaya Gereja untuk membahasakan ajaran teologis Gereja ke dalam bahasa hukum yang lebih real.
2. Sejak kapan KHK ini berlaku dan oleh siapa KHK ini diberlakukan?
KHK yang berlaku sekarang adalah KHK 1983. KHK itu diundangkan oleh alm. Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Januari 1983. KHK itu sendiri mulai diberlakukan untuk seluruh Gereja Katolik ritus Latin sejak 27 November 1983. KHK 1983 merupakan pembaharuan atas KHK 1917 yang sudah terlebih dahulu diundangkan oleh alm. Paus Yohanes XXIII pada hari raya Pentakosta tahun 1917.
3. Untuk apa KHK ini ada?
Ada dua tujuan yang hendak dicapai oleh KHK ini. Pertama, menumbuhkan keteraturan yang mendalam pada diri umat sehingga masyarakat Gerejawi mampu memberikan tempat utama kepada cinta kasih, rahmat, dan karisma-karisma. Kedua, memudahkan perkembangan yang teratur dari penghayatan akan cinta kasih, rahmat, dan karisma Gereja di dalam kehidupan tiap pribadi.
4. Bagaimanakah sistematisasi dalam KHK?
KHK 1983 terdiri atas tujuh buku yang masing-masing memiliki tema-tema bahasan tersendiri. Ketujuh buku itu adalah:
Buku I : Norma-Norma Umum Gereja
Buku II : Umat Allah
Buku III : Tugas Gereja Mengajar
Buku IV : Tugas Gereja Menguduskan
Buku V : Harta Benda Gereja
Buku VI : Sanksi-Sanksi dalam Gereja
Buku VII : Hukum Acara
5. Siapa sajakah yang terikat dengan KHK ini?
Yang terikat oleh KHK ini adalah :
Sudah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya.
Mampu menggunakan akal budinya dengan cukup.
c. Telah genap berumur tujuh tahun.
BAB II : GEREJA DALAM PERJALANAN SEJARAH
Dalam bab I, kita sudah melihat dan memahami bersama definisi Gereja secara mendalam. Pemahaman akan apa dan bagaimana Gereja memang senantiasa akan diperbaharui terus menerus seiring dengan naik turunnya perkembangan zaman. Karenanya, penting bagi kita untuk mengetahui konteks sejarah yang melatarbelakangi adanya dinamika pemahaman tentang Gereja itu sendiri. Maka, pada bab ini, kita akan melihat Gereja dalam cakrawala pandang historis. Cara pandang historis ini akan membantu kita dalam membentuk pola pandang Gereja yang lebih memadai.
II.1. Apakah Yesus pendiri Gereja?
Pertanyaan ini patut kita ajukan untuk menemukan inti terdalam dari keberadaan Gereja di dunia ini. Sejak awal, kita tahu bahwa Yesus datang sebagai orang yang “anonim”. Maksudnya adalah bahwa Ia tidak hadir untuk mewakili suku bangsa tertentu, namun Ia hadir atas nama seluruh bangsa di dunia ini. Ia datang untuk menyediakan diri-Nya bagi semua orang. Ia tidak melayani orang-orang dari golongan tertentu saja, tapi melayani semua orang tanpa memandang asal muasal mereka.
Kembali ke pertanyaan di atas, apakah Yesus mendirikan Gereja? Jawabannya adalah Ya dan Tidak. Bagaimana itu mau dijelaskan?
Yesus memang pendiri Gereja bila makna kata “pendiri” di sini diartikan sebagai seseorang yang memulai gerakan “Kristen” dengan memanggil murid-murid dan mengutus mereka untuk mewartakan Kerajaan Allah serta menyembuhkan mereka.
Namun, Yesus bukanlah pendiri Gereja bila kata “pendiri” itu diartikan sebagai seseorang yang secara resmi memulai sebuah persekutuan religius baru yang terpisah dari kelompok lain dengan ajaran-ajaran, upacara, sakramen, kode etik, dan struktur organisasi tersendiri.
Kita hendaknya jangan terkejut bila tidak menemukan bukti tindakan khusus pendirian Gereja. Seandainya Yesus berbuat demikian, tindakan-Nya akan ditafsirkan sebagai membangun sinagoga tersendiri. Kutipan Kitab Suci yang kerap kali dipergunakan mengenai pendirian Gereja, terdapat dalam Matius 16:18 (“.....kamu adalah Petrus dan di atas batu karang ini, Aku akan mendirikan jemaat-Ku).
Selama hidup-Nya di dunia, Yesus tampil sebagai seorang pewarta yang berbicara dengan kewibawaan luar biasa karena Ia yakin akan keeratan relasi-Nya dengan Allah. Dengan mengumpulkan murid-murid-Nya, Yesus setidaknya telah meletakkan dasar bagi Gereja. Namun, itu juga tidak berarti bahwa sejak semula Yesus berniat mendirikan gerakan religius yang terpisah dari masyarakat.
II.2. Gereja Perdana
Pasca wafat dan kebangkitan Yesus, para murid-Nya menyebut diri mereka sebagai “Saudara” (Kis 9:2), “orang yang telah menjadi percaya” (Kis 2:44) atau “orang yang mengikuti jalan Tuhan” (Kis 9:2). Nama “Kristen” sesungguhnya diberikan oleh orang-orang luar. Lalu, akhirnya memang nama “Kristen” menjadi nama resmi bagi para pengikut Kristus. Para pengikut Kristus sendiri disebut sebagai Kristen untuk pertama kalinya di Anthiokia, Suriah. Tepatnya, tahun 40 M.
Pada masa-masa Gereja perdana ini, kehidupan kelompok Kristen ini diwarnai dengan banyak ketegangan. Baiklah kita mengetahui ketegangan-ketegangan itu.
a. ketegangan internal
Ketegangan Internal ini pada awalnya dipicu oleh perdebatan tentang siapa yang pantas disebut “Kristen”. Ketegangan internal ini muncul karena dalam kelompok Kristen pada saat itu, terdapat empat “kubu” yang memiliki perbedaan pandangan. Keempat kubu itu adalah:
1. Kelompok Bersunat
Kelompok ini adalah kelompok orang Kristen Yahudi dan Kristen tobatan dari kekafiran yang menuntut pelaksanaan hukum Musa sepenuh-penuhnya. Bagi kelompok ini, orang yang mau masuk Kristen harus disunat terlebih dahulu.
2. Kelompok Saudara Tuhan
Kelompok ini adalah kelompok orang Kristen Yahudi dan Kristen tobatan dari kekafiran yang tidak menuntut sunat, tetapi meminta agar para tobatan dari kekafiran melaksanakan beberapa hukum kesucian Yahudi. Yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Petrus dan Yakobus.
3. Kelompok Paulus
Kelompok ini terdiri dari kelompok orang Kristen Yahudi dan tobatan dari kekafiran yang juga tidak menuntut sunat, dan mereka tidak meminta tobatan dari kekafiran menaati hukum halal-haram. Rasul Paulus masuk ke dalam kelompok ini.
4. Kelompok Anonim
Kelompok ini terdiri dari kelompok orang Kristen Yahudi dan tobatan dari kekafiran yang tidak menuntut sunat, tidak menuntut pelaksanaan hukum haram-halal, dan tidak melihat makna abadi dari ibadat Yahudi di kenisah. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah kaum hellenis, Stefanus, Filipus dan para diakon.
Ketegangan internal ini meledak dalam sebuah pertemuan yang dikenal sebagai konsili Yerusalem (49-50 M). Ada tiga hal yang memperlihatkan adanya ketegangan ini:
Konsili ini dipimpin oleh Yakobus. Seharusnya oleh Petrus.
Kelompok konservatif yang dikenal dengan kelompok bersunat, secara terus terang menentang Petrus yang oleh tradisi dianggap sebagai Paus Pertama.
Solusi yang dihasilkan lebih bersifat praktis dan kompromi serta tidak didasarkan pada ajaran yang pasti.
b. Ketegangan eksternal
Ketegangan internal dalam kelompok orang Kristen itu, membuat Kaisar Roma saat itu, yaitu Kaisar Klaudius, menitahkan untuk mengusir orang-orang Yahudi dari kota Roma. Orang-orang Kristen saat itu juga dikenal oleh banyak orang Roma sebagai kelompok yang menjalankan praktek tahayul. Akibatnya, mereka menjadi orang yang dibenci. Puncaknya adalah penangkapan orang-orang Kristen pada zaman Kaisar Nero. Menurut catatan sejarah, orang Kristen dituduh telah membakar kota Roma pada tanggal 16 Juli 64, dan menebar benih kebencian pada sesama manusia. Sejak itulah, dimulai rangkaian penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Mari kita lihat lebih detail lagi.
b.1. Roma Lautan Api
Kaisar Nero mulai menerapkan sikap bermusuhan terhadap orang Kristen karena Kristen dianggap sebagai tahayul. Nero menuduh orang Kristen sebagai pelaku pembakaran kota Roma. Orang Kristen dipandangnya sebagai kaum misanthropia (kelompok yang membenci manusia). Kristen dipandang sebagai kelompok yang eksklusif dan dianggap bertentangan dengan orang-orang Romawi.
b.2. Motif Permusuhan terhadap Orang Kristen
Ada beberapa motif yang membuat orang Kristen dimusuhi saat itu:
Motif Politis:
- Orang Kristen dicurigai sebagai kelompok yang anti-Roma dan hendak memberontak terhadap otoritas negara.
- Orang Kristen menolak kultus penyembahan terhadap dewa-dewi nasional Romawi.
- Agama Kristen dipandang sebagai agama baru yang aneh. Orang Kristen dikatakan sebagai kaum yang tidak sah (Non Licet esse vos). Oleh karenanya, Kristen dipandang sebagai relligio illicita (agama yang tidak sah dan perlu dilarang demi hukum).
- Orang Kristen jarang memperlihatkan dirinya sebagai warga negara Roma yang tulen. Mereka tidak mau mempersembahkan kurban sajian kepada Kaisar.
- Orang Kristen tidak mau mengakui Kaisar Roma sebagai pimpinan tertinggi agama. Bagi orang Kristen, penolakan terhadap kultus kekaisaran merupakan konsekuensi dari iman mereka. Dengan kata lain, mereka sudah mulai membedakan antara agama dan negara.
Motif non politis:
- Orang Kristen dituduh sebagai orang yang kejam oleh orang Non-Kristen saat itu. Seorang tokoh Roma yang bernama Minucius Felice, pernah menyuarakan bahwa orang Kristen membunuh orok yang baru lahir (Sacramentum infanticidii et pabulum inde). Legenda ini muncul karena adanya kesalahpahaman perihal ekaristi.
- Orang Kristen dituduh berperilaku tidak senonoh dalam liturgi dan disingkiri karena tidak mau membuang kesepian di panti-panti hiburan.
- Orang Kristen telah dituduh menghina Allah Tanah Air dan ateis.
II. 3. Katakombe
Katakombe adalah kuburan orang Kristen yang terletak di bawah tanah. Katakombe tak pernah berperan sebagai tempat tinggal dan tak menjadi tempat kultus peribadatan. Keberadaan kuburan di bawah tanah ini memang sudah diketahui oleh para prajurit Roma.
Ada sejumlah ketentuan umum yang mengatur hal-ihkwal pemakaman.
Pertama, “ius sepulcri”, yaitu bahwa semua orang, baik itu orang merdeka maupun para hamba, memiliki hak untuk dimakamkan.
Kedua, “sepultura extramurana”. Artinya adalah bahwa kuburan harus terletak di luar tembok kota. Dengan kata lain, orang tidak dapat dimakamkan atau dikremasi di dalam kota. Karena itu, kuburan orang kristen ini dibuat di luar kota. Maka, katakombe-katakombe ini dapat ditemukan sepanjang jalan menuju kota Roma.
II.4 Kaisar-Kaisar Pemenggal Kekristenan
a. Kaisar Nero (54-68 M)
Kaisar ini adalah kaisar yang pertama kali melakukan pembunuhan secara besar-besaran bagi umat Kristiani. Pada tahun 64 M, terjadi kebakaran besar di kota Roma yang menghancurkan 10 dari 14 perkampungan penduduk. Tanpa bukti yang kuat, Nero menuduh orang Kristen-lah yang membakar perkampungan itu. Tujuan Nero menuduh orang Kristen ialah agar penduduk Roma semakin membenci orang Kristen dan ia mendapat legitimasi dari senat dan penduduk Roma untuk menganiaya dan menghukum orang-orang Kristen. Akhirnya, Nero melakukan pembunuhan secara besar-besaran kepada orang Kristen dan itu disaksikan oleh penduduk Roma. Berdasarkan tradisi, dua rasul Agung Kristen, yaitu Petrus dan Paulus, menjadi martir pada zaman kaisar Nero ini.
b. Kaisar Domitianus (81-96 M)
Kaisar ini adalah seorang yang gila hormat sekaligus kejam. Ia ingin disembah sebagai Dominus et Deus. Bagi orang-orang non Kristen, perintah itu tidaklah menjadi masalah. Namun, bagi orang Kristen, perintah ini sama saja mengingkari iman kristiani.
c. Kaisar Trajanus (98-117 M)
Kaisar ini adalah seorang yang hati-hati dalam memerintah kekaisaran. Ia dikenal sebagai kaisar yang tidak mau bertindak gegabah. Ia memiliki kepekaan hati untuk melindungi segenap rakyatnya tanpa membedakan agama dan kepercayaan. Namun, sayangnya, ia tetap mementingkan kepentingan negara di atas segala-galanya. Mengenai sikapnya terhatap orang Kristen, ia mengeluarkan tiga perintah yang dikenal dengan nama “Reskrip Trajanus”. Adapun isi dari Reskrip Trajanus itu adalah:
Orang Kristen janganlah dicari.
Kalau ada yang ditangkap, ia harus dihukum. Namun, kalau ia mau menyangkal kekristenannya, maka ia harus dibebaskan.
Dakwaan anonim janganlah diperhatikan.
d. Marcus Aurelius (161-180 M)
Orang ini sebenarnya cakap dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Namun, rasa kemanusiaan yang tinggi itu diletakkan di bawah kepentingan jabatan. Ia menjadi orang yang sangat kejam dalam membunuh orang-orang Kristen. Pada zamannya, martir yang sangat terkenal adalah St. Polycarpus.
e. Kaisar Decius (249-251 M)
Pada tahun 250 M, ia mewajibkan semua penduduk kekaisaran Roma untuk mempersembahkan kurban kepada dewa. Mereka yang tidak mentaati perintah ini, akan dihukum mati. Alasan dikeluarkannya kewajiban ini adalah bahwa kaisar ingin melihat loyalitas semua penduduk Romawi kepada kaisar. Pada zaman ini, banyak orang Kristen yang menjadi murtad. Ada dua cara pemurtadan orang Kristen agar ia dapat terhindar dari hukuman mati, yaitu sacrificati dan Libellatici. Sacrificati adalah kewajiban ikut mempersembahkan kurban kepada dewa di hadapan publik umum. Libellatici adalah membeli surat keterangan yang menyatakan bahwa dirinya bukan orang Kristen.
f. Kaisar Diocletianus (284-305 M)
Pada awalnya, kaisar ini tidak mempedulikan kehidupan beragama. Dia sendiri merasa kagum dengan orang Kristen yang tahan uji. Namun, desakan dari senat kafir dan sahabat-sahabatnya yang juga kafir, pikirannya berubah dan ia memutuskan untuk menganiaya orang Kristen. Diocletianus mulai mengadakan penganiayaan pada tahun 303 M atas desakan kuat dari Galerius. Wujud penganiayaan itu adalah membongkar tempat ibadah, membakar kitab suci, dan mengejar para imam serta awam yang untuk kemudian dianiaya dan dibunuh. Ia melakukan penganiayaan besar-besaran kepada orang Kristen untuk memperoleh simpati dari penduduk Romawi. Baginya, penganiayaan kepada orang Kristen merupakan tradisi yang harus diteruskan sebab nenek moyangnya juga selalu menganiaya orang Kristen.
Kesimpulan penolakan pemerintahan Romawi terhadap orang Kristen:
Kalau pada awal mulanya penganiayaan Kristen didasari oleh sikap orang Kristen yang tidak mau menyembah kaisar dan dewa Romawi, tidak mau berpesta bersama, dan ibadatnya tersembunyi, maka dalam perkembangan selanjutnya, agama Kristen juga dituduh sebagai pembawa bencana banjir, kelaparan, dan adanya ketidakharmonisan di dalam pemerintahan Romawi.
II.5. Metamorfosis Kekristenan di Kekaisaran Romawi
a. Konstantinus Agung, Kaisar yang bertobat
Pada tahun 305 M, Diocletianus turun dari tahta. Wilayahnya dikuasai oleh Galerius. Ketika Galerius memerintah, ia mengeluarkan sebuah perintah yang berbunyi bahwa orang Kristen berhak memperoleh kebebasan asalkan mereka mau mendoakan bagi keselamatan Kaisar dan Negara. Namun, di lain pihak, Galerius juga masih mengadakan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen, terutama orang-orang Kristen yang berada di wilayah timur kekaisaran.
Kemudian, dalam perkembangannya, secara politis, wilayah kekaisaran Romawi terpecah menjadi dua, yaitu wilayah barat dan wilayah timur. Wilayah barat dikuasai oleh Constantinus Chlorus, sedangkan wilayah timur dikuasai oleh Maxentius (mungkin dia ini pengganti Galerius). Saat Constantinus Chlorus wafat, tahtanya diambil alih oleh anaknya, yaitu Constantinus Agung. Pada zaman Constantinus Agung inilah, kekaisaran Roma dapat kembali bersatu lagi karena ia berhasil menumbangkan kekuasaan kekaisaran di wilayah Timur.
Ketika Constantinus Agung menjadi penguasa tunggal di kekaisaran Romawi, ia mulai menghentikan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Ada tiga hal yang mempengaruhi dirinya memutuskan untuk menghentikan penganiayaan ini, yaitu:
1. Ibunya sendiri, St. Helena, adalah seorang pengikut Kristus yang saleh.
2. Setiap dalam pertempuran melawan musuh-musuhnya, ia selalu mengalami kemenangan. Kemenangan ini dipahaminya karena berkat dari tanda salib yang selalu ia pakai dalam setiap pertempuran.
3. Ia melihat bahwa kehidupan rohani bangsa Roma semakin mundur. Dari situ, ia menyimpulkan bahwa agama kafir yang selama ini dipakai sebagai dasar kerohanian negara sudah tidak cocok lagi. Ia memutuskan untuk mengganti nilai-nilai kekafiran itu dengan nilai-nilai yang ditawarkan oleh Gereja. Ia melihat orang Kristen tetap tabah menghadapi berbagai macam penganiayaan. Orang Kristen memiliki vitalitas hidup dan rasa solidaritas yang tinggi.
b. Segi Positif dan Negatif Pertobatan Kaisar
Selama masa pemerintahan Constantinus Agung, banyak hal yang menguntungkan Gereja tetapi juga sekaligus merugikan Gereja. Beberapa hal yang menguntungkan Gereja:
1. Pada tahun 313 M, Constantinus Agung mengeluarkan suatu keputusan yang sangat terkenal, yaitu Edik Milano. Edik Milano ini berisikan tentang keputusan Kaisar untuk memberikan kebebasan beribadat kepada semua agama yang ada di wilayah kekaisaran Romawi. Itu berarti bahwa Kristen yang juga menjadi salah satu agama di kekaisaran Romawi, memperoleh imbasnya. Kristen menjadi agama resmi dan dengan begitu, orang-orang Kristen memiliki kebebasan lagi untuk beribadat.
2. Gereja mendapatkan perlindungan dari Kaisar untuk bebas dari berbagai macam bentuk penganiayaan dan diskriminasi. Gereja berubah dari minoritas terhina menjadi badan hukum yang terhormat.
3. Pembangunan Gereja terjadi secara megah dan besar-besaran.
4. Struktur peribadatan mendapatkan bentuk yang lebih mereiah karena ada unsur-unsur upacara kekaisaran yang dimasukkan dalam liturgi Gereja.
5. Jumlah penganut Kristen semakin berkembang pesat.
6. Para pejabat Gereja mendapatkan jaminan sosial dari Kaisar.
Namun, di lain sisi, pertobatan Kaisar juga membawa dampak negatif bagi kekristenan. Dampak negatif itu adalah:
1. Kaisar meneruskan kebiasaan tradisional sebagai pontifex maximus.
2. Muncul Caesaropapisme: Kaisar berperan sebagai Pemimpin pemerintah dan Pemimpin Gereja.
3. Gereja menjadi kendaraan politik Kaisar.
4. Kaisar menganiaya kelompok kafir dengan mengatasnamakan sebagai pembela Gereja.
5. Kaisar mencampuri urusan intern Gereja, termasuk dalam hal ajaran iman Gereja.
Perkembangan Gereja ini mencapai suatu bentuk yang tertinggi ketika Kaisar Theodosius I menetapkan agama Kristen sebagai satu-satunya agama yang diperbolehkan di kekaisaran Roma (380 M). Hal ini disebabkan karena rasa tanggung jawab Kaisar terhadap agama Kristen yang sudah dijadikan kambing hitam oleh para pendahulunya. Akibatnya, agama kafir menjadi semakin tersingkir di wilayah kekaisaran Romawi.
c. Interpretasi Pertobatan Kaisar
Proses pembalikan nasib kekristenan itu, pada hakikatnya telah mengizinkan Gereja untuk bergerak bebas baik secara intern (melakukan tata peribadatan dan pendidikan iman dengan bebas) maupun secara ekstern (Gereja semakin memiliki pengaruh dalam masyarakat). Tetapi, pada waktu yang sama, kekristenan kehilangan kejernihan dan ketegangan asalinya. Kristianisme cenderung menjadi suatu agama dari lingkungan dan hirarki Gereja malah terkait dengan penguasa politik.
II.6. Bidaah-Bidaah besar dalam kekristenan awal
1. Donatisme
Ajaran ini berasal dari Donatus dari Afrika Utara. Menurut ajaran ini, sakramen yang diterimakan oleh orang-orang yang berdosa tidaklah sah. Sah tidaknya sakramen tergantung pada tingkah laku yang menerimakan sakramen.
Seharusnya: Menurut Gereja, sah dan tidaknya sebuah sakramen tidak tergantung pada tingkah laku orang yang menerimakan karena yang memberi sakramen adalah Yesus Kristus itu sendiri.
2. Pelagianisme
Ajaran ini berasal dari seorang yang bernama Pelagius, seorang imam dari Irlandia. Ia mengajarkan bahwa manusia dapat mencapai keselamatan tanpa adanya rahmat Allah. Ia juga mengajarkan ajaran Iustificatio (pembenaran) yang artinya bahwa dosa manusia itu tidak hilang tapai manusia dibenarkan. Ajaran Pelagius ini ditentang oleh Agustinus.
Seharusnya: Manusia tetap akan selalu memerlukan rahmat Allah dalam menjalankan usahanya sebab tanpa rahmat Allah, manusia bukanlah apa-apa. Mengenai ajaran Iustificatio, Agustinus menegaskan bahwa manusia tidak hanya dibenarkan, tapi memang dosanya sungguh-sungguh telah dihapuskan oleh Allah.
3. Marcionisme
Ajaran ini berasal dari Marcion, seorang wiraswasta kaya raya yang berasal dari Sinope Pontus. Ia menafsirkan Kitab Suci menurut kehendaknya sendiri, tanpa memperhitungkan pendapat para ahli. Pendapatnya adalah sebagai berikut:
Injil adalah Injil Cinta Kasih. Perjanjian Lama harus ditolak karena Allah Perjanjian Lama itu Kejam dan Bodoh.
Seharusnya: PL dan PB adalah satu kesatuan dan sama-sama mewartakan Allah yang sama, yaitu Allah yang mengasihi umat-Nya.
Yesus Kristus datang untuk mengalahkan Allah dalam Perjanjian Lama.
Seharusnya: Yesus Kristus datang untuk menggenapi apa yang dikatakan oleh Allah tentang keselamatan abadi manusia.
Menurutnya, PL adalah Kitab Hukum, dan PB adalah Kitab Cinta Kasih.
Seharusnya: PL dan PB sama-sama berbicara tentang cinta kasih.
Kitab yang benar hanyalah 10 surat Paulus dan Injil Lukas.
Seharusnya: Semua Kitab yang ada dalam Kitab Suci (72 Kitab) adalah benar adanya karena memang ditulis dalam ilham Roh Kudus.
4. Montanisme
Montanus adalah seorang imam kafir yang bertobat menjadi Kristen. Ia merasa mendapat ilham dari Roh Kudus bahwa hari kiamat sudah dekat, maka ia diutus untuk mempersiapkan umat dengan berpuasa, dan mencegah hubungan seks. Menurutnya, Gereja perlu mengadakan pembaharuan karena Gereja mengalami kemunduran. Ajaran Montanisme ini bersifat kenabian (profetis) dan menerapkan ajaran moral yang kuat.
5. Arianisme
Ajaran ini dicetuskan oleh Arius, seorang diakon dari Alexandria, Mesir. Ajaran Arianisme adalah Sub-ordinatisme. Ajaran ini menyatakan bahwa Yesus Kristus itu tidak kekal tetapi merupakan ciptaan sehingga kedudukan-Nya lebih rendah dari Allah. Ajaran ini ditentang oleh Athanasius. Menurutnya, Yesus Kristus adalah Sang Sabda yang bukan dijadikan, tetapi dilahirkan dan Sang Sabda itu sehakikat dengan Bapa.
II.7. Konsili-Konsili Ekumenis dalam Gereja Katolik
Konsili Ekumenis adalah Konsili yang melibatkan semua aliran kekristenan yang ada di muka bumi ini. Dengan kata lain, konsili ekumenis tidak hanya melibatkan pihak Gereja Katolik saja, tapi juga aliran Kristen non Katolik. Ada 4 konsili Ekumenis yang pertama:
a. Konsili Nicea I
Konsili ini diadakan di kota Nicea pada tahun 325 M. Diprakarsai oleh Konstantinus Agung. Konsili ini diadakan untuk menanggapi ajaran sesat yang muncul, yaitu Marcionisme dan Arianisme. Konsili ini menyetujui apa yang menjadi pendapat Athanasius tentang hakikat Yesus Kristus.
b. Konsili Konstantinopel
Konsili ini diadakan pada tahun 381 M. Diprakarsai oleh Kaisar Theodosius. Masalah pokoknya: adanya pertentangan pendapat tentang Roh Kudus, yaitu mengenai apakah Roh Kudus itu sehakekat dengan Allah atau tidak. Konsili ini melawan pendapat Arianisme dan Semin Arianisme yang menyebutkan bahwa Roh Kudus adalah ciptaan Putra. Konsili ini berpendapat bahwa Roh Kudus itu juga sehakekat dengan Allah. Tokoh-tokoh dalam konsili ini: Basilius, Gregorius dari Nazianze, dan Gregorius dari Nisa. Ketiga tokoh ini sering disebut Bapa Kapadosia.
c. Konsili Efesus
Konsili ini diadakan di Efesus tahun 431 M. Konsili ini diadakan untuk membahas dan melawan ajaran Nestorius. Nestorius mengatakan bahwa kodrat Yesus adalah manusia. Ia menolak Maria sebagai utusan Tuhan. Konsili ini mengajarkan bahwa Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh Manusia. Maria adalah sungguh-sungguh utusan Allah. Tokoh dalam konsili ini adalah Cyrillus.
d. Konsili Kalsedon
Konsili ini diadakan di Kalsedon pada tahun 451 M. Konsili ini diadakan untuk melawan ajaran Monofysitisme. Konsili ini juga menegaskan hal yang sama dengan Konsili Efesus bahwa Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh Manusia.
II.1. Apakah Yesus pendiri Gereja?
Pertanyaan ini patut kita ajukan untuk menemukan inti terdalam dari keberadaan Gereja di dunia ini. Sejak awal, kita tahu bahwa Yesus datang sebagai orang yang “anonim”. Maksudnya adalah bahwa Ia tidak hadir untuk mewakili suku bangsa tertentu, namun Ia hadir atas nama seluruh bangsa di dunia ini. Ia datang untuk menyediakan diri-Nya bagi semua orang. Ia tidak melayani orang-orang dari golongan tertentu saja, tapi melayani semua orang tanpa memandang asal muasal mereka.
Kembali ke pertanyaan di atas, apakah Yesus mendirikan Gereja? Jawabannya adalah Ya dan Tidak. Bagaimana itu mau dijelaskan?
Yesus memang pendiri Gereja bila makna kata “pendiri” di sini diartikan sebagai seseorang yang memulai gerakan “Kristen” dengan memanggil murid-murid dan mengutus mereka untuk mewartakan Kerajaan Allah serta menyembuhkan mereka.
Namun, Yesus bukanlah pendiri Gereja bila kata “pendiri” itu diartikan sebagai seseorang yang secara resmi memulai sebuah persekutuan religius baru yang terpisah dari kelompok lain dengan ajaran-ajaran, upacara, sakramen, kode etik, dan struktur organisasi tersendiri.
Kita hendaknya jangan terkejut bila tidak menemukan bukti tindakan khusus pendirian Gereja. Seandainya Yesus berbuat demikian, tindakan-Nya akan ditafsirkan sebagai membangun sinagoga tersendiri. Kutipan Kitab Suci yang kerap kali dipergunakan mengenai pendirian Gereja, terdapat dalam Matius 16:18 (“.....kamu adalah Petrus dan di atas batu karang ini, Aku akan mendirikan jemaat-Ku).
Selama hidup-Nya di dunia, Yesus tampil sebagai seorang pewarta yang berbicara dengan kewibawaan luar biasa karena Ia yakin akan keeratan relasi-Nya dengan Allah. Dengan mengumpulkan murid-murid-Nya, Yesus setidaknya telah meletakkan dasar bagi Gereja. Namun, itu juga tidak berarti bahwa sejak semula Yesus berniat mendirikan gerakan religius yang terpisah dari masyarakat.
II.2. Gereja Perdana
Pasca wafat dan kebangkitan Yesus, para murid-Nya menyebut diri mereka sebagai “Saudara” (Kis 9:2), “orang yang telah menjadi percaya” (Kis 2:44) atau “orang yang mengikuti jalan Tuhan” (Kis 9:2). Nama “Kristen” sesungguhnya diberikan oleh orang-orang luar. Lalu, akhirnya memang nama “Kristen” menjadi nama resmi bagi para pengikut Kristus. Para pengikut Kristus sendiri disebut sebagai Kristen untuk pertama kalinya di Anthiokia, Suriah. Tepatnya, tahun 40 M.
Pada masa-masa Gereja perdana ini, kehidupan kelompok Kristen ini diwarnai dengan banyak ketegangan. Baiklah kita mengetahui ketegangan-ketegangan itu.
a. ketegangan internal
Ketegangan Internal ini pada awalnya dipicu oleh perdebatan tentang siapa yang pantas disebut “Kristen”. Ketegangan internal ini muncul karena dalam kelompok Kristen pada saat itu, terdapat empat “kubu” yang memiliki perbedaan pandangan. Keempat kubu itu adalah:
1. Kelompok Bersunat
Kelompok ini adalah kelompok orang Kristen Yahudi dan Kristen tobatan dari kekafiran yang menuntut pelaksanaan hukum Musa sepenuh-penuhnya. Bagi kelompok ini, orang yang mau masuk Kristen harus disunat terlebih dahulu.
2. Kelompok Saudara Tuhan
Kelompok ini adalah kelompok orang Kristen Yahudi dan Kristen tobatan dari kekafiran yang tidak menuntut sunat, tetapi meminta agar para tobatan dari kekafiran melaksanakan beberapa hukum kesucian Yahudi. Yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Petrus dan Yakobus.
3. Kelompok Paulus
Kelompok ini terdiri dari kelompok orang Kristen Yahudi dan tobatan dari kekafiran yang juga tidak menuntut sunat, dan mereka tidak meminta tobatan dari kekafiran menaati hukum halal-haram. Rasul Paulus masuk ke dalam kelompok ini.
4. Kelompok Anonim
Kelompok ini terdiri dari kelompok orang Kristen Yahudi dan tobatan dari kekafiran yang tidak menuntut sunat, tidak menuntut pelaksanaan hukum haram-halal, dan tidak melihat makna abadi dari ibadat Yahudi di kenisah. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah kaum hellenis, Stefanus, Filipus dan para diakon.
Ketegangan internal ini meledak dalam sebuah pertemuan yang dikenal sebagai konsili Yerusalem (49-50 M). Ada tiga hal yang memperlihatkan adanya ketegangan ini:
Konsili ini dipimpin oleh Yakobus. Seharusnya oleh Petrus.
Kelompok konservatif yang dikenal dengan kelompok bersunat, secara terus terang menentang Petrus yang oleh tradisi dianggap sebagai Paus Pertama.
Solusi yang dihasilkan lebih bersifat praktis dan kompromi serta tidak didasarkan pada ajaran yang pasti.
b. Ketegangan eksternal
Ketegangan internal dalam kelompok orang Kristen itu, membuat Kaisar Roma saat itu, yaitu Kaisar Klaudius, menitahkan untuk mengusir orang-orang Yahudi dari kota Roma. Orang-orang Kristen saat itu juga dikenal oleh banyak orang Roma sebagai kelompok yang menjalankan praktek tahayul. Akibatnya, mereka menjadi orang yang dibenci. Puncaknya adalah penangkapan orang-orang Kristen pada zaman Kaisar Nero. Menurut catatan sejarah, orang Kristen dituduh telah membakar kota Roma pada tanggal 16 Juli 64, dan menebar benih kebencian pada sesama manusia. Sejak itulah, dimulai rangkaian penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Mari kita lihat lebih detail lagi.
b.1. Roma Lautan Api
Kaisar Nero mulai menerapkan sikap bermusuhan terhadap orang Kristen karena Kristen dianggap sebagai tahayul. Nero menuduh orang Kristen sebagai pelaku pembakaran kota Roma. Orang Kristen dipandangnya sebagai kaum misanthropia (kelompok yang membenci manusia). Kristen dipandang sebagai kelompok yang eksklusif dan dianggap bertentangan dengan orang-orang Romawi.
b.2. Motif Permusuhan terhadap Orang Kristen
Ada beberapa motif yang membuat orang Kristen dimusuhi saat itu:
Motif Politis:
- Orang Kristen dicurigai sebagai kelompok yang anti-Roma dan hendak memberontak terhadap otoritas negara.
- Orang Kristen menolak kultus penyembahan terhadap dewa-dewi nasional Romawi.
- Agama Kristen dipandang sebagai agama baru yang aneh. Orang Kristen dikatakan sebagai kaum yang tidak sah (Non Licet esse vos). Oleh karenanya, Kristen dipandang sebagai relligio illicita (agama yang tidak sah dan perlu dilarang demi hukum).
- Orang Kristen jarang memperlihatkan dirinya sebagai warga negara Roma yang tulen. Mereka tidak mau mempersembahkan kurban sajian kepada Kaisar.
- Orang Kristen tidak mau mengakui Kaisar Roma sebagai pimpinan tertinggi agama. Bagi orang Kristen, penolakan terhadap kultus kekaisaran merupakan konsekuensi dari iman mereka. Dengan kata lain, mereka sudah mulai membedakan antara agama dan negara.
Motif non politis:
- Orang Kristen dituduh sebagai orang yang kejam oleh orang Non-Kristen saat itu. Seorang tokoh Roma yang bernama Minucius Felice, pernah menyuarakan bahwa orang Kristen membunuh orok yang baru lahir (Sacramentum infanticidii et pabulum inde). Legenda ini muncul karena adanya kesalahpahaman perihal ekaristi.
- Orang Kristen dituduh berperilaku tidak senonoh dalam liturgi dan disingkiri karena tidak mau membuang kesepian di panti-panti hiburan.
- Orang Kristen telah dituduh menghina Allah Tanah Air dan ateis.
II. 3. Katakombe
Katakombe adalah kuburan orang Kristen yang terletak di bawah tanah. Katakombe tak pernah berperan sebagai tempat tinggal dan tak menjadi tempat kultus peribadatan. Keberadaan kuburan di bawah tanah ini memang sudah diketahui oleh para prajurit Roma.
Ada sejumlah ketentuan umum yang mengatur hal-ihkwal pemakaman.
Pertama, “ius sepulcri”, yaitu bahwa semua orang, baik itu orang merdeka maupun para hamba, memiliki hak untuk dimakamkan.
Kedua, “sepultura extramurana”. Artinya adalah bahwa kuburan harus terletak di luar tembok kota. Dengan kata lain, orang tidak dapat dimakamkan atau dikremasi di dalam kota. Karena itu, kuburan orang kristen ini dibuat di luar kota. Maka, katakombe-katakombe ini dapat ditemukan sepanjang jalan menuju kota Roma.
II.4 Kaisar-Kaisar Pemenggal Kekristenan
a. Kaisar Nero (54-68 M)
Kaisar ini adalah kaisar yang pertama kali melakukan pembunuhan secara besar-besaran bagi umat Kristiani. Pada tahun 64 M, terjadi kebakaran besar di kota Roma yang menghancurkan 10 dari 14 perkampungan penduduk. Tanpa bukti yang kuat, Nero menuduh orang Kristen-lah yang membakar perkampungan itu. Tujuan Nero menuduh orang Kristen ialah agar penduduk Roma semakin membenci orang Kristen dan ia mendapat legitimasi dari senat dan penduduk Roma untuk menganiaya dan menghukum orang-orang Kristen. Akhirnya, Nero melakukan pembunuhan secara besar-besaran kepada orang Kristen dan itu disaksikan oleh penduduk Roma. Berdasarkan tradisi, dua rasul Agung Kristen, yaitu Petrus dan Paulus, menjadi martir pada zaman kaisar Nero ini.
b. Kaisar Domitianus (81-96 M)
Kaisar ini adalah seorang yang gila hormat sekaligus kejam. Ia ingin disembah sebagai Dominus et Deus. Bagi orang-orang non Kristen, perintah itu tidaklah menjadi masalah. Namun, bagi orang Kristen, perintah ini sama saja mengingkari iman kristiani.
c. Kaisar Trajanus (98-117 M)
Kaisar ini adalah seorang yang hati-hati dalam memerintah kekaisaran. Ia dikenal sebagai kaisar yang tidak mau bertindak gegabah. Ia memiliki kepekaan hati untuk melindungi segenap rakyatnya tanpa membedakan agama dan kepercayaan. Namun, sayangnya, ia tetap mementingkan kepentingan negara di atas segala-galanya. Mengenai sikapnya terhatap orang Kristen, ia mengeluarkan tiga perintah yang dikenal dengan nama “Reskrip Trajanus”. Adapun isi dari Reskrip Trajanus itu adalah:
Orang Kristen janganlah dicari.
Kalau ada yang ditangkap, ia harus dihukum. Namun, kalau ia mau menyangkal kekristenannya, maka ia harus dibebaskan.
Dakwaan anonim janganlah diperhatikan.
d. Marcus Aurelius (161-180 M)
Orang ini sebenarnya cakap dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Namun, rasa kemanusiaan yang tinggi itu diletakkan di bawah kepentingan jabatan. Ia menjadi orang yang sangat kejam dalam membunuh orang-orang Kristen. Pada zamannya, martir yang sangat terkenal adalah St. Polycarpus.
e. Kaisar Decius (249-251 M)
Pada tahun 250 M, ia mewajibkan semua penduduk kekaisaran Roma untuk mempersembahkan kurban kepada dewa. Mereka yang tidak mentaati perintah ini, akan dihukum mati. Alasan dikeluarkannya kewajiban ini adalah bahwa kaisar ingin melihat loyalitas semua penduduk Romawi kepada kaisar. Pada zaman ini, banyak orang Kristen yang menjadi murtad. Ada dua cara pemurtadan orang Kristen agar ia dapat terhindar dari hukuman mati, yaitu sacrificati dan Libellatici. Sacrificati adalah kewajiban ikut mempersembahkan kurban kepada dewa di hadapan publik umum. Libellatici adalah membeli surat keterangan yang menyatakan bahwa dirinya bukan orang Kristen.
f. Kaisar Diocletianus (284-305 M)
Pada awalnya, kaisar ini tidak mempedulikan kehidupan beragama. Dia sendiri merasa kagum dengan orang Kristen yang tahan uji. Namun, desakan dari senat kafir dan sahabat-sahabatnya yang juga kafir, pikirannya berubah dan ia memutuskan untuk menganiaya orang Kristen. Diocletianus mulai mengadakan penganiayaan pada tahun 303 M atas desakan kuat dari Galerius. Wujud penganiayaan itu adalah membongkar tempat ibadah, membakar kitab suci, dan mengejar para imam serta awam yang untuk kemudian dianiaya dan dibunuh. Ia melakukan penganiayaan besar-besaran kepada orang Kristen untuk memperoleh simpati dari penduduk Romawi. Baginya, penganiayaan kepada orang Kristen merupakan tradisi yang harus diteruskan sebab nenek moyangnya juga selalu menganiaya orang Kristen.
Kesimpulan penolakan pemerintahan Romawi terhadap orang Kristen:
Kalau pada awal mulanya penganiayaan Kristen didasari oleh sikap orang Kristen yang tidak mau menyembah kaisar dan dewa Romawi, tidak mau berpesta bersama, dan ibadatnya tersembunyi, maka dalam perkembangan selanjutnya, agama Kristen juga dituduh sebagai pembawa bencana banjir, kelaparan, dan adanya ketidakharmonisan di dalam pemerintahan Romawi.
II.5. Metamorfosis Kekristenan di Kekaisaran Romawi
a. Konstantinus Agung, Kaisar yang bertobat
Pada tahun 305 M, Diocletianus turun dari tahta. Wilayahnya dikuasai oleh Galerius. Ketika Galerius memerintah, ia mengeluarkan sebuah perintah yang berbunyi bahwa orang Kristen berhak memperoleh kebebasan asalkan mereka mau mendoakan bagi keselamatan Kaisar dan Negara. Namun, di lain pihak, Galerius juga masih mengadakan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen, terutama orang-orang Kristen yang berada di wilayah timur kekaisaran.
Kemudian, dalam perkembangannya, secara politis, wilayah kekaisaran Romawi terpecah menjadi dua, yaitu wilayah barat dan wilayah timur. Wilayah barat dikuasai oleh Constantinus Chlorus, sedangkan wilayah timur dikuasai oleh Maxentius (mungkin dia ini pengganti Galerius). Saat Constantinus Chlorus wafat, tahtanya diambil alih oleh anaknya, yaitu Constantinus Agung. Pada zaman Constantinus Agung inilah, kekaisaran Roma dapat kembali bersatu lagi karena ia berhasil menumbangkan kekuasaan kekaisaran di wilayah Timur.
Ketika Constantinus Agung menjadi penguasa tunggal di kekaisaran Romawi, ia mulai menghentikan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Ada tiga hal yang mempengaruhi dirinya memutuskan untuk menghentikan penganiayaan ini, yaitu:
1. Ibunya sendiri, St. Helena, adalah seorang pengikut Kristus yang saleh.
2. Setiap dalam pertempuran melawan musuh-musuhnya, ia selalu mengalami kemenangan. Kemenangan ini dipahaminya karena berkat dari tanda salib yang selalu ia pakai dalam setiap pertempuran.
3. Ia melihat bahwa kehidupan rohani bangsa Roma semakin mundur. Dari situ, ia menyimpulkan bahwa agama kafir yang selama ini dipakai sebagai dasar kerohanian negara sudah tidak cocok lagi. Ia memutuskan untuk mengganti nilai-nilai kekafiran itu dengan nilai-nilai yang ditawarkan oleh Gereja. Ia melihat orang Kristen tetap tabah menghadapi berbagai macam penganiayaan. Orang Kristen memiliki vitalitas hidup dan rasa solidaritas yang tinggi.
b. Segi Positif dan Negatif Pertobatan Kaisar
Selama masa pemerintahan Constantinus Agung, banyak hal yang menguntungkan Gereja tetapi juga sekaligus merugikan Gereja. Beberapa hal yang menguntungkan Gereja:
1. Pada tahun 313 M, Constantinus Agung mengeluarkan suatu keputusan yang sangat terkenal, yaitu Edik Milano. Edik Milano ini berisikan tentang keputusan Kaisar untuk memberikan kebebasan beribadat kepada semua agama yang ada di wilayah kekaisaran Romawi. Itu berarti bahwa Kristen yang juga menjadi salah satu agama di kekaisaran Romawi, memperoleh imbasnya. Kristen menjadi agama resmi dan dengan begitu, orang-orang Kristen memiliki kebebasan lagi untuk beribadat.
2. Gereja mendapatkan perlindungan dari Kaisar untuk bebas dari berbagai macam bentuk penganiayaan dan diskriminasi. Gereja berubah dari minoritas terhina menjadi badan hukum yang terhormat.
3. Pembangunan Gereja terjadi secara megah dan besar-besaran.
4. Struktur peribadatan mendapatkan bentuk yang lebih mereiah karena ada unsur-unsur upacara kekaisaran yang dimasukkan dalam liturgi Gereja.
5. Jumlah penganut Kristen semakin berkembang pesat.
6. Para pejabat Gereja mendapatkan jaminan sosial dari Kaisar.
Namun, di lain sisi, pertobatan Kaisar juga membawa dampak negatif bagi kekristenan. Dampak negatif itu adalah:
1. Kaisar meneruskan kebiasaan tradisional sebagai pontifex maximus.
2. Muncul Caesaropapisme: Kaisar berperan sebagai Pemimpin pemerintah dan Pemimpin Gereja.
3. Gereja menjadi kendaraan politik Kaisar.
4. Kaisar menganiaya kelompok kafir dengan mengatasnamakan sebagai pembela Gereja.
5. Kaisar mencampuri urusan intern Gereja, termasuk dalam hal ajaran iman Gereja.
Perkembangan Gereja ini mencapai suatu bentuk yang tertinggi ketika Kaisar Theodosius I menetapkan agama Kristen sebagai satu-satunya agama yang diperbolehkan di kekaisaran Roma (380 M). Hal ini disebabkan karena rasa tanggung jawab Kaisar terhadap agama Kristen yang sudah dijadikan kambing hitam oleh para pendahulunya. Akibatnya, agama kafir menjadi semakin tersingkir di wilayah kekaisaran Romawi.
c. Interpretasi Pertobatan Kaisar
Proses pembalikan nasib kekristenan itu, pada hakikatnya telah mengizinkan Gereja untuk bergerak bebas baik secara intern (melakukan tata peribadatan dan pendidikan iman dengan bebas) maupun secara ekstern (Gereja semakin memiliki pengaruh dalam masyarakat). Tetapi, pada waktu yang sama, kekristenan kehilangan kejernihan dan ketegangan asalinya. Kristianisme cenderung menjadi suatu agama dari lingkungan dan hirarki Gereja malah terkait dengan penguasa politik.
II.6. Bidaah-Bidaah besar dalam kekristenan awal
1. Donatisme
Ajaran ini berasal dari Donatus dari Afrika Utara. Menurut ajaran ini, sakramen yang diterimakan oleh orang-orang yang berdosa tidaklah sah. Sah tidaknya sakramen tergantung pada tingkah laku yang menerimakan sakramen.
Seharusnya: Menurut Gereja, sah dan tidaknya sebuah sakramen tidak tergantung pada tingkah laku orang yang menerimakan karena yang memberi sakramen adalah Yesus Kristus itu sendiri.
2. Pelagianisme
Ajaran ini berasal dari seorang yang bernama Pelagius, seorang imam dari Irlandia. Ia mengajarkan bahwa manusia dapat mencapai keselamatan tanpa adanya rahmat Allah. Ia juga mengajarkan ajaran Iustificatio (pembenaran) yang artinya bahwa dosa manusia itu tidak hilang tapai manusia dibenarkan. Ajaran Pelagius ini ditentang oleh Agustinus.
Seharusnya: Manusia tetap akan selalu memerlukan rahmat Allah dalam menjalankan usahanya sebab tanpa rahmat Allah, manusia bukanlah apa-apa. Mengenai ajaran Iustificatio, Agustinus menegaskan bahwa manusia tidak hanya dibenarkan, tapi memang dosanya sungguh-sungguh telah dihapuskan oleh Allah.
3. Marcionisme
Ajaran ini berasal dari Marcion, seorang wiraswasta kaya raya yang berasal dari Sinope Pontus. Ia menafsirkan Kitab Suci menurut kehendaknya sendiri, tanpa memperhitungkan pendapat para ahli. Pendapatnya adalah sebagai berikut:
Injil adalah Injil Cinta Kasih. Perjanjian Lama harus ditolak karena Allah Perjanjian Lama itu Kejam dan Bodoh.
Seharusnya: PL dan PB adalah satu kesatuan dan sama-sama mewartakan Allah yang sama, yaitu Allah yang mengasihi umat-Nya.
Yesus Kristus datang untuk mengalahkan Allah dalam Perjanjian Lama.
Seharusnya: Yesus Kristus datang untuk menggenapi apa yang dikatakan oleh Allah tentang keselamatan abadi manusia.
Menurutnya, PL adalah Kitab Hukum, dan PB adalah Kitab Cinta Kasih.
Seharusnya: PL dan PB sama-sama berbicara tentang cinta kasih.
Kitab yang benar hanyalah 10 surat Paulus dan Injil Lukas.
Seharusnya: Semua Kitab yang ada dalam Kitab Suci (72 Kitab) adalah benar adanya karena memang ditulis dalam ilham Roh Kudus.
4. Montanisme
Montanus adalah seorang imam kafir yang bertobat menjadi Kristen. Ia merasa mendapat ilham dari Roh Kudus bahwa hari kiamat sudah dekat, maka ia diutus untuk mempersiapkan umat dengan berpuasa, dan mencegah hubungan seks. Menurutnya, Gereja perlu mengadakan pembaharuan karena Gereja mengalami kemunduran. Ajaran Montanisme ini bersifat kenabian (profetis) dan menerapkan ajaran moral yang kuat.
5. Arianisme
Ajaran ini dicetuskan oleh Arius, seorang diakon dari Alexandria, Mesir. Ajaran Arianisme adalah Sub-ordinatisme. Ajaran ini menyatakan bahwa Yesus Kristus itu tidak kekal tetapi merupakan ciptaan sehingga kedudukan-Nya lebih rendah dari Allah. Ajaran ini ditentang oleh Athanasius. Menurutnya, Yesus Kristus adalah Sang Sabda yang bukan dijadikan, tetapi dilahirkan dan Sang Sabda itu sehakikat dengan Bapa.
II.7. Konsili-Konsili Ekumenis dalam Gereja Katolik
Konsili Ekumenis adalah Konsili yang melibatkan semua aliran kekristenan yang ada di muka bumi ini. Dengan kata lain, konsili ekumenis tidak hanya melibatkan pihak Gereja Katolik saja, tapi juga aliran Kristen non Katolik. Ada 4 konsili Ekumenis yang pertama:
a. Konsili Nicea I
Konsili ini diadakan di kota Nicea pada tahun 325 M. Diprakarsai oleh Konstantinus Agung. Konsili ini diadakan untuk menanggapi ajaran sesat yang muncul, yaitu Marcionisme dan Arianisme. Konsili ini menyetujui apa yang menjadi pendapat Athanasius tentang hakikat Yesus Kristus.
b. Konsili Konstantinopel
Konsili ini diadakan pada tahun 381 M. Diprakarsai oleh Kaisar Theodosius. Masalah pokoknya: adanya pertentangan pendapat tentang Roh Kudus, yaitu mengenai apakah Roh Kudus itu sehakekat dengan Allah atau tidak. Konsili ini melawan pendapat Arianisme dan Semin Arianisme yang menyebutkan bahwa Roh Kudus adalah ciptaan Putra. Konsili ini berpendapat bahwa Roh Kudus itu juga sehakekat dengan Allah. Tokoh-tokoh dalam konsili ini: Basilius, Gregorius dari Nazianze, dan Gregorius dari Nisa. Ketiga tokoh ini sering disebut Bapa Kapadosia.
c. Konsili Efesus
Konsili ini diadakan di Efesus tahun 431 M. Konsili ini diadakan untuk membahas dan melawan ajaran Nestorius. Nestorius mengatakan bahwa kodrat Yesus adalah manusia. Ia menolak Maria sebagai utusan Tuhan. Konsili ini mengajarkan bahwa Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh Manusia. Maria adalah sungguh-sungguh utusan Allah. Tokoh dalam konsili ini adalah Cyrillus.
d. Konsili Kalsedon
Konsili ini diadakan di Kalsedon pada tahun 451 M. Konsili ini diadakan untuk melawan ajaran Monofysitisme. Konsili ini juga menegaskan hal yang sama dengan Konsili Efesus bahwa Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh Manusia.
BAB I: GEREJA SEBAGAI UMAT ALLAH
Ada seorang turis dari Eropa yang sedang mencari-cari gereja di suatu kota kecil pada hari minggu. Ia ingin sekali mengikuti misa kudus pada hari itu. Ia sudah mencarinya di berbagai sudut kota, namun ia belum juga menemukannya. Ia berpikir bahwa di kota yang seluruh penduduknya adalah Katolik itu, ia seharusnya akan cukup mudah untuk menemukan sebuah gereja.
Setelah lelah seharian mencarinya, akhirnya ia bertanya kepada seorang anak yang kebetulan dijumpainya di jalan. Maka, ia pun bertanya, “Nak, tahukah kamu dimanakah gereja yang terdekat di daerah sini?”
Anak itu pun menjawab, “Gereja?Oh....iya, ada Pak. Kalau malam ini, ada di rumah Pak Paijo. Lalu, besok malam, ada di rumah Tante Painem. Tapi, kalau lusa, saya tidak tahu karena belum ditentukan.”
Turis itu pun terbengong-bengong mendengar jawaban anak itu. Ia berpikir kenapa gereja dapat berpindah-pindah setiap harinya. Tetapi, karena hari sudah mulai malam, ia tidak mau menanyakan hal itu lebih lanjut kepada si anak itu. Turis itu hanya meminta ditunjukkan gereja yang ada di rumah Pak Paijo itu. Anak itu menyanggupinya.
Ketika mereka tiba di sana, banyak orang telah berkumpul. Semua orang terlihat sangat sederhana dan rumah Pak Paijo juga sangat sederhana. Namun, meskipun demikian, suasananya sangat akrab. Turis itu disalami dan diterima dengan penuh rasa persaudaraan. Upacara ibadat pun sagat meriah dan sungguh menyapa dengan penuh keakraban. Yang pasti, itu sangat mengesankan bagi si turis.
Secara tiba-tiba pula, Turis itu merasa bahwa ini sungguh suatu Gereja. Gereja yang dia cari selama ini sebenarnya hanyalah gedung/bangunan fisik semata saja. Pengalaman itu telah membuatnya menemukan suatu Gereja yang hidup. Di dalam Gereja seperti ini, ia merasa Tuhan sungguh hadir. Ia juga sungguh merasakan Roh Tuhan berhembus di dalam persekutuan itu.
I.1. APA ITU GEREJA? (Definisi Pokok Gereja)
Ilustrasi cerita di atas akan membantu kita untuk sampai pada pemahaman yang sesungguhnya dari Gereja. Selama ini, banyak orang yang salah kaprah dalam mengartikan gereja. Mereka cenderung masih mengartikan Gereja secara sempit sebagai bangunan fisik tempat ibadah umat Kristen. Padahal, kalau kita menarik mundur ke dalam perjalanan rohani para pendahulu kita, definisi Gereja sudah mulai tampak dan diperdalam dengan segala macam kejadian historis di dalamnya.
Sebelum kita melihat definisi Gereja secara mendalam, mari kita lihat pengertian Gereja secara etimologis. Istilah “Gereja” berasal dari bahasa Portugis, yaitu “igreja”. Kata itu sepadan artinya dengan kata Ecclesia (Latin) dan hklhsia (Yunani). Ketiga arti kata itu menunjuk pada pengertian “perkumpulan.”
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Gereja adalah Tubuh Kristus, kelompok umat yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penebus. Dalam 1 Kor 12:27, Rasul Paulus mengungkapkan tentang hal itu:
“Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.”
Pernyataan Santo Paulus ini menyiratkan makna sebuah nilai kesatuan yang ada di antara orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pengikut Kristus. Meskipun memiliki fungsi yang berbeda-beda (tangan, kaki, kepala, dll), mereka tetaplah menjadi bagian dari sebuah kesatuan, yaitu Tubuh Kristus sendiri. Kesatuan sebagai tubuh Kristus inilah yang menunjuk pada bentuk persekutuan yang menjiwai Gereja.
Yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah, siapa sajakah yang dapat menjadi bagian dari kesatuan dari Tubuh Kristus itu sendiri? Hanya ada satu jawaban yang memecahkan persoalan itu. Yang dikatakan sebagai anggota dari Tubuh Kristus (Gereja) adalah mereka yang sudah menerima sakramen baptis. Dengan kata lain, setiap orang Kristen yang telah dibaptis adalah anggota Gereja, dan Gereja adalah seluruh tubuh yang terdiri dari orang-orang Kristen di seluruh dunia tanpa memperhatikan perbedaan denominasi.[1]
Jika demikian, kita dapat mengambil satu kesimpulan tentang pengertian Gereja. Gereja adalah persekutuan orang-orang yang mengimani Kristus sebagai Tuhan dan Penebus, yang dipersatukan dalam satu baptisan yang sama, dan dengan sehati serta sebudi, melakukan tindakan seturut dengan tindakan Yesus Kristus sendiri.
Mari, kita bedah unsur-unsur pengertian yang ada di dalamnya:
a. Gereja sebagai persekutuan orang yang mengimani Kristus.
Maksudnya:
Gereja adalah sebuah kesatuan yang jelas dan terarah. Gereja bukanlah perkumpulan layaknya perkumpulan ibu-ibu arisan yang kerapkali hanya membicarakan seputar perhiasan, gosip artis, ataupun suami orang. Gereja juga tidak menunjuk pada pertemuan bersama (rapat) Bapak-Bapak RT yang hanya sekedar membicarakan masalah insidental (bersifat sementara) tanpa pernah tahu visi dasar gerakan itu. Gereja memiliki sebuah keterarahan yang jelas, yaitu Yesus Kristus sendiri. Gereja juga memiliki status keanggotaan yang jelas, yaitu iman kepada Yesus Kristus. Karenanya, tidak setiap persekutuan/perkumpulan orang-orang dapat dikatakan sebagai Gereja.
b. Para anggota Gereja ditandai dan disatukan dengan baptisan yang sama.
Maksudnya:
Pertama, Keanggotaan Gereja ditandai dengan sakramen baptis. Keanggotaan ini harus ditampakkan oleh mereka dengan mengambil bagian secara aktif dalam ibadat Gereja, hidup Sakramental, dan sejauh mungkin ikut serta dalam pelayanan bagi kaum muda, orang jompo, dan orang-orang menderita. Ini berarti setiap orang yang dibaptis akan secara otomatis menjadi anggota Gereja dan baptisan menjadi pintu masuk pertama dan utama bagi seseorang untuk bisa terlibat dalam kegiatan Gereja.
Kedua, Baptisan macam apa yang mempersatukan mereka? Baptisan yang mempersatukan orang Kristen adalah baptisan yang menggunakan air sebagai materianya, serta formanya yang berbunyi: “Aku membaptis kamu dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus”. Dengan kata lain, formanya harus mengandung keyakinan akan Tritunggal Mahakudus.
Ketiga, Orang-orang yang dibaptis adalah umat pilihan Allah. Karenanya, Gereja dapat juga dikatakan sebagai Umat Allah. Istilah Umat Allah ini dipakai sejak dalam Perjanjian Lama, tepatnya saat peristiwa Keluaran. Pengertian Umat Allah ini memiliki ciri khas sebagai berikut:
1. Umat Allah merupakan suatu pilihan dan panggilan dari Allah sendiri.
2. Umat Allah dipanggil dan dipilih untuk Allah dan untuk misi tertentu, yaitu menyelamatkan dunia.
3. Hubungan antara Allah dan umat-Nya ditandai dengan perjanjian.
4. Umat Allah selalu berada dalam perjalanan/peziarahan.
c. Para anggota Gereja melakukan tindakan Yesus dengan sehati dan sebudi.
Maksudnya:
Gereja menjadi persekutuan yang ingin berjalan bersama dunia. Gereja tidak hidup dalam suatu ruang hampa udara, melainkan hidup dan hadir di dalam dunia nyata. Karenanya, Gereja juga harus mengupayakan tindakan yang nyata di tengah dunia ini. Tindakan nyata yang dimaksud bukanlah sembarang tindakan yang tak bernilai. Akan tetapi, tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang serupa dengan tindakan Yesus Kristus sendiri. Tindakan Yesus itu sendiri adalah tindakan yang mengarah pada nilai-nilai kehidupan dan senantiasa memperjuangkannya.
Selanjutnya, jika kita melihat penjelasan tentang definisi itu, kita dapat menyimpulkan bahwa ada berbagai aspek dalam Gereja. Tiga diantaranya, yaitu:
Aspek komunal (Komunitas/jemaat). Hal ini karena Gereja sendiri merupakan sebuah persekutuan murid-murid Kristus.
Aspek Institusi. Hal ini karena Gereja memerlukan sarana-sarana organisatoris dan struktural untuk memenuhi tugas nyatanya di tengah masyarakat.
STOP PRESS:
Tahukah kamu? Gereja Katolik adalah organisasi yang memiliki kerapian administrasi terbaik di seluruh dunia (nomor satu).
Aspek pengutusan. Hal ini karena Gereja diutus oleh Yesus untuk mewartakan Injil dan Kerajaan Allah di dunia ini.
Dasar biblis yang menunjukkan seluruh definisi Gereja itu, adalah Kisah Para Rasul 2:41-47. Dalam perikop itu, unsur-unsur penting yang dapat dilihat:
Baptisan menjadi syarat utama keanggotaan persekutuan. (Lih. Kis 2:41)
Aspek Komunal/kebersamaan menjadi hal yang diutamakan (Lih. Kis 2:42)
Tindakan mereka adalah tindakan yang mengarah pada kehidupan. (Lih. Kis 2:44-46).
Persekutuan itu ada untuk membawa keselamatan bagi dunia. (Lih. Kis 2:47).
I.2. GEREJA UNIVERSAL DAN GEREJA LOKAL
Uraian pada sub bab sebelumnya telah memperlihatkan kepada kita pengertian yang paling mendasar tentang Gereja Kristus. Secara mendasar, sesungguhnya semua pengikut Kristus adalah satu Gereja. Tapi, dalam kenyataannya saat ini, kita melihat ada begitu banyak “jenis” Gereja dan berbagai kekhasannya masing-masing di dunia ini. Apakah kenyataan itu akan mengurangi makna “kesatuan” Gereja sebagai Tubuh Kristus sendiri? Atau justru memperkuat makna kesatuan Gereja Kristus yang terlihat dalam keanekaragaman di dalamnya? Sub bab ini akan mencoba menguraikan jawaban atas pertanyaan itu secara ringkas.
A. Sejarah yang Mengubah
Karena keadaan sejarah, Gereja Kristus yang satu itu mulai mengalami banyak perubahan, termasuk pemisahan-pemisahan yang disebabkan oleh kontroversi teologis dan konflik politis. Pemisahan itu melahirkan denominasi-denominasi (komunitas-komunitas) dalam Gereja itu sendiri. Penjelasan detail tentang perjalanan sejarah itu, akan kita lihat nanti di Bab II. Namun, secara ringkas, proses pemisahan itu dapat dilihat dalam diagram berikut:
GEREJA KRISTUS
GEREJA BARAT
GEREJA TIMUR
Gereja Katolik
Gereja Protestan
Gereja Ortodoks
Peristiwa pemisahan yang terjadi antara Gereja Barat dan Gereja Timur disebut oleh sejarah sebagai peristiwa SKISMA TIMUR. Pemisahan ini terjadi pada tahun 1054. Skisma itu sendiri dipahami sebagai “perpecahan karena bukan perbedaan ajaran iman. Tapi, lebih menunjuk pada kemungkinan perbedaan antara gaya/tata cara beriman. Pemisahan ini adalah peristiwa besar dalam sejarah Gereja Kristus. Kemudian, Gereja Barat mengalami pemisahan lagi, yaitu tepatnya pada zaman Martin Luther. Gereja Barat terpisah menjadi Gereja Katolik dan Protestan. Pemisahan ini digerakkan oleh Martin Luther yang terkenal dengan 95 dalilnya. Peristiwa itu terjadi pada abad 1517. Pemisahan Gereja Barat nampaknya menjadi peristiwa yang dipicu oleh adanya perbedaan ajaran. Ada begitu banyak perbedaan yang dapat dilihat. Namun, untuk kali ini, ada baiknya bila kita mengetahui tiga perbedaan nyata yang dapat dilihat:
GEREJA KATOLIK
GEREJA PROTESTAN
1. Mengakui Tradisi
1. Tidak mengakui Tradisi.
2. Mengakui adanya Magisterium (kuasa mengajar)
2. Tidak mengenal dan tidak mengakui Magisterium.
3. Menerima Paus sebagai pemimpin tertinggi.
3. Tidak mengakui Paus sebagai pemimpin tertinggi.
B. Gereja Universal dan Gereja Lokal
Uraian di atas cukup memberikan pemahaman kepada kita bahwa adanya banyak “Gereja” lebih disebabkan oleh terjadinya berbagai denominasi yang berbeda-beda dalam Gereja. Pada bagian ini, kita akan membahas lebih lanjut pemahaman tentang Gereja Lokal. Apakah berbagai macam “jenis” Gereja itu dapat dikatakan sebagai gereja lokal?
Gereja lokal yang dimaksud bukanlah gereja-gereja yang terpecah berdasarkan denominasi atau ritus liturgi. Ungkapan “Gereja Lokal” hanya menunjuk pada pemisahan Gereja berdasarkan daerah atau wilayah. Hal itu sudah ditunjukkan oleh Paulus dalam Perjanjian Baru. Dalam suratnya, ia selalu menyapa jemaatnya berdasarkan asal-usul tempatnya, misalkan umat di Korintus, jemaat Tesalonika, dll. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat penjelasan di bawah ini.
Gereja universal adalah Tubuh Kristus semesta dan mencakup semua jemaat Kristen. Maka, Gereja universal sungguh merupakan suatu persekutuan atau kumpulan dari banyak Gereja Lokal yang tersebar di seluruh dunia. Gereja lokal sendiri dipahami sebagai Tubuh Kristus di suatu tempat tertentu. Contoh nyata dari Gereja Lokal adalah Paroki dan Keuskupan. Dalam Kitab Hukum Kanonik (Hukum Gereja), Gereja lokal disebut sebagai “Gereja Partikular”.
Paroki adalah wujud paling kecil dan paling dasariah dari Gereja lokal. Sedangkan, keuskupan adalah sebuah persekutuan dari paroki-paroki dan umat-umat dalam wilayah geografis tertentu.
C. Bagaimana Gereja Katolik melihat pemisahan-pemisahan itu?
Bagi gereja Katolik, Gereja dipandang sebagai sesuatu yang universal dan sekaligus lokal. Kesatuan internal masing-masing gereja-gereja lokal didukung oleh iman yang sama kepada Yesus Kristus, Sakramen-sakramen (terutama Ekaristi), pelayanan dari anggota-angota yang berbeda, dan kehadiran Roh Kudus yang aktif mempersatukan. Sedangkan, kesatuan eksternal gereja-gereja lokal dengan gereja Universal didukung oleh faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, dan diteguhkan dengan kesatuan para Uskup yang membentuk sebuah dewan. Kesatuan para Uskup ini diperkuat oleh kesatuan mereka dengan Paus sebagai uskup Roma.
I.2. TUJUAN ADANYA GEREJA (TUGAS GEREJA)
Setelah kita mengetahui definisi Gereja secara gamblang, tahap kedua dari pembicaraan bab ini adalah mengetahui tujuan keberadaan Gereja di dunia ini. Namun, sebelum kita melangkah pada tahapan itu, ada baiknya bila kita singgah sebentar pada pengertian mendasar tentang Gereja Katolik.
I.2.a. Gereja Katolik
Gereja Katolik adalah komunitas partikular orang-orang Kristen dalam tubuh Kristus yang universal, yang kesatuannya dengan Kristus berakar dalam Roh Kudus, iman kepada Kristus, sakramen-sakramen, komitmen yang sama terhadap hidup Kristen, dan dalam pelayanan Petrus yang dilaksanakan oleh Uskup Roma (Paus).
Ciri khas utama yang membedakan Gereja Katolik dengan Gereja-Gereja Kristus lainnya adalah adanya pengakuan akan kewibawaan dan kepemimpinan Paus sebagai penerus sah tahta Petrus. Hanya orang Katolik saja yang mengakui Paus sebagai pimpinannya. Pengakuan akan kewibawaan Paus itu didasarkan pada perintah Kristus kepada Petrus yang tertuang dalam Mat 16:18-19 (Cat: Silahkan dilihat sendiri dalam Alkitab).
Untuk memahami Gereja Katolik lebih lanjut, kita juga harus mendalami makna agama Katolik itu sendiri. Agama Katolik merupakan kenyataan yang kaya akan beragam segi, yang meliputi tradisi Kristen, cara hidup, dan persekutuan iman. Kata “Katolik” itu sendiri berasal dari kata Yunani, kaqolikoj, yang berarti “universal” dan “dalam keseluruhan”. Dari pengertian dasar itu, kita dapat melihat bahwa pada dasarnya, orang-orang Katolik harus mau membuka diri untuk terlibat dan bergaul dengan siapa saja. Banyak orang salah kaprah dengan menyebutkan bahwa lawan dari katolik adalah protestan. Lawan dari Katolik bukanlah protestan, tapi Sekte. Apa itu Sekte? Sekte adalah bagian dari Gereja yang memisahkan diri dari Gereja Universal dan dunia. Sebuah sekte biasanya menutup diri dari kelompok lain untuk mempertahankan jati diri dan kemurnian dirinya. Kontak dengan orang yang ada di luar sekte, dipandang sebagai hal yang menajiskan/hal yang kotor.
I.2.b. Tujuan Gereja
Gereja hadir di dunia ini karena Yesus mengutus para murid untuk mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Gereja dipanggil dan diutus oleh Bapa untuk melaksanakan karya Putra di dalam dan melalui kuasa Roh Kudus. Pengutusan menjadi tujuan umum Gereja. Dalam Mat 28:19-20, kita akan melihat jelas pengutusan yang Yesus buat untuk para rasulnya. Perintah Yesus itu juga berlaku sebagai sebuah perintah perutusan bagi Gereja saat ini.
Lebih jauh lagi, yang dipanggil di sini bukan hanya para kaum biarawan/biarawati atau (calon) imam saja. Tapi, semua umat awam memiliki panggilan dari Allah ini. Tiap orang dipanggil oleh Allah untuk menghayati profesinya masing-masing. Apapun profesinya, yang terpenting adalah bahwa melalui pekerjaannya, tiap orang dapat memuliakan Allah dan mewartakan Kerajaan Allah di dunia ini.
Tugas umum Gereja itu, secara rinci dapat dibagi ke dalam empat tugas yang lebih spesifik lagi, yaitu:
1. Leiturgia
Leiturgia adalah segala hal yang berhubungan dengan ibadat. Arti kata “Leiturgia” sendiri adalah “Kerja bakti rakyat”. Dari sana, kita dapat melihat bahwa bidang tugas ini memainkan peranan besar dalam membangun hidup persekutuan.
Contoh: pelayanan-pelayanan ibadat dan sakramen.
2. Kerygma
Kerygma ini ingin mengeksplisitkan intisari ajaran iman Gereja. Kerygma berarti pewartaan kepada sesama. Apa yang diwartakan? Kabar gembira tentang Penderitaan, wafat, dan kebangkitan Kristus.
Contoh: Mengajar agama, katekese, khotbah.
3. Marturia
Marturia hampir mirip dengan Kerygma. Bedanya, Marturia lebih menunjuk pada tindakan nyata, sedangkan Kerygma menunjuk pada pewartaan dalam bahasa verbal. Bidang ini menuntut setiap pengikut Kristus untuk bertindak seturut Kristus. Marturia menjadi bukti bahwa Gereja adalah tanda yang kelihatan dari Kehadiran Allah di dunia ini.
Contoh: Menolak Korupsi
4. Diakonia
Bidang Diakonia menunjuk pada gerakan pelayanan yang nyata. Pelayanan yang dilakukan adalah pelayanan sosial terhadap orang-orang yang miskin dan menderita.
Contoh: Mengunjungi Panti Jompo dan memberikan sumbangan.
I.3. CIRI-CIRI GEREJA KRISTUS
Ciri-ciri Gereja Kristus ini dapat kita lihat bersama dalam rumusan syahadat iman yang biasa kita ucapkan pada perayaan ekaristi setiap hari minggu. Syahadat iman itu biasa disebut sebagai syahadat Nicea Konstantinopel.
Ciri-ciri Gereja Kristus ini, dirumuskan secara definitif dalam Konsili Konstantinopel tahun 381 M. Lalu, ciri-ciri itu dimunculkan kembali dan memperoleh penegasan yang besar manakala menghadapi munculnya gereja-gereja kristen gadungan pada era Reformasi Protestan. Setidaknya, para apologet kita (seperti, Yustinus Martir dan Aristhides), menggunakan keempat ciri ini untuk melawan gereja gadungan itu.
Ada empat ciri Gereja Kristus:
a. Satu
Maksudnya: Gereja menjadi perwujudan kehendak Tunggal Allah yang terlihat secara nyata dalam perjalanan kehidupan satu Tuhan Yesus Kristus.
Secara biblis, perjalanan Gereja dibina oleh satu Allah yang terlihat dalam kehidupan Yesus Kristus dalam karya satu Roh Kudus. Kesatuan ini dibuktikan lebih lanjut oleh satu injil, satu baptisan, dan satu jabatan yang dikaruniakan kepada Petrus.
b. Kudus
Maksudnya: Gereja menjadi perwujudan kehendak Allah yang Mahakudus dan Gereja berusaha membawa manusia ke dalam kekudusan.
Pengertian “Gereja yang kudus” ini dapat diartikan secara khusus lagi, yaitu:
- Arti obyektif
Yaitu, bahwa Gereja menjadi Tanda dan sarana keselamatan serta kekudusan Allah di dunia ini.
- Arti subyektif
Yaitu, bahwa Gereja tak akan pernah kehabisan tanda kekudusan dan orang-orang kudusnya.
Dengan kekudusan Allah itu pula, Allah menjamin Gereja untuk tidak kehilangan unsur kekudusannya kendati Gereja itu berdosa. Gereja bisa berdosa karena para pengikutnya adalah orang-orang berdosa. Dosa-dosa itu akan dihapuskan secara nyata dalam sakramen pengakuan dosa (sakramen tobat).
c. Katolik
Maksudnya adalah bahwa Gereja merupakan perwujudan kehendak Allah yang ingin menyelamatkan SEMUA dan seluruh pribadi manusia di dunia ini.
Makna kekatolikan ini terletak pada pengertian bahwa keselamatan yang ditawarkan Gereja, terbuka untuk semua orang karena penebusan Yesus Kristus juga ditujukan untuk semua orang. Karena itulah, Gereja Kristus sangatlah mengakui dan menjunjung tinggi pluralisme.
d. Apostolik
Maksudnya adalah bahwa Gereja bertumpu pada ajaran para rasul dan mengikuti iman mereka. Gereja didirikan oleh Yesus Kristus dalam para rasul yang menjadi dasarnya. Sifat keapostolikan ini diperlihatkan dari adanya keyakinan bahwa apa yang diajarkan Gereja saat ini adalah SAMA dengan apa yang diajarkan oleh para rasul Kristus dulu.
Dengan demikian, materi bab satu sudah selesai.
Syukur kepada Allah.
Untuk Direnungkan:
KETIKA PINTU KEBAHAGIAAN KITA TERTUTUP , DAN PINTU LAIN SUDAH TERBUKA; SERINGKALI KITA HANYA TERUS MEMANDANG PINTU YANG TERTUTUP ITU SEMENTARA KITA LUPA BAHWA ADA PINTU LAIN YANG TELAH TERBUKA”
[1] Pembahasan tentang denominasi akan dibahas di sub bagian berikutnya.
Setelah lelah seharian mencarinya, akhirnya ia bertanya kepada seorang anak yang kebetulan dijumpainya di jalan. Maka, ia pun bertanya, “Nak, tahukah kamu dimanakah gereja yang terdekat di daerah sini?”
Anak itu pun menjawab, “Gereja?Oh....iya, ada Pak. Kalau malam ini, ada di rumah Pak Paijo. Lalu, besok malam, ada di rumah Tante Painem. Tapi, kalau lusa, saya tidak tahu karena belum ditentukan.”
Turis itu pun terbengong-bengong mendengar jawaban anak itu. Ia berpikir kenapa gereja dapat berpindah-pindah setiap harinya. Tetapi, karena hari sudah mulai malam, ia tidak mau menanyakan hal itu lebih lanjut kepada si anak itu. Turis itu hanya meminta ditunjukkan gereja yang ada di rumah Pak Paijo itu. Anak itu menyanggupinya.
Ketika mereka tiba di sana, banyak orang telah berkumpul. Semua orang terlihat sangat sederhana dan rumah Pak Paijo juga sangat sederhana. Namun, meskipun demikian, suasananya sangat akrab. Turis itu disalami dan diterima dengan penuh rasa persaudaraan. Upacara ibadat pun sagat meriah dan sungguh menyapa dengan penuh keakraban. Yang pasti, itu sangat mengesankan bagi si turis.
Secara tiba-tiba pula, Turis itu merasa bahwa ini sungguh suatu Gereja. Gereja yang dia cari selama ini sebenarnya hanyalah gedung/bangunan fisik semata saja. Pengalaman itu telah membuatnya menemukan suatu Gereja yang hidup. Di dalam Gereja seperti ini, ia merasa Tuhan sungguh hadir. Ia juga sungguh merasakan Roh Tuhan berhembus di dalam persekutuan itu.
I.1. APA ITU GEREJA? (Definisi Pokok Gereja)
Ilustrasi cerita di atas akan membantu kita untuk sampai pada pemahaman yang sesungguhnya dari Gereja. Selama ini, banyak orang yang salah kaprah dalam mengartikan gereja. Mereka cenderung masih mengartikan Gereja secara sempit sebagai bangunan fisik tempat ibadah umat Kristen. Padahal, kalau kita menarik mundur ke dalam perjalanan rohani para pendahulu kita, definisi Gereja sudah mulai tampak dan diperdalam dengan segala macam kejadian historis di dalamnya.
Sebelum kita melihat definisi Gereja secara mendalam, mari kita lihat pengertian Gereja secara etimologis. Istilah “Gereja” berasal dari bahasa Portugis, yaitu “igreja”. Kata itu sepadan artinya dengan kata Ecclesia (Latin) dan hklhsia (Yunani). Ketiga arti kata itu menunjuk pada pengertian “perkumpulan.”
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Gereja adalah Tubuh Kristus, kelompok umat yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penebus. Dalam 1 Kor 12:27, Rasul Paulus mengungkapkan tentang hal itu:
“Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.”
Pernyataan Santo Paulus ini menyiratkan makna sebuah nilai kesatuan yang ada di antara orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pengikut Kristus. Meskipun memiliki fungsi yang berbeda-beda (tangan, kaki, kepala, dll), mereka tetaplah menjadi bagian dari sebuah kesatuan, yaitu Tubuh Kristus sendiri. Kesatuan sebagai tubuh Kristus inilah yang menunjuk pada bentuk persekutuan yang menjiwai Gereja.
Yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah, siapa sajakah yang dapat menjadi bagian dari kesatuan dari Tubuh Kristus itu sendiri? Hanya ada satu jawaban yang memecahkan persoalan itu. Yang dikatakan sebagai anggota dari Tubuh Kristus (Gereja) adalah mereka yang sudah menerima sakramen baptis. Dengan kata lain, setiap orang Kristen yang telah dibaptis adalah anggota Gereja, dan Gereja adalah seluruh tubuh yang terdiri dari orang-orang Kristen di seluruh dunia tanpa memperhatikan perbedaan denominasi.[1]
Jika demikian, kita dapat mengambil satu kesimpulan tentang pengertian Gereja. Gereja adalah persekutuan orang-orang yang mengimani Kristus sebagai Tuhan dan Penebus, yang dipersatukan dalam satu baptisan yang sama, dan dengan sehati serta sebudi, melakukan tindakan seturut dengan tindakan Yesus Kristus sendiri.
Mari, kita bedah unsur-unsur pengertian yang ada di dalamnya:
a. Gereja sebagai persekutuan orang yang mengimani Kristus.
Maksudnya:
Gereja adalah sebuah kesatuan yang jelas dan terarah. Gereja bukanlah perkumpulan layaknya perkumpulan ibu-ibu arisan yang kerapkali hanya membicarakan seputar perhiasan, gosip artis, ataupun suami orang. Gereja juga tidak menunjuk pada pertemuan bersama (rapat) Bapak-Bapak RT yang hanya sekedar membicarakan masalah insidental (bersifat sementara) tanpa pernah tahu visi dasar gerakan itu. Gereja memiliki sebuah keterarahan yang jelas, yaitu Yesus Kristus sendiri. Gereja juga memiliki status keanggotaan yang jelas, yaitu iman kepada Yesus Kristus. Karenanya, tidak setiap persekutuan/perkumpulan orang-orang dapat dikatakan sebagai Gereja.
b. Para anggota Gereja ditandai dan disatukan dengan baptisan yang sama.
Maksudnya:
Pertama, Keanggotaan Gereja ditandai dengan sakramen baptis. Keanggotaan ini harus ditampakkan oleh mereka dengan mengambil bagian secara aktif dalam ibadat Gereja, hidup Sakramental, dan sejauh mungkin ikut serta dalam pelayanan bagi kaum muda, orang jompo, dan orang-orang menderita. Ini berarti setiap orang yang dibaptis akan secara otomatis menjadi anggota Gereja dan baptisan menjadi pintu masuk pertama dan utama bagi seseorang untuk bisa terlibat dalam kegiatan Gereja.
Kedua, Baptisan macam apa yang mempersatukan mereka? Baptisan yang mempersatukan orang Kristen adalah baptisan yang menggunakan air sebagai materianya, serta formanya yang berbunyi: “Aku membaptis kamu dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus”. Dengan kata lain, formanya harus mengandung keyakinan akan Tritunggal Mahakudus.
Ketiga, Orang-orang yang dibaptis adalah umat pilihan Allah. Karenanya, Gereja dapat juga dikatakan sebagai Umat Allah. Istilah Umat Allah ini dipakai sejak dalam Perjanjian Lama, tepatnya saat peristiwa Keluaran. Pengertian Umat Allah ini memiliki ciri khas sebagai berikut:
1. Umat Allah merupakan suatu pilihan dan panggilan dari Allah sendiri.
2. Umat Allah dipanggil dan dipilih untuk Allah dan untuk misi tertentu, yaitu menyelamatkan dunia.
3. Hubungan antara Allah dan umat-Nya ditandai dengan perjanjian.
4. Umat Allah selalu berada dalam perjalanan/peziarahan.
c. Para anggota Gereja melakukan tindakan Yesus dengan sehati dan sebudi.
Maksudnya:
Gereja menjadi persekutuan yang ingin berjalan bersama dunia. Gereja tidak hidup dalam suatu ruang hampa udara, melainkan hidup dan hadir di dalam dunia nyata. Karenanya, Gereja juga harus mengupayakan tindakan yang nyata di tengah dunia ini. Tindakan nyata yang dimaksud bukanlah sembarang tindakan yang tak bernilai. Akan tetapi, tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang serupa dengan tindakan Yesus Kristus sendiri. Tindakan Yesus itu sendiri adalah tindakan yang mengarah pada nilai-nilai kehidupan dan senantiasa memperjuangkannya.
Selanjutnya, jika kita melihat penjelasan tentang definisi itu, kita dapat menyimpulkan bahwa ada berbagai aspek dalam Gereja. Tiga diantaranya, yaitu:
Aspek komunal (Komunitas/jemaat). Hal ini karena Gereja sendiri merupakan sebuah persekutuan murid-murid Kristus.
Aspek Institusi. Hal ini karena Gereja memerlukan sarana-sarana organisatoris dan struktural untuk memenuhi tugas nyatanya di tengah masyarakat.
STOP PRESS:
Tahukah kamu? Gereja Katolik adalah organisasi yang memiliki kerapian administrasi terbaik di seluruh dunia (nomor satu).
Aspek pengutusan. Hal ini karena Gereja diutus oleh Yesus untuk mewartakan Injil dan Kerajaan Allah di dunia ini.
Dasar biblis yang menunjukkan seluruh definisi Gereja itu, adalah Kisah Para Rasul 2:41-47. Dalam perikop itu, unsur-unsur penting yang dapat dilihat:
Baptisan menjadi syarat utama keanggotaan persekutuan. (Lih. Kis 2:41)
Aspek Komunal/kebersamaan menjadi hal yang diutamakan (Lih. Kis 2:42)
Tindakan mereka adalah tindakan yang mengarah pada kehidupan. (Lih. Kis 2:44-46).
Persekutuan itu ada untuk membawa keselamatan bagi dunia. (Lih. Kis 2:47).
I.2. GEREJA UNIVERSAL DAN GEREJA LOKAL
Uraian pada sub bab sebelumnya telah memperlihatkan kepada kita pengertian yang paling mendasar tentang Gereja Kristus. Secara mendasar, sesungguhnya semua pengikut Kristus adalah satu Gereja. Tapi, dalam kenyataannya saat ini, kita melihat ada begitu banyak “jenis” Gereja dan berbagai kekhasannya masing-masing di dunia ini. Apakah kenyataan itu akan mengurangi makna “kesatuan” Gereja sebagai Tubuh Kristus sendiri? Atau justru memperkuat makna kesatuan Gereja Kristus yang terlihat dalam keanekaragaman di dalamnya? Sub bab ini akan mencoba menguraikan jawaban atas pertanyaan itu secara ringkas.
A. Sejarah yang Mengubah
Karena keadaan sejarah, Gereja Kristus yang satu itu mulai mengalami banyak perubahan, termasuk pemisahan-pemisahan yang disebabkan oleh kontroversi teologis dan konflik politis. Pemisahan itu melahirkan denominasi-denominasi (komunitas-komunitas) dalam Gereja itu sendiri. Penjelasan detail tentang perjalanan sejarah itu, akan kita lihat nanti di Bab II. Namun, secara ringkas, proses pemisahan itu dapat dilihat dalam diagram berikut:
GEREJA KRISTUS
GEREJA BARAT
GEREJA TIMUR
Gereja Katolik
Gereja Protestan
Gereja Ortodoks
Peristiwa pemisahan yang terjadi antara Gereja Barat dan Gereja Timur disebut oleh sejarah sebagai peristiwa SKISMA TIMUR. Pemisahan ini terjadi pada tahun 1054. Skisma itu sendiri dipahami sebagai “perpecahan karena bukan perbedaan ajaran iman. Tapi, lebih menunjuk pada kemungkinan perbedaan antara gaya/tata cara beriman. Pemisahan ini adalah peristiwa besar dalam sejarah Gereja Kristus. Kemudian, Gereja Barat mengalami pemisahan lagi, yaitu tepatnya pada zaman Martin Luther. Gereja Barat terpisah menjadi Gereja Katolik dan Protestan. Pemisahan ini digerakkan oleh Martin Luther yang terkenal dengan 95 dalilnya. Peristiwa itu terjadi pada abad 1517. Pemisahan Gereja Barat nampaknya menjadi peristiwa yang dipicu oleh adanya perbedaan ajaran. Ada begitu banyak perbedaan yang dapat dilihat. Namun, untuk kali ini, ada baiknya bila kita mengetahui tiga perbedaan nyata yang dapat dilihat:
GEREJA KATOLIK
GEREJA PROTESTAN
1. Mengakui Tradisi
1. Tidak mengakui Tradisi.
2. Mengakui adanya Magisterium (kuasa mengajar)
2. Tidak mengenal dan tidak mengakui Magisterium.
3. Menerima Paus sebagai pemimpin tertinggi.
3. Tidak mengakui Paus sebagai pemimpin tertinggi.
B. Gereja Universal dan Gereja Lokal
Uraian di atas cukup memberikan pemahaman kepada kita bahwa adanya banyak “Gereja” lebih disebabkan oleh terjadinya berbagai denominasi yang berbeda-beda dalam Gereja. Pada bagian ini, kita akan membahas lebih lanjut pemahaman tentang Gereja Lokal. Apakah berbagai macam “jenis” Gereja itu dapat dikatakan sebagai gereja lokal?
Gereja lokal yang dimaksud bukanlah gereja-gereja yang terpecah berdasarkan denominasi atau ritus liturgi. Ungkapan “Gereja Lokal” hanya menunjuk pada pemisahan Gereja berdasarkan daerah atau wilayah. Hal itu sudah ditunjukkan oleh Paulus dalam Perjanjian Baru. Dalam suratnya, ia selalu menyapa jemaatnya berdasarkan asal-usul tempatnya, misalkan umat di Korintus, jemaat Tesalonika, dll. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat penjelasan di bawah ini.
Gereja universal adalah Tubuh Kristus semesta dan mencakup semua jemaat Kristen. Maka, Gereja universal sungguh merupakan suatu persekutuan atau kumpulan dari banyak Gereja Lokal yang tersebar di seluruh dunia. Gereja lokal sendiri dipahami sebagai Tubuh Kristus di suatu tempat tertentu. Contoh nyata dari Gereja Lokal adalah Paroki dan Keuskupan. Dalam Kitab Hukum Kanonik (Hukum Gereja), Gereja lokal disebut sebagai “Gereja Partikular”.
Paroki adalah wujud paling kecil dan paling dasariah dari Gereja lokal. Sedangkan, keuskupan adalah sebuah persekutuan dari paroki-paroki dan umat-umat dalam wilayah geografis tertentu.
C. Bagaimana Gereja Katolik melihat pemisahan-pemisahan itu?
Bagi gereja Katolik, Gereja dipandang sebagai sesuatu yang universal dan sekaligus lokal. Kesatuan internal masing-masing gereja-gereja lokal didukung oleh iman yang sama kepada Yesus Kristus, Sakramen-sakramen (terutama Ekaristi), pelayanan dari anggota-angota yang berbeda, dan kehadiran Roh Kudus yang aktif mempersatukan. Sedangkan, kesatuan eksternal gereja-gereja lokal dengan gereja Universal didukung oleh faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, dan diteguhkan dengan kesatuan para Uskup yang membentuk sebuah dewan. Kesatuan para Uskup ini diperkuat oleh kesatuan mereka dengan Paus sebagai uskup Roma.
I.2. TUJUAN ADANYA GEREJA (TUGAS GEREJA)
Setelah kita mengetahui definisi Gereja secara gamblang, tahap kedua dari pembicaraan bab ini adalah mengetahui tujuan keberadaan Gereja di dunia ini. Namun, sebelum kita melangkah pada tahapan itu, ada baiknya bila kita singgah sebentar pada pengertian mendasar tentang Gereja Katolik.
I.2.a. Gereja Katolik
Gereja Katolik adalah komunitas partikular orang-orang Kristen dalam tubuh Kristus yang universal, yang kesatuannya dengan Kristus berakar dalam Roh Kudus, iman kepada Kristus, sakramen-sakramen, komitmen yang sama terhadap hidup Kristen, dan dalam pelayanan Petrus yang dilaksanakan oleh Uskup Roma (Paus).
Ciri khas utama yang membedakan Gereja Katolik dengan Gereja-Gereja Kristus lainnya adalah adanya pengakuan akan kewibawaan dan kepemimpinan Paus sebagai penerus sah tahta Petrus. Hanya orang Katolik saja yang mengakui Paus sebagai pimpinannya. Pengakuan akan kewibawaan Paus itu didasarkan pada perintah Kristus kepada Petrus yang tertuang dalam Mat 16:18-19 (Cat: Silahkan dilihat sendiri dalam Alkitab).
Untuk memahami Gereja Katolik lebih lanjut, kita juga harus mendalami makna agama Katolik itu sendiri. Agama Katolik merupakan kenyataan yang kaya akan beragam segi, yang meliputi tradisi Kristen, cara hidup, dan persekutuan iman. Kata “Katolik” itu sendiri berasal dari kata Yunani, kaqolikoj, yang berarti “universal” dan “dalam keseluruhan”. Dari pengertian dasar itu, kita dapat melihat bahwa pada dasarnya, orang-orang Katolik harus mau membuka diri untuk terlibat dan bergaul dengan siapa saja. Banyak orang salah kaprah dengan menyebutkan bahwa lawan dari katolik adalah protestan. Lawan dari Katolik bukanlah protestan, tapi Sekte. Apa itu Sekte? Sekte adalah bagian dari Gereja yang memisahkan diri dari Gereja Universal dan dunia. Sebuah sekte biasanya menutup diri dari kelompok lain untuk mempertahankan jati diri dan kemurnian dirinya. Kontak dengan orang yang ada di luar sekte, dipandang sebagai hal yang menajiskan/hal yang kotor.
I.2.b. Tujuan Gereja
Gereja hadir di dunia ini karena Yesus mengutus para murid untuk mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Gereja dipanggil dan diutus oleh Bapa untuk melaksanakan karya Putra di dalam dan melalui kuasa Roh Kudus. Pengutusan menjadi tujuan umum Gereja. Dalam Mat 28:19-20, kita akan melihat jelas pengutusan yang Yesus buat untuk para rasulnya. Perintah Yesus itu juga berlaku sebagai sebuah perintah perutusan bagi Gereja saat ini.
Lebih jauh lagi, yang dipanggil di sini bukan hanya para kaum biarawan/biarawati atau (calon) imam saja. Tapi, semua umat awam memiliki panggilan dari Allah ini. Tiap orang dipanggil oleh Allah untuk menghayati profesinya masing-masing. Apapun profesinya, yang terpenting adalah bahwa melalui pekerjaannya, tiap orang dapat memuliakan Allah dan mewartakan Kerajaan Allah di dunia ini.
Tugas umum Gereja itu, secara rinci dapat dibagi ke dalam empat tugas yang lebih spesifik lagi, yaitu:
1. Leiturgia
Leiturgia adalah segala hal yang berhubungan dengan ibadat. Arti kata “Leiturgia” sendiri adalah “Kerja bakti rakyat”. Dari sana, kita dapat melihat bahwa bidang tugas ini memainkan peranan besar dalam membangun hidup persekutuan.
Contoh: pelayanan-pelayanan ibadat dan sakramen.
2. Kerygma
Kerygma ini ingin mengeksplisitkan intisari ajaran iman Gereja. Kerygma berarti pewartaan kepada sesama. Apa yang diwartakan? Kabar gembira tentang Penderitaan, wafat, dan kebangkitan Kristus.
Contoh: Mengajar agama, katekese, khotbah.
3. Marturia
Marturia hampir mirip dengan Kerygma. Bedanya, Marturia lebih menunjuk pada tindakan nyata, sedangkan Kerygma menunjuk pada pewartaan dalam bahasa verbal. Bidang ini menuntut setiap pengikut Kristus untuk bertindak seturut Kristus. Marturia menjadi bukti bahwa Gereja adalah tanda yang kelihatan dari Kehadiran Allah di dunia ini.
Contoh: Menolak Korupsi
4. Diakonia
Bidang Diakonia menunjuk pada gerakan pelayanan yang nyata. Pelayanan yang dilakukan adalah pelayanan sosial terhadap orang-orang yang miskin dan menderita.
Contoh: Mengunjungi Panti Jompo dan memberikan sumbangan.
I.3. CIRI-CIRI GEREJA KRISTUS
Ciri-ciri Gereja Kristus ini dapat kita lihat bersama dalam rumusan syahadat iman yang biasa kita ucapkan pada perayaan ekaristi setiap hari minggu. Syahadat iman itu biasa disebut sebagai syahadat Nicea Konstantinopel.
Ciri-ciri Gereja Kristus ini, dirumuskan secara definitif dalam Konsili Konstantinopel tahun 381 M. Lalu, ciri-ciri itu dimunculkan kembali dan memperoleh penegasan yang besar manakala menghadapi munculnya gereja-gereja kristen gadungan pada era Reformasi Protestan. Setidaknya, para apologet kita (seperti, Yustinus Martir dan Aristhides), menggunakan keempat ciri ini untuk melawan gereja gadungan itu.
Ada empat ciri Gereja Kristus:
a. Satu
Maksudnya: Gereja menjadi perwujudan kehendak Tunggal Allah yang terlihat secara nyata dalam perjalanan kehidupan satu Tuhan Yesus Kristus.
Secara biblis, perjalanan Gereja dibina oleh satu Allah yang terlihat dalam kehidupan Yesus Kristus dalam karya satu Roh Kudus. Kesatuan ini dibuktikan lebih lanjut oleh satu injil, satu baptisan, dan satu jabatan yang dikaruniakan kepada Petrus.
b. Kudus
Maksudnya: Gereja menjadi perwujudan kehendak Allah yang Mahakudus dan Gereja berusaha membawa manusia ke dalam kekudusan.
Pengertian “Gereja yang kudus” ini dapat diartikan secara khusus lagi, yaitu:
- Arti obyektif
Yaitu, bahwa Gereja menjadi Tanda dan sarana keselamatan serta kekudusan Allah di dunia ini.
- Arti subyektif
Yaitu, bahwa Gereja tak akan pernah kehabisan tanda kekudusan dan orang-orang kudusnya.
Dengan kekudusan Allah itu pula, Allah menjamin Gereja untuk tidak kehilangan unsur kekudusannya kendati Gereja itu berdosa. Gereja bisa berdosa karena para pengikutnya adalah orang-orang berdosa. Dosa-dosa itu akan dihapuskan secara nyata dalam sakramen pengakuan dosa (sakramen tobat).
c. Katolik
Maksudnya adalah bahwa Gereja merupakan perwujudan kehendak Allah yang ingin menyelamatkan SEMUA dan seluruh pribadi manusia di dunia ini.
Makna kekatolikan ini terletak pada pengertian bahwa keselamatan yang ditawarkan Gereja, terbuka untuk semua orang karena penebusan Yesus Kristus juga ditujukan untuk semua orang. Karena itulah, Gereja Kristus sangatlah mengakui dan menjunjung tinggi pluralisme.
d. Apostolik
Maksudnya adalah bahwa Gereja bertumpu pada ajaran para rasul dan mengikuti iman mereka. Gereja didirikan oleh Yesus Kristus dalam para rasul yang menjadi dasarnya. Sifat keapostolikan ini diperlihatkan dari adanya keyakinan bahwa apa yang diajarkan Gereja saat ini adalah SAMA dengan apa yang diajarkan oleh para rasul Kristus dulu.
Dengan demikian, materi bab satu sudah selesai.
Syukur kepada Allah.
Untuk Direnungkan:
KETIKA PINTU KEBAHAGIAAN KITA TERTUTUP , DAN PINTU LAIN SUDAH TERBUKA; SERINGKALI KITA HANYA TERUS MEMANDANG PINTU YANG TERTUTUP ITU SEMENTARA KITA LUPA BAHWA ADA PINTU LAIN YANG TELAH TERBUKA”
[1] Pembahasan tentang denominasi akan dibahas di sub bagian berikutnya.
Langganan:
Postingan (Atom)