KISI-KISI UJIAN TENGAH SEMESTER SOSIOLOGI KELAS X
Bab I : SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN
a. Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
b. Sosiologi sebagai ilmu Pengetahuan
c. Sketsa Histori Sosiologi
d. Batasan pengertian Sosiologi menurut tiga tokoh besar Sosiologi
e. Teori-Teori Sosiologi
f. Konsep tentang realitas sosial
g. Fakta sosial, tindakan sosial, dan realitas sosial
Catatan: Materi tentang metode sosiologi tidak diujikan. Bahan ujian yang diambil dari bab I dalam buku cetak sosiologi adalah halaman 1-22.
Bab II : NILAI DAN NORMA SOSIAL
a. Pengertian Nilai Sosial menurut Young, Green, Spindler, Wood, Koentjaraningrat, Soerjono Soekanto.
b. Ciri-Ciri Nilai Sosial
c. Jenis-jenis Nilai Sosial berdasarkan bentuknya dan sumbernya.
d. Macam-macam Nilai sosial: Etika, Agama, Moral, Hukum
e. Pengertian Norma Sosial
f. Ciri-ciri Norma Sosial
g. 6 macam norma berdasarkan tingkat daya pengikatnya
h. Sanksi-sanksi pelanggaran norma dan nilai dalam masyarakat
Perhatian:
a. Sumber acuan untuk belajar adalah:
1. Buku Cetak Sosiologi kelas X
2. Catatan-catatan tambahan dalam blog saya: www.pintuajaibku.blogspot.com
Sabtu, 26 September 2009
Selasa, 11 Agustus 2009
Teori-Teori Dasar Sosiologi
TEORI-TEORI DASAR SOSIOLOGI
Jika kita merunut alur pemikiran ilmu Sosiologi, terlihat jelas sekali bahwa ada begitu banyak pemikiran para sosiolog yang mempengaruhi perkembangan sosiologi. Namun, dari banyaknya teori-teori itu, perlu rasanya bagi kita untuk mengenal terlebih dahulu 5 teori dasar Sosiologi yang menjadi tiang pancang bangunan ilmu sosiologi itu sendiri.
A. Teori Evolusi
- Premis-Premis (Pernyataan) Teori Evolusi:
1. Sebuah Masyarakat akan senantiasa mengalami perubahan.
2. Perubahan itu akan senantiasa bergerak maju dan tidak akan bergerak mundur.
3. Perubahan yang akan dilalui oleh setiap masyarakat, berjalan dalam tiga tahap:
- Tahap Teologis
Tahap Teologis adalah tahapan di mana masyarakat mencoba mencari penjelasan akan realitas alam dengan berdasarkan pada kekuatan adikodrati. Tahapan teologis memiliki tiga sub-tahapan, yaitu tahap animisme, politheisme, dan monotheisme.
Pada tahapan animisme, masyarakat memandang bahwa setiap benda itu berjiwa.
Pada tahapan politheisme, masyarakat percaya akan kekuatan banyak dewa.
Pada tahapan monotheisme, masyarakat percaya akan kekuatan satu Tuhan.
- Tahap Metafisis
Tahap Metafisis adalah tahapan di mana masyarakat mencoba mencari penjelasan akan realitas alam dengan berdasarkan ide-ide abstrak.
Pada tahapan metafisis ini, masyarakat selangkah lebih maju dibanding dengan mereka yang berada pada tahapan teologis. Pada tahapan ini, orang sudah mulai menggunakan jalan pemikiran yang logis untuk menemukan penyebab dari realitas alam yang ada.
Orang-orang pada tahapan ini, belum mampu membahasakan penyebab itu dengan bahasa yang jelas.
- Tahap Positivisme
Tahap positivism adalah tahapan di mana masyarakat mencoba mencari penjelasan akan realitas alam dengan berdasarkan pada ilmu-ilmu positif. Ini adalah tahapan yang paling modern karena sudah berdasarkan pada alur pemikiran yang logis rasional dan pemikiran itu mampu dibahasakan dengan bahasa-bahasa yang jelas.
4. Perubahan itu akan senantiasa berjalan secara beruntun dan bertahap.
B. Teori Strukturalis Fungsional
- Premis-premis Teori Struktural Fungsional:
1. Setiap masyarakat tersusun atas sistem-sistem kecil.
2. Sistem-sistem yang memiliki daya guna bagi masyarakat, akan bertahan dengan sendirinya di dalam masyarakat itu. Sementara, sistem-sistem yang tidak memiliki daya guna, akan hilang dengan dirinya sendiri.
3. Hilangnya sistem-sistem yang tidak berguna itu juga didukung oleh adanya kekuatan eksternal yang mempengaruhinya.
C. Teori Konflik
- Premis-premis:
1. Setiap orang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri.
2. Masing-masing orang akan berusaha mewujudnyatakan kepentingannya itu.
3. Cara yang digunakan untuk mewujudkan kepentingan itu adalah dengan menggunakan Power (kekuatan). Orang akan sebisa mungkin menguasai orang lain terlebih dahulu agar ia dapat mewujudnyatakan kepentingan pribadinya itu. Hanya dengan menguasai orang lain itulah, ia dapat mencapai kepentingan pribadinya itu. Di sinilah, saling terjadi konflik untuk menguasai.
Catatan: Teori Konflik muncul sebagai kritik atas Teori Struktural Fungsional. Apa yang dikritik teori konflik? Yang dikritik teori konflik adalah pemahaman teori structural fungsional terhadap konsensus. Teori structural fungsional menganggap bahwa consensus (nilai-nilai bersama) adalah sesuatu yang mengikat sebuah masyarakat. Tapi, teori konflik mengkritik bahwa yang mengikat sebuah masyarakat bukanlah consensus itu. Yang mengikat sebuah masyarakat adalah penguasa (si pemilik kekuasaan). Konsensus hanyalah alat buatan si penguasa itu sendiri.
D. Teori Interaksionisme Simbolik
- Premis-Premis:
1. Dalam setiap masyarakat, pasti terdapat individu-individu yang saling berinteraksi satu sama lain.
2. Interaksi itu dilakukan dengan menggunakan symbol-simbol. Simbol-simbol itu berupa bahasa, budaya, tradisi, tanda-tanda, dan sebagainya.
3. Makna-makna symbol yang digunakan dalam proses interaksi itu adalah makna yang sudah disepakati bersama dalam masyarakat itu.
E. Teori Pertukaran Sosial
- Premis-Premis:
1. Setiap individu dalam masyarakat pasti akan melakukan tindakan sosial.
2. Tindakan sosial yang dilakukan pasti memiliki motif. Setiap orang akan selalu memiliki alasan terpendam dalam melakukan tindakan tersembunyi itu.
Jika kita merunut alur pemikiran ilmu Sosiologi, terlihat jelas sekali bahwa ada begitu banyak pemikiran para sosiolog yang mempengaruhi perkembangan sosiologi. Namun, dari banyaknya teori-teori itu, perlu rasanya bagi kita untuk mengenal terlebih dahulu 5 teori dasar Sosiologi yang menjadi tiang pancang bangunan ilmu sosiologi itu sendiri.
A. Teori Evolusi
- Premis-Premis (Pernyataan) Teori Evolusi:
1. Sebuah Masyarakat akan senantiasa mengalami perubahan.
2. Perubahan itu akan senantiasa bergerak maju dan tidak akan bergerak mundur.
3. Perubahan yang akan dilalui oleh setiap masyarakat, berjalan dalam tiga tahap:
- Tahap Teologis
Tahap Teologis adalah tahapan di mana masyarakat mencoba mencari penjelasan akan realitas alam dengan berdasarkan pada kekuatan adikodrati. Tahapan teologis memiliki tiga sub-tahapan, yaitu tahap animisme, politheisme, dan monotheisme.
Pada tahapan animisme, masyarakat memandang bahwa setiap benda itu berjiwa.
Pada tahapan politheisme, masyarakat percaya akan kekuatan banyak dewa.
Pada tahapan monotheisme, masyarakat percaya akan kekuatan satu Tuhan.
- Tahap Metafisis
Tahap Metafisis adalah tahapan di mana masyarakat mencoba mencari penjelasan akan realitas alam dengan berdasarkan ide-ide abstrak.
Pada tahapan metafisis ini, masyarakat selangkah lebih maju dibanding dengan mereka yang berada pada tahapan teologis. Pada tahapan ini, orang sudah mulai menggunakan jalan pemikiran yang logis untuk menemukan penyebab dari realitas alam yang ada.
Orang-orang pada tahapan ini, belum mampu membahasakan penyebab itu dengan bahasa yang jelas.
- Tahap Positivisme
Tahap positivism adalah tahapan di mana masyarakat mencoba mencari penjelasan akan realitas alam dengan berdasarkan pada ilmu-ilmu positif. Ini adalah tahapan yang paling modern karena sudah berdasarkan pada alur pemikiran yang logis rasional dan pemikiran itu mampu dibahasakan dengan bahasa-bahasa yang jelas.
4. Perubahan itu akan senantiasa berjalan secara beruntun dan bertahap.
B. Teori Strukturalis Fungsional
- Premis-premis Teori Struktural Fungsional:
1. Setiap masyarakat tersusun atas sistem-sistem kecil.
2. Sistem-sistem yang memiliki daya guna bagi masyarakat, akan bertahan dengan sendirinya di dalam masyarakat itu. Sementara, sistem-sistem yang tidak memiliki daya guna, akan hilang dengan dirinya sendiri.
3. Hilangnya sistem-sistem yang tidak berguna itu juga didukung oleh adanya kekuatan eksternal yang mempengaruhinya.
C. Teori Konflik
- Premis-premis:
1. Setiap orang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri.
2. Masing-masing orang akan berusaha mewujudnyatakan kepentingannya itu.
3. Cara yang digunakan untuk mewujudkan kepentingan itu adalah dengan menggunakan Power (kekuatan). Orang akan sebisa mungkin menguasai orang lain terlebih dahulu agar ia dapat mewujudnyatakan kepentingan pribadinya itu. Hanya dengan menguasai orang lain itulah, ia dapat mencapai kepentingan pribadinya itu. Di sinilah, saling terjadi konflik untuk menguasai.
Catatan: Teori Konflik muncul sebagai kritik atas Teori Struktural Fungsional. Apa yang dikritik teori konflik? Yang dikritik teori konflik adalah pemahaman teori structural fungsional terhadap konsensus. Teori structural fungsional menganggap bahwa consensus (nilai-nilai bersama) adalah sesuatu yang mengikat sebuah masyarakat. Tapi, teori konflik mengkritik bahwa yang mengikat sebuah masyarakat bukanlah consensus itu. Yang mengikat sebuah masyarakat adalah penguasa (si pemilik kekuasaan). Konsensus hanyalah alat buatan si penguasa itu sendiri.
D. Teori Interaksionisme Simbolik
- Premis-Premis:
1. Dalam setiap masyarakat, pasti terdapat individu-individu yang saling berinteraksi satu sama lain.
2. Interaksi itu dilakukan dengan menggunakan symbol-simbol. Simbol-simbol itu berupa bahasa, budaya, tradisi, tanda-tanda, dan sebagainya.
3. Makna-makna symbol yang digunakan dalam proses interaksi itu adalah makna yang sudah disepakati bersama dalam masyarakat itu.
E. Teori Pertukaran Sosial
- Premis-Premis:
1. Setiap individu dalam masyarakat pasti akan melakukan tindakan sosial.
2. Tindakan sosial yang dilakukan pasti memiliki motif. Setiap orang akan selalu memiliki alasan terpendam dalam melakukan tindakan tersembunyi itu.
Senin, 10 Agustus 2009
Sketsa Historis Sosiologi
Catatan Tambahan Pelajaran Sosiologi
SKETSA HISTORIS SOSIOLOGI
(Merunut Jejak-Jejak Kelahiran Sosiologi)
A. Perspektif (Cara Pandang) Umum
Sebelum melihat sketsa historis kemunculan Sosiologi, cara pandang umum yang harus menjadi titik tolak kita adalah bahwa sebuah teori ilmu pengetahuan senantiasa lahir untuk menanggapi realitas sosial yang tengah terjadi saat itu. Setting sosial menjadi latar belakang munculnya setiap teori ilmu pengetahuan. Realitas masyarakat yang sedang terjadi menjadi titik tolak yang membuat para ahli menelurkan ide-ide brilliant tentang dunia ini. Biasanya, sebuah teori baru yang muncul adalah suatu tanggapan atas realitas negative yang dimunculkan dari adanya penyimpangan-penyimpangan yang ada dalam dunia ini. Dengan kata lain, teori-teori ilmu pengetahuan lahir dengan menawarkan solusi (jalan keluar) bagi realitas-realitas negative tersebut.
B. Kekuatan-Kekuatan Sosial yang Berpengaruh
Sebagai salah satu ilmu positif, Sosiologi juga lahir sebagai tanggapan atas situasi negative yang ada pada masyarakat saat itu. Situasi masyarakat yang terjadi saat itu, muncul karena adanya kekuatan-kekuatan sosial yang tumbuh pada masyarakat. Berikut adalah kekuatan-kekuatan sosial itu:
1. Revolusi Politik
Revolusi Politik terjadi di Perancis pada tahun 1789. Revolusi Perancis merupakan gerakan rakyat yang lahir untuk melawan Absolutisme Raja Louis XIV. Kala itu, sistem pemerintahan Teokrasi yang menempatkan seorang Raja sebagai (wakil) Tuhan di dunia, cukup menjadi lahan subur bagi tumbuhnya absolutism di Perancis. Raja memiliki kekuasaan yang tak terbantahkan oleh siapapun. Kala itu, setiap orang yang melawan titah Raja akan dianggap sebagai pemberontak Tuhan dan dijebloskan ke dalam Penjara Bastille. Karenanya, Penjara Bastille dianggap sebagai symbol Absolutisme Louis XIV.
Karena rakyat tidak tahan lagi pada situasi ketidakadilan yang dimunculkan raja, maka mereka melakukan revolusi dengan menyerang Penjara Bastille pada tahun 1789. Dengan semboyan Liberte, Egalite, dan Fraternite, kekuasaan Raja Louis XIV berhasil dijatuhkan. Pecahnya revolusi Perancis berperan besar bagi perkembangan teori sosiologi. Dampak revolusi ini terhadap masyarakat sangatlah dahsyat dan banyak perubahan positif yang dihasilkan. Tetapi, yang menjadi sasaran perhatian kebanyakan ahli bukanlah dampak positif itu, tapi dampak negative yang muncul. Revolusi Perancis telah memunculkan Chaos dan tindakan anarkis rakyat. Situasi masyarakat menjadi tidak stabil dan keamanan tidak lagi menjadi sesuatu hal yang dapat dijamin.
Atas dasar kemunculan dampak negative itulah, teori sosiologi muncul untuk menanggapinya dan mencari solusi atas masalah sosial tersebut.
2. Revolusi Industri
Revolusi Industri terjadi di Inggris. Revolusi Industri bukanlah kejadian tunggal, tetapi merupakan puncak dari perubahan sistem kehidupan dunia Barat yang tadinya dari corak sistem pertanian, menjadi sistem industry. Kala itu, banyak orang yang meninggalkan usaha pertanian dan beralih ke pekerjaan industry yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik yang sedang berkembang. Para pemilik modal mulai enggan menggunakan tenaga manusia. Mereka lebih suka menggunakan mesin-mesin industry yang dirasa lebih efektif. Banyak pekerja yang harus kehilangan pekerjaan sehingga angka pengangguran semakin meningkat. Sistem ekonomi yang dipakai saat itu adalah sistem ekonomi Kapitalis. Di dalam sistem ini, pemilik modal (kapital) adalah pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan yang besar. Sementara, sebagian besar orang yang merupakan para pekerja, harus menerima upah rendah yang tidak setimpal dengan jumlah jam kerja mereka.
Dampak yang muncul dan dirasakan dari adanya sistem ekonomi Kapitalis adalah: 1) Perkembangan ekonomi antara di kota dan di desa menjadi tidak merata. Sebab, banyak tenaga-tenaga produktif desa yang lebih senang memilih untuk pergi bekerja di kota yang merupakan pusat industry. Akibatnya, lahan di desa tidak terolah dan tidak menghasilkan hasil produksi yang mencukupi. 2) Terjadi kesenjangan antara desa dan kota. Desa menjadi semakin miskin, sementara kota menjadi semakin kaya karena industry hanya dipusatkan di kota besar.
Situasi semacam itu melahirkan reaksi penentangan dari rakyat kecil, terutama kaum buruh. Reaksi itu mengkristal dalam ledakan gerakan buruh dan berbagai gerakan radikal yang pastinya menimbulkan pergolakan sosial dahsyat dalam masyarakat. Sosiologi lahir untuk menanggapi pergolakan negative yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Sosiologi yang muncul lebih bersifat terapan.
3. Sosialisme
Sosialisme merupakan Gerakan yang muncul sebagai bentuk protes rakyat kecil atas sistem kapitalisme / sistem industri yang memiskinkan mereka. Sosialisme menjadi faham yang ingin menghancurkan sistem kapitalis ini. Bagi faham sosialisme, prinsip utama yang dipegang adalah bahwa tidak ada kepemilikan pribadi. Semua sumber daya dimiliki oleh seluruh rakyat secara bersama-sama.
Ternyata gerakan sosialisme ini menjadi sebuah revolusi sosial yang tidak memberikan jalan keluar bagi permasalahan yang dimunculkan oleh sistem ekonomi kapitalis. Sosialisme cenderung memunculkan ketidakadilan sosial di dalam masyarakat dan mensituasikan masyarakat menjadi malas. Karenanya, sosiologi lahir dan berkembang lebih sebagai reaksi untuk menentang sosialisme ini.
4. Feminisme
Situasi yang mendominasi separuh waktu dunia ini adalah bahwa wanita selalu ditempatkan sebagai makhluk nomor dua di bawah kaum laki-laki. Ide agama yang menunjukkan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki, menjadi dasar yang menguatkan pandangan bahwa laki-laki adalah kaum yang berada di atas kaum wanita. Pandangan itu yang juga mewarnai situasi kehidupan sosial kala itu. Para tenaga kerja wanita dihargai lebih murah dibanding tenaga kerja pria. Para wanita juga tidak memiliki hak politik dan hak bersuara dalam kehidupan bernegara.
Melihat bahwa kaumnya ditindas oleh sistem masyarakat, maka muncullah perempuan-perempuan yang mulai berani menyuarakan kesamaan hak antara perempuan dengan laki-laki. Gerakan itu dinamai Feminisme. Dari sisi maksud dan tujuan, gerakan ini baik. Namun, dalam prakteknya, ternyata para aktivis gerakan itu cenderung menjadi ekstrem. Mereka ingin menjadikan kaum laki-laki di bawah perempuan. Bukannya membuat keduanya menjadi sama.
Kenyataan negative itulah yang membuat sosiologi muncul. Sosiologi muncul untuk mengkritisi kecenderungan negative para aktifis feminis yang ekstrem tersebut.
5. Urbanisasi
Urbanisasi adalah gerakan perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Arus urbanisasi menjadi meningkat drastis pada situasi setelah revolusi industry. Banyak orang berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan dan meninggalkan desanya dengan segala sumber daya yang dimilikinya. Pada titik ini, urbanisasi telah membuat desa kehilangan tenaga potensialnya untuk mengolah sumber dayanya sehingga itu membuat desa kehilangan penghasilannya. Selain itu, urbanisasi juga telah memunculkan serangkaian masalah sosial yang negative, seperti kepadatan penduduk di kota, angka pengangguran yang tinggi di kota, tingginya angka kriminalitas di daerah perkotaan, serta kemacetan yang tak terkendali.
Masalah-masalah sosial itulah yang pada akhirnya menjadi bahan kajian yang membuat sosiologi muncul di tengah masyarakat ini.
6. Perubahan Keagamaan
Perubahan keagamaan bukanlah sebuah masalah sosial. Perubahan keagamaan hanyalah suatu wacana yang ikut menentukan perkembangan pesat ilmu sosiologi. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi politik, revolusi industry, dan urbanisasi, telah berpengaruh besar terhadap religiositas masyarakat. Pada waktu itu pun, ide-ide keagamaan juga masih menjadi paham yang banyak dipercaya dan diikuti oleh banyak orang.
Kecenderungan umum itu yang dimanfaatkan oleh para sosiolog-sosiolog awal. Mereka memasukkan ide-ide agama agar teori itu mudah diterima oleh masyarakat saat itu. Sebab, masyarakat saat itu, lebih mudah menerima kebenaran yang terbungkus dalam pemikiran agama.
SKETSA HISTORIS SOSIOLOGI
(Merunut Jejak-Jejak Kelahiran Sosiologi)
A. Perspektif (Cara Pandang) Umum
Sebelum melihat sketsa historis kemunculan Sosiologi, cara pandang umum yang harus menjadi titik tolak kita adalah bahwa sebuah teori ilmu pengetahuan senantiasa lahir untuk menanggapi realitas sosial yang tengah terjadi saat itu. Setting sosial menjadi latar belakang munculnya setiap teori ilmu pengetahuan. Realitas masyarakat yang sedang terjadi menjadi titik tolak yang membuat para ahli menelurkan ide-ide brilliant tentang dunia ini. Biasanya, sebuah teori baru yang muncul adalah suatu tanggapan atas realitas negative yang dimunculkan dari adanya penyimpangan-penyimpangan yang ada dalam dunia ini. Dengan kata lain, teori-teori ilmu pengetahuan lahir dengan menawarkan solusi (jalan keluar) bagi realitas-realitas negative tersebut.
B. Kekuatan-Kekuatan Sosial yang Berpengaruh
Sebagai salah satu ilmu positif, Sosiologi juga lahir sebagai tanggapan atas situasi negative yang ada pada masyarakat saat itu. Situasi masyarakat yang terjadi saat itu, muncul karena adanya kekuatan-kekuatan sosial yang tumbuh pada masyarakat. Berikut adalah kekuatan-kekuatan sosial itu:
1. Revolusi Politik
Revolusi Politik terjadi di Perancis pada tahun 1789. Revolusi Perancis merupakan gerakan rakyat yang lahir untuk melawan Absolutisme Raja Louis XIV. Kala itu, sistem pemerintahan Teokrasi yang menempatkan seorang Raja sebagai (wakil) Tuhan di dunia, cukup menjadi lahan subur bagi tumbuhnya absolutism di Perancis. Raja memiliki kekuasaan yang tak terbantahkan oleh siapapun. Kala itu, setiap orang yang melawan titah Raja akan dianggap sebagai pemberontak Tuhan dan dijebloskan ke dalam Penjara Bastille. Karenanya, Penjara Bastille dianggap sebagai symbol Absolutisme Louis XIV.
Karena rakyat tidak tahan lagi pada situasi ketidakadilan yang dimunculkan raja, maka mereka melakukan revolusi dengan menyerang Penjara Bastille pada tahun 1789. Dengan semboyan Liberte, Egalite, dan Fraternite, kekuasaan Raja Louis XIV berhasil dijatuhkan. Pecahnya revolusi Perancis berperan besar bagi perkembangan teori sosiologi. Dampak revolusi ini terhadap masyarakat sangatlah dahsyat dan banyak perubahan positif yang dihasilkan. Tetapi, yang menjadi sasaran perhatian kebanyakan ahli bukanlah dampak positif itu, tapi dampak negative yang muncul. Revolusi Perancis telah memunculkan Chaos dan tindakan anarkis rakyat. Situasi masyarakat menjadi tidak stabil dan keamanan tidak lagi menjadi sesuatu hal yang dapat dijamin.
Atas dasar kemunculan dampak negative itulah, teori sosiologi muncul untuk menanggapinya dan mencari solusi atas masalah sosial tersebut.
2. Revolusi Industri
Revolusi Industri terjadi di Inggris. Revolusi Industri bukanlah kejadian tunggal, tetapi merupakan puncak dari perubahan sistem kehidupan dunia Barat yang tadinya dari corak sistem pertanian, menjadi sistem industry. Kala itu, banyak orang yang meninggalkan usaha pertanian dan beralih ke pekerjaan industry yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik yang sedang berkembang. Para pemilik modal mulai enggan menggunakan tenaga manusia. Mereka lebih suka menggunakan mesin-mesin industry yang dirasa lebih efektif. Banyak pekerja yang harus kehilangan pekerjaan sehingga angka pengangguran semakin meningkat. Sistem ekonomi yang dipakai saat itu adalah sistem ekonomi Kapitalis. Di dalam sistem ini, pemilik modal (kapital) adalah pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan yang besar. Sementara, sebagian besar orang yang merupakan para pekerja, harus menerima upah rendah yang tidak setimpal dengan jumlah jam kerja mereka.
Dampak yang muncul dan dirasakan dari adanya sistem ekonomi Kapitalis adalah: 1) Perkembangan ekonomi antara di kota dan di desa menjadi tidak merata. Sebab, banyak tenaga-tenaga produktif desa yang lebih senang memilih untuk pergi bekerja di kota yang merupakan pusat industry. Akibatnya, lahan di desa tidak terolah dan tidak menghasilkan hasil produksi yang mencukupi. 2) Terjadi kesenjangan antara desa dan kota. Desa menjadi semakin miskin, sementara kota menjadi semakin kaya karena industry hanya dipusatkan di kota besar.
Situasi semacam itu melahirkan reaksi penentangan dari rakyat kecil, terutama kaum buruh. Reaksi itu mengkristal dalam ledakan gerakan buruh dan berbagai gerakan radikal yang pastinya menimbulkan pergolakan sosial dahsyat dalam masyarakat. Sosiologi lahir untuk menanggapi pergolakan negative yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Sosiologi yang muncul lebih bersifat terapan.
3. Sosialisme
Sosialisme merupakan Gerakan yang muncul sebagai bentuk protes rakyat kecil atas sistem kapitalisme / sistem industri yang memiskinkan mereka. Sosialisme menjadi faham yang ingin menghancurkan sistem kapitalis ini. Bagi faham sosialisme, prinsip utama yang dipegang adalah bahwa tidak ada kepemilikan pribadi. Semua sumber daya dimiliki oleh seluruh rakyat secara bersama-sama.
Ternyata gerakan sosialisme ini menjadi sebuah revolusi sosial yang tidak memberikan jalan keluar bagi permasalahan yang dimunculkan oleh sistem ekonomi kapitalis. Sosialisme cenderung memunculkan ketidakadilan sosial di dalam masyarakat dan mensituasikan masyarakat menjadi malas. Karenanya, sosiologi lahir dan berkembang lebih sebagai reaksi untuk menentang sosialisme ini.
4. Feminisme
Situasi yang mendominasi separuh waktu dunia ini adalah bahwa wanita selalu ditempatkan sebagai makhluk nomor dua di bawah kaum laki-laki. Ide agama yang menunjukkan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki, menjadi dasar yang menguatkan pandangan bahwa laki-laki adalah kaum yang berada di atas kaum wanita. Pandangan itu yang juga mewarnai situasi kehidupan sosial kala itu. Para tenaga kerja wanita dihargai lebih murah dibanding tenaga kerja pria. Para wanita juga tidak memiliki hak politik dan hak bersuara dalam kehidupan bernegara.
Melihat bahwa kaumnya ditindas oleh sistem masyarakat, maka muncullah perempuan-perempuan yang mulai berani menyuarakan kesamaan hak antara perempuan dengan laki-laki. Gerakan itu dinamai Feminisme. Dari sisi maksud dan tujuan, gerakan ini baik. Namun, dalam prakteknya, ternyata para aktivis gerakan itu cenderung menjadi ekstrem. Mereka ingin menjadikan kaum laki-laki di bawah perempuan. Bukannya membuat keduanya menjadi sama.
Kenyataan negative itulah yang membuat sosiologi muncul. Sosiologi muncul untuk mengkritisi kecenderungan negative para aktifis feminis yang ekstrem tersebut.
5. Urbanisasi
Urbanisasi adalah gerakan perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Arus urbanisasi menjadi meningkat drastis pada situasi setelah revolusi industry. Banyak orang berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan dan meninggalkan desanya dengan segala sumber daya yang dimilikinya. Pada titik ini, urbanisasi telah membuat desa kehilangan tenaga potensialnya untuk mengolah sumber dayanya sehingga itu membuat desa kehilangan penghasilannya. Selain itu, urbanisasi juga telah memunculkan serangkaian masalah sosial yang negative, seperti kepadatan penduduk di kota, angka pengangguran yang tinggi di kota, tingginya angka kriminalitas di daerah perkotaan, serta kemacetan yang tak terkendali.
Masalah-masalah sosial itulah yang pada akhirnya menjadi bahan kajian yang membuat sosiologi muncul di tengah masyarakat ini.
6. Perubahan Keagamaan
Perubahan keagamaan bukanlah sebuah masalah sosial. Perubahan keagamaan hanyalah suatu wacana yang ikut menentukan perkembangan pesat ilmu sosiologi. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi politik, revolusi industry, dan urbanisasi, telah berpengaruh besar terhadap religiositas masyarakat. Pada waktu itu pun, ide-ide keagamaan juga masih menjadi paham yang banyak dipercaya dan diikuti oleh banyak orang.
Kecenderungan umum itu yang dimanfaatkan oleh para sosiolog-sosiolog awal. Mereka memasukkan ide-ide agama agar teori itu mudah diterima oleh masyarakat saat itu. Sebab, masyarakat saat itu, lebih mudah menerima kebenaran yang terbungkus dalam pemikiran agama.
Selasa, 12 Mei 2009
BAHAN ULANGAN HARIAN III AGAMA KATOLIK KELAS 2
Frenzzz...
bahan untuk ULANGAN HARIAN III adalah ABORSI, EUTHANASIA, dan SUICIDE...
WOMAN'S ABUSE tidak menjadi bahan ulangan kita.
Jadwal ulangan harian III:
XI IPA 2 : Kamis, 14 Mei 2009
Selasa, 19 Mei 2009 : XI Ipa 1,3,4 dan XI Ips 1-3
Format Ulangan Harian III:
Pilihan Ganda : 25 soal
Essay: memilih 1 soal dari 3 soal yang tersedia
Selamat mempersiapkan!!!
bahan untuk ULANGAN HARIAN III adalah ABORSI, EUTHANASIA, dan SUICIDE...
WOMAN'S ABUSE tidak menjadi bahan ulangan kita.
Jadwal ulangan harian III:
XI IPA 2 : Kamis, 14 Mei 2009
Selasa, 19 Mei 2009 : XI Ipa 1,3,4 dan XI Ips 1-3
Format Ulangan Harian III:
Pilihan Ganda : 25 soal
Essay: memilih 1 soal dari 3 soal yang tersedia
Selamat mempersiapkan!!!
Jumat, 08 Mei 2009
EUTHANASIA
Kata Euthanasia berasal dari bahasa Yunani: (eu = baik) dan (thanatos = kematian). Secara harafiah, euthanasia berarti “mati baik”. Dalam bahasa medis, euthanasia dimaksudkan sebagai suatu bentuk pertolongan yang diberikan dokter kepada pasien yang akan meninggal agar dia meninggal tanpa rasa sakit, menderita, dan sengsara. Barulah pada abad ke-20, prakteek euthanasia dimaksudkan sebagai membunuh secara langsung dan tanpa rasa sakit terhadap seorang pasien yang tidak mungkin lagi dapat sembuh dan mau segera mati (daripada terus menderita). Kematiannya dipercepat dengan mengunakan injeksi yang mematikan. Selanjutnya, terjadi penyimpangan yang lebih jauh dalam praktek euthanasia karena itu menjadi pembunuhan terencana dan terprogram terhadap sesame manuisa yang secara sosial dan ekonomi tidak lagi menguntungkan dunia, khususnya mereka yang cacat mental dan cacat fisik.
A. Distinksi (Pembedaan)
Para dokter senantiasa membedakan antara euthanasia negative dan positif. Euthanasia negative adalah tidak memberikan (menghentikan) pelayanan medis kepada pasien terminal sehingga dia meninggal secara alami. Hidupnya tidak diperpanjang secara buatan (bantuan alat-alat). Euthanasia negative juga disebut euthanasia tidak langsung (pasif). Dalam euthanasia pasif, keadaan pasien sudah diketahui yakni bahwa dia akan mati secara cepat atau lambat. Penghentian perawatan medis tidak dimaksudkan secara langsung untuk membunuhnya. Jadi, kematian pasien tidak disebabkan oleh penghentian pelayanan medis, tetapi oleh penyakit yang diderita pasien itu.
Euthanasia positif merupakan pelayanan terapeutik yang dirancang untuk mempercepat kematian si pasien dari yang seharusnya terjadi. Euthanasia jenis ini juga disebut sebagai “mercy killings”. Ungkapan tersebut hanyalah sebuah eufemisme dari tindakan membunuh pasien secara terencana. Euthanasia positif ini memang dimaksudkan untuk segera mengakhiri kehidupan pasien dan alasan utama yang umumnya diajukan adalah “belaskasihan” pada pasien: daripada dia menderita lebih baik kehidupannya diajukan saja. Dalam perdebatan medis, euthanasia positif harus didasarkan pada kehendak rela dari pasien bahwa dia menyatakan keinginan bulat untuk meminta dokter bekerjasama agar kematiannya dipercepat. Jadi, tindakan ini memang dimaksudkan untuk mematikan pasien.
B. Problem Moral
B.1. Euthanasia Negatif
Euthanasia negative hanya dimaksudkan sebagai praktek medis di mana segala macam cara untuk memperpanjang kehidupan sudah tidak mungkin lagi sehingga oran dihadapkan pada pilihan meneruskan perawatan atau menghentikannya. Di sini, tidak ada lagi harapan menjadi lebih baik.
Tradisi moral Katolik menerima dan membenarkan suatu tindakan medis yang dimaksudkan untuk menghilangkan rasa sakit dan kegelisahan – walaupun itu mempercepat kematian menjadi suatu akibat yang mungkin dapat terjadi. Hal ini berbeda misalnya dengan menghentikan segala macam pelayanan medis dengan maksud agar pasien dapat meninggal secara alami. Dalam arti yang paling ketat, euthanasia negative adalah mempersingkat penderitaan atau penyakit yang berat dengan menghentikan atau tidak memberikan pelayanan medis lagi. Ide dasarnya adalah tidak memperpanjang penderitaan seorang pasien yang menyebabkan dia tidak bisa mati dengan tenang dan damai.
Masalah moral yang berkaitan dengan euthanasia negatif ini adalah “apakah tidak melakukan tindakan medis dengan tujuan tidak memperpanjang proses kematian baik secara moral?” Umumnya para moralis berpendapat bahwa tidak ada masalah moral yang amat serius dan berat berkaitan dengan euthanasia pasif ini. Euthanasia negative ini dapat secara formal ditolak bila hal tersebut terlalu diperluas dan bila pertimbangannya hanya didasarkan pada asas manfaat atau kegunaan. Ada sejumlah kecenderungan dalam di mana pasien tidak saja dibiarkan agar mati dengan layak, tetapi dengan tidak memberikan pelayanan medis, pasien sengaja untuk dihabisi dengan cara sederhana, terutama untuk mereka yang sakitnya lama sehingga tidak punya potensi ekonomi. Karena itu, profesi medis mesti menyadari imperative untuk menolak setiap prinsip yang dilandasi asas manfaat atau kegunaan yang mendorong praktek euthanasia positif atau memanipulasi euthanasia negative.
B.2. Euthanasia Positif
Di banyak negara, promosi legalisasi euthanasia positif menimbulkan pro-kontra yang luas dalam masyarakat. Sulit diingkari bahwa sebagian masyarakat maju, memiliki landasan hidup falsafah utilitarian dan kurang memiliki respek pada pribadi-pribadi serta kemanusiaan. Mereka melihat euthanasia positif sebagai pilihan untuk bebas dari penderitaan. Ciri masyarakat yang semakin individualistis dimana ikatan kekeluargaan dan saling memperhatikan semakin pudar, telah membuat banyak orang mengalami kesendirian dan perasaan tercampakkan. Mereka itu umumnya amat rentan terhadap penderitaan dan sulit menerima realitas hidup: menderita sakit, makin tua, makin tak berdaya, sendirian. Perjuangan legalisasi euthanasia positif lebih berlandaskan pada argument yang dibangun atas realitas itu sehingga terlihat jelas bahwa perjuangan legalisasi itu hanya sekedar sebagai pelarian dari kenyataan hidup.
Moral tidak dapat menerima dan tidak dapat membenarkan euthanasia positif. Hal tersebut tidak ada yang meragukannya. Upaya penghentian euthanasia positif tidaklah mudah karena yang terlebih dahulu harus dihadapi adalah budaya utilitarian yang telah menjadi ciri kehidupan modern. positif. Hal tersebut tidak ada yang meragukannya. Upaya penghentian euthanasia positif tidaklah mudah karena yang terlebih dahulu harus dihadapi adalah budaya utilitarian yang telah menjadi ciri kehidupan modern. Yang mesti terus menerus dipromosikan sekarang adalah penghargaan terhadap pribadi dan kemanusiaan atas dasar norma moral “jangan membunuh”.
Menurut Bernard Haring, argument utama untuk menolak euthanasia positif terletak pada perspektif kebebasan. Apa yang disebut “bebas untuk mati” dengan memaksakan kematian sesuai dengan keinginan dan kehendak sendiri, sebenarnya bukan ungkapan kebebasan tetapi justru menghilangkan keutuhan kebebasan untuk menerima kematian. Mewujudkan kebebasan memilih dalam kehidupan atas dasar kekuatan manusia dan dalam kematian atas dasar ketakberdayaan manusia, merupakan pengakuan yang paling tepat atas eksistensi keterciptaan manusia dalam dua realitas hidup, yaitu kehidupan dan kematian.
Dari sudut pandang praktis, euthanasia positif sangatlah problematic. Bila euthanasia positif dilegalisasi dan didasarkan pada falsafah manfaat ekonomis, siapa yang harus membuat keputusan final bagi pelaksanaannya? Mereka yang dibunuh dengan “belaskasihan” karena kondisi mereka, tidak dapat membuat keputusan rasional atas dasar keyakinan teguh. Amat mungkin bahwa mereka memutuskan itu karena kecemasan atau rasa salah mereka akan resiko atau kesulitan yang mereka timbulkan bagi keluarga karena keadaan nyata mereka. Dengan rasa salah dalam hati dan ditambah lagi dengan adanya penolakan, yang ada hanyalah penyesalan, mengapa hidup? DI sini, manusia tertekan dan tidak bebas lagi membuat keputusan dan terpaksa memilih mati saja. Banyak orang tua bunuh diri di negara maju karena sikap masyarakat yang memperlakukan orang tua sebagai beban masyarakat. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa di balik topeng upaya rasionalisasi untuk melegalisasi euthanasia, tersembunyi motivasi yang mengerikan, yaitu “marjinalisasi” kehidupan, penghilangan makna kehidupan dan kematian itu sendiri.
Pada titik ini, mesti disadari bahwa moral Kristen berhadapan dengan sebuah kesulitan besar untuk memberikan motivasi yang meyakinkan kepad amereka yang tidak lagi percaya pada penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Demikian juga, kepada mereka yang tidak lagi mampu menangkap nilai dari penderitaan dan pelayanan kasih kepada manusia yang menderita. Di sinilah titik temu moral kristiani dengan etika medis.
Pelayanan kasih merupakan sentral pemahaman dan komitmen moral kristiani dalam pelayanan terhadap kehidupan. Kehidupan diterima sebagai pemberian dan karenanya mesti diperlakukan dengan hormat, syukur, dan bertanggungjawab. Sakit dan penderitaan adalah bagian integral dari kehidupan. Dalam Kristus, manusia menemukan makna dan nilai penderitaan walaupun penderitaan itu pada dirinya adalah negative. Karena itu, kesengajaan untuk mengambil atau menghabisi kehidupan seseorang, tidak dapat dibenarkan oleh moral kristiani. Euthanasia positif ditolak dan dinilai immoral.
C. Pendapat Pro-Kontra Euthanasia
C.1. Pendapat yang mendukung Euthanasia:
a. Kehidupan seseorang yang menderita sakit terminal, tidak lagi bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat. Dia juga tidak lagi memiliki tugas-tugas yang dapat dia jalankan bagi dirinya maupun bagi orang lain. Memperpanjang masa hidupnya (masa sakitnya), tidak member manfaat apa-apa selain beban baginya dan bagi orang lain. Karenanya, masuk akal kalau kehidupannya dihentikan saja.
b. Dalam menghadapi dua hal jahat, orang mesti memilih kejahatan yang lebih ringan. Memperpanjang penderitaan seseorang merupakan suatu kejahatan yang lebih berat dibandingkan dengan menghentikan kehidupan seseorang.
c. Adalah tidak manusiawi dan tidak masuk akal bila memperpanjang hidup seorang pasien terminal sementara dia sendiri tidak menghendakinya lagi.
d. Mereka yang tidak percaya akan Allah, sah saja mengatakan bahwa mereka adalah tuan atas kehidupan mereka sehingga dapat dengan bebas memutuskan sendiri untuk menghentikan kehidupan.
e. Kebebasan orang untuk berbuat sesuatu hendaknya tidak dibatasi.
f. Euthanasia positif sukarela adalha tindakna belaskasih terhadap keluarga dan masyarakat karena dengan itu, pasien memilih untuk tidak membebani keluarganya dengan memperpanjang masa penderitaannya karena akan memakan biaya dan tenaga.
g. Orang beriman percaya bahwa Allah yang menganugerahkan kehidupan. Tetapi, tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengintervensi kehidupan kita, karena Allah mempercayai kita sebagai pemelihara kehidupan. Jadi, masuk akal bahwa Allah tidak menghendaki kita menderita secara tidak perlu dan kita dapat mengakhiri penderitaan itu.
C.2. Pendapat yang menolak Euthanasia:
a. Tradisi Barat dan filsafat Teistis, menolak pembunuhan langsung. Argumen dasarnya adalah bahwa Allah adalah penguasa langsung kehidupan manusia. Kita hanya mengatur dan memelihara kehidupan kita, tetapi kita bukanlah pemiliknya.
b. Manusia sebagai makhluk rasional adalah dasar dari moralitas. Dibenarkan bahwa manusia mengintervensi kehidupannya demi meningkatkan mutu dan peluang hidup. Tidaklah bijaksana menghentikan penderitaan dengan mengakhiri kehidupan. Lebih masuk akal, bila intervensi itu dimaksudkan untuk menghilangkan sakit dan penderitaan serta bukan membunuh pasien. Dalam hal ini, sekarang sudah muncul banyak obat medis untuk menghilangkan rasa sakit itu.
c. Menyebut euthanasia positif mengandaikan bahwa si pasien dengan bebas dan sukarela, meminta untuk mati. Demi menghindari kesalahpahaman dan penyimpangan maka sebaiknya si pasien mengajukan permintaan tertulis dan ditandatangani di hadapan saksi. Pertanyaannya, apakah pasien tersebut sungguh berada dalam posisi bebas dan mampu menyatakan serta mengevaluasi kehidupannya sehingga dengan rela pula meminta untuk mengakhiri kehidupannya? Jadi, persoalannya persis menyangkut kebebasan utnuk menyatakan keinginannya. Dapatkah dijamin bahwa di sana tidak ada tekanan, dan penciptaan kondisi marjinal bagi si pasien sehingga dia merasa terbuang, tidak berguna, dan frustasi?
d. Waktu bagi injeksi mematikan biasanya ditentukan. Hal itu persis sama dengan eksekusi hukuman mati. Banyak negara menolak hukuman mati karena tidak manusiawi. Adalah kejam sekali bila menentukan kapan seseorang harus mati, apalagi jika memberitahukannya kepada pasien itu.
e. Siapa yang harus menentukan dan mengatur injeksi mematikan? Pelaku mestinya bukan dokter karena hal itu bertentangan dengan sumpah profesinya.
f. Euthanasia positif adalah tidak manusiawi. Euthanasia positif itu tidak sama dengan “mati dengan hormat dan tenang”. Kemungkinan kejahatan di dalamnya berkaitan dengan legalisasi euthanasia, akan menghantui dan menakutkan bagi orang-orang usia lanjut karena jika mereka sakit, maka itulah kesempatan mengeksekusi mereka dan mengeliminasi mereka dari kehidupan dan lingkungan sosial. Adalah lebih manusiawi jika membiarkan alam kehidupan berjalan apa adanya, dan jika kematian datang, biarlah dia datang, tanpa ada campur tangan manusia atau kuasa manusia untuk mengontrolnya.
A. Distinksi (Pembedaan)
Para dokter senantiasa membedakan antara euthanasia negative dan positif. Euthanasia negative adalah tidak memberikan (menghentikan) pelayanan medis kepada pasien terminal sehingga dia meninggal secara alami. Hidupnya tidak diperpanjang secara buatan (bantuan alat-alat). Euthanasia negative juga disebut euthanasia tidak langsung (pasif). Dalam euthanasia pasif, keadaan pasien sudah diketahui yakni bahwa dia akan mati secara cepat atau lambat. Penghentian perawatan medis tidak dimaksudkan secara langsung untuk membunuhnya. Jadi, kematian pasien tidak disebabkan oleh penghentian pelayanan medis, tetapi oleh penyakit yang diderita pasien itu.
Euthanasia positif merupakan pelayanan terapeutik yang dirancang untuk mempercepat kematian si pasien dari yang seharusnya terjadi. Euthanasia jenis ini juga disebut sebagai “mercy killings”. Ungkapan tersebut hanyalah sebuah eufemisme dari tindakan membunuh pasien secara terencana. Euthanasia positif ini memang dimaksudkan untuk segera mengakhiri kehidupan pasien dan alasan utama yang umumnya diajukan adalah “belaskasihan” pada pasien: daripada dia menderita lebih baik kehidupannya diajukan saja. Dalam perdebatan medis, euthanasia positif harus didasarkan pada kehendak rela dari pasien bahwa dia menyatakan keinginan bulat untuk meminta dokter bekerjasama agar kematiannya dipercepat. Jadi, tindakan ini memang dimaksudkan untuk mematikan pasien.
B. Problem Moral
B.1. Euthanasia Negatif
Euthanasia negative hanya dimaksudkan sebagai praktek medis di mana segala macam cara untuk memperpanjang kehidupan sudah tidak mungkin lagi sehingga oran dihadapkan pada pilihan meneruskan perawatan atau menghentikannya. Di sini, tidak ada lagi harapan menjadi lebih baik.
Tradisi moral Katolik menerima dan membenarkan suatu tindakan medis yang dimaksudkan untuk menghilangkan rasa sakit dan kegelisahan – walaupun itu mempercepat kematian menjadi suatu akibat yang mungkin dapat terjadi. Hal ini berbeda misalnya dengan menghentikan segala macam pelayanan medis dengan maksud agar pasien dapat meninggal secara alami. Dalam arti yang paling ketat, euthanasia negative adalah mempersingkat penderitaan atau penyakit yang berat dengan menghentikan atau tidak memberikan pelayanan medis lagi. Ide dasarnya adalah tidak memperpanjang penderitaan seorang pasien yang menyebabkan dia tidak bisa mati dengan tenang dan damai.
Masalah moral yang berkaitan dengan euthanasia negatif ini adalah “apakah tidak melakukan tindakan medis dengan tujuan tidak memperpanjang proses kematian baik secara moral?” Umumnya para moralis berpendapat bahwa tidak ada masalah moral yang amat serius dan berat berkaitan dengan euthanasia pasif ini. Euthanasia negative ini dapat secara formal ditolak bila hal tersebut terlalu diperluas dan bila pertimbangannya hanya didasarkan pada asas manfaat atau kegunaan. Ada sejumlah kecenderungan dalam di mana pasien tidak saja dibiarkan agar mati dengan layak, tetapi dengan tidak memberikan pelayanan medis, pasien sengaja untuk dihabisi dengan cara sederhana, terutama untuk mereka yang sakitnya lama sehingga tidak punya potensi ekonomi. Karena itu, profesi medis mesti menyadari imperative untuk menolak setiap prinsip yang dilandasi asas manfaat atau kegunaan yang mendorong praktek euthanasia positif atau memanipulasi euthanasia negative.
B.2. Euthanasia Positif
Di banyak negara, promosi legalisasi euthanasia positif menimbulkan pro-kontra yang luas dalam masyarakat. Sulit diingkari bahwa sebagian masyarakat maju, memiliki landasan hidup falsafah utilitarian dan kurang memiliki respek pada pribadi-pribadi serta kemanusiaan. Mereka melihat euthanasia positif sebagai pilihan untuk bebas dari penderitaan. Ciri masyarakat yang semakin individualistis dimana ikatan kekeluargaan dan saling memperhatikan semakin pudar, telah membuat banyak orang mengalami kesendirian dan perasaan tercampakkan. Mereka itu umumnya amat rentan terhadap penderitaan dan sulit menerima realitas hidup: menderita sakit, makin tua, makin tak berdaya, sendirian. Perjuangan legalisasi euthanasia positif lebih berlandaskan pada argument yang dibangun atas realitas itu sehingga terlihat jelas bahwa perjuangan legalisasi itu hanya sekedar sebagai pelarian dari kenyataan hidup.
Moral tidak dapat menerima dan tidak dapat membenarkan euthanasia positif. Hal tersebut tidak ada yang meragukannya. Upaya penghentian euthanasia positif tidaklah mudah karena yang terlebih dahulu harus dihadapi adalah budaya utilitarian yang telah menjadi ciri kehidupan modern. positif. Hal tersebut tidak ada yang meragukannya. Upaya penghentian euthanasia positif tidaklah mudah karena yang terlebih dahulu harus dihadapi adalah budaya utilitarian yang telah menjadi ciri kehidupan modern. Yang mesti terus menerus dipromosikan sekarang adalah penghargaan terhadap pribadi dan kemanusiaan atas dasar norma moral “jangan membunuh”.
Menurut Bernard Haring, argument utama untuk menolak euthanasia positif terletak pada perspektif kebebasan. Apa yang disebut “bebas untuk mati” dengan memaksakan kematian sesuai dengan keinginan dan kehendak sendiri, sebenarnya bukan ungkapan kebebasan tetapi justru menghilangkan keutuhan kebebasan untuk menerima kematian. Mewujudkan kebebasan memilih dalam kehidupan atas dasar kekuatan manusia dan dalam kematian atas dasar ketakberdayaan manusia, merupakan pengakuan yang paling tepat atas eksistensi keterciptaan manusia dalam dua realitas hidup, yaitu kehidupan dan kematian.
Dari sudut pandang praktis, euthanasia positif sangatlah problematic. Bila euthanasia positif dilegalisasi dan didasarkan pada falsafah manfaat ekonomis, siapa yang harus membuat keputusan final bagi pelaksanaannya? Mereka yang dibunuh dengan “belaskasihan” karena kondisi mereka, tidak dapat membuat keputusan rasional atas dasar keyakinan teguh. Amat mungkin bahwa mereka memutuskan itu karena kecemasan atau rasa salah mereka akan resiko atau kesulitan yang mereka timbulkan bagi keluarga karena keadaan nyata mereka. Dengan rasa salah dalam hati dan ditambah lagi dengan adanya penolakan, yang ada hanyalah penyesalan, mengapa hidup? DI sini, manusia tertekan dan tidak bebas lagi membuat keputusan dan terpaksa memilih mati saja. Banyak orang tua bunuh diri di negara maju karena sikap masyarakat yang memperlakukan orang tua sebagai beban masyarakat. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa di balik topeng upaya rasionalisasi untuk melegalisasi euthanasia, tersembunyi motivasi yang mengerikan, yaitu “marjinalisasi” kehidupan, penghilangan makna kehidupan dan kematian itu sendiri.
Pada titik ini, mesti disadari bahwa moral Kristen berhadapan dengan sebuah kesulitan besar untuk memberikan motivasi yang meyakinkan kepad amereka yang tidak lagi percaya pada penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Demikian juga, kepada mereka yang tidak lagi mampu menangkap nilai dari penderitaan dan pelayanan kasih kepada manusia yang menderita. Di sinilah titik temu moral kristiani dengan etika medis.
Pelayanan kasih merupakan sentral pemahaman dan komitmen moral kristiani dalam pelayanan terhadap kehidupan. Kehidupan diterima sebagai pemberian dan karenanya mesti diperlakukan dengan hormat, syukur, dan bertanggungjawab. Sakit dan penderitaan adalah bagian integral dari kehidupan. Dalam Kristus, manusia menemukan makna dan nilai penderitaan walaupun penderitaan itu pada dirinya adalah negative. Karena itu, kesengajaan untuk mengambil atau menghabisi kehidupan seseorang, tidak dapat dibenarkan oleh moral kristiani. Euthanasia positif ditolak dan dinilai immoral.
C. Pendapat Pro-Kontra Euthanasia
C.1. Pendapat yang mendukung Euthanasia:
a. Kehidupan seseorang yang menderita sakit terminal, tidak lagi bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat. Dia juga tidak lagi memiliki tugas-tugas yang dapat dia jalankan bagi dirinya maupun bagi orang lain. Memperpanjang masa hidupnya (masa sakitnya), tidak member manfaat apa-apa selain beban baginya dan bagi orang lain. Karenanya, masuk akal kalau kehidupannya dihentikan saja.
b. Dalam menghadapi dua hal jahat, orang mesti memilih kejahatan yang lebih ringan. Memperpanjang penderitaan seseorang merupakan suatu kejahatan yang lebih berat dibandingkan dengan menghentikan kehidupan seseorang.
c. Adalah tidak manusiawi dan tidak masuk akal bila memperpanjang hidup seorang pasien terminal sementara dia sendiri tidak menghendakinya lagi.
d. Mereka yang tidak percaya akan Allah, sah saja mengatakan bahwa mereka adalah tuan atas kehidupan mereka sehingga dapat dengan bebas memutuskan sendiri untuk menghentikan kehidupan.
e. Kebebasan orang untuk berbuat sesuatu hendaknya tidak dibatasi.
f. Euthanasia positif sukarela adalha tindakna belaskasih terhadap keluarga dan masyarakat karena dengan itu, pasien memilih untuk tidak membebani keluarganya dengan memperpanjang masa penderitaannya karena akan memakan biaya dan tenaga.
g. Orang beriman percaya bahwa Allah yang menganugerahkan kehidupan. Tetapi, tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengintervensi kehidupan kita, karena Allah mempercayai kita sebagai pemelihara kehidupan. Jadi, masuk akal bahwa Allah tidak menghendaki kita menderita secara tidak perlu dan kita dapat mengakhiri penderitaan itu.
C.2. Pendapat yang menolak Euthanasia:
a. Tradisi Barat dan filsafat Teistis, menolak pembunuhan langsung. Argumen dasarnya adalah bahwa Allah adalah penguasa langsung kehidupan manusia. Kita hanya mengatur dan memelihara kehidupan kita, tetapi kita bukanlah pemiliknya.
b. Manusia sebagai makhluk rasional adalah dasar dari moralitas. Dibenarkan bahwa manusia mengintervensi kehidupannya demi meningkatkan mutu dan peluang hidup. Tidaklah bijaksana menghentikan penderitaan dengan mengakhiri kehidupan. Lebih masuk akal, bila intervensi itu dimaksudkan untuk menghilangkan sakit dan penderitaan serta bukan membunuh pasien. Dalam hal ini, sekarang sudah muncul banyak obat medis untuk menghilangkan rasa sakit itu.
c. Menyebut euthanasia positif mengandaikan bahwa si pasien dengan bebas dan sukarela, meminta untuk mati. Demi menghindari kesalahpahaman dan penyimpangan maka sebaiknya si pasien mengajukan permintaan tertulis dan ditandatangani di hadapan saksi. Pertanyaannya, apakah pasien tersebut sungguh berada dalam posisi bebas dan mampu menyatakan serta mengevaluasi kehidupannya sehingga dengan rela pula meminta untuk mengakhiri kehidupannya? Jadi, persoalannya persis menyangkut kebebasan utnuk menyatakan keinginannya. Dapatkah dijamin bahwa di sana tidak ada tekanan, dan penciptaan kondisi marjinal bagi si pasien sehingga dia merasa terbuang, tidak berguna, dan frustasi?
d. Waktu bagi injeksi mematikan biasanya ditentukan. Hal itu persis sama dengan eksekusi hukuman mati. Banyak negara menolak hukuman mati karena tidak manusiawi. Adalah kejam sekali bila menentukan kapan seseorang harus mati, apalagi jika memberitahukannya kepada pasien itu.
e. Siapa yang harus menentukan dan mengatur injeksi mematikan? Pelaku mestinya bukan dokter karena hal itu bertentangan dengan sumpah profesinya.
f. Euthanasia positif adalah tidak manusiawi. Euthanasia positif itu tidak sama dengan “mati dengan hormat dan tenang”. Kemungkinan kejahatan di dalamnya berkaitan dengan legalisasi euthanasia, akan menghantui dan menakutkan bagi orang-orang usia lanjut karena jika mereka sakit, maka itulah kesempatan mengeksekusi mereka dan mengeliminasi mereka dari kehidupan dan lingkungan sosial. Adalah lebih manusiawi jika membiarkan alam kehidupan berjalan apa adanya, dan jika kematian datang, biarlah dia datang, tanpa ada campur tangan manusia atau kuasa manusia untuk mengontrolnya.
BUNUH DIRI? JALAN KELUARKAH?
Perkembangan kehidupan manusia menghadirkan sebuah situasi yang kontradiktif. Ketika masyarakat dunia modern mencapai tingkat kemajuan sosial-ekonomi dan teknologi yang tinggi, tingkat presentasi problem kemanusiaan tidak menunjukkan grafik penurunan. Justru kemajuan itu kerap memunculkan problem-problem kemanusiaan yang baru dan lebih rumit. Budaya hidup manusia modern, sering ditandai dengan budaya persaingan dalam pencapaian tingkat kemajuan hidup. Tak jarang, tidak sedikit orang yang gagal bersaing dan tidak mampu mewujudkan impian mereka. Kegagalan itu kerap kali membuat banyak orang menjadi putus asa dan menganggapnya sebagai akhir dari segalanya. Persaingan yang semakin keras juga melahirkan sebuah keprihatinan baru, yaitu melemahnya intensitas relasi antar pribadi yang menyusutkan pengalaman kasih dan keakraban antar pribadi manusia. Tidak adanya lagi kehangatan kasih, membuat banyak orang merasa ditinggalkan dan kesepian. Kecondongan batin itu menggerakkan banyak orang pada derita batin yang mendalam. Derita batin itu akan membuat orang menjadi putus asa dan tidak mampu lagi melihat makna kehidupannya secara jernih. Orang tidak lagi menyadari eksistensinya di dunia ini sebagai anugerah Allah yang luhur dan suci. Suasana umum dunia yang seperti itulah yang kerap menjadi latar belakang dan penyebab terjadinya bunuh diri. Paper ini akan melihat lebih dalam lagi tentang fenomena Bunuh Diri dan sekaligus ingin menunjukkan sejumlah penilaian moral atasnya.
a. Apa itu Bunuh Diri?
Bunuh Diri adalah tindakan seseorang yang menghabisi hidupnya sendiri atas dasar otoritasnya sendiri (direct suicide). Definisi itu dapat kita telaah ke dalam beberapa unsur berikut:
1. Bunuh Diri adalah tindakan seseorang. Seseorang yang dimaksud adalah seorang manusia. Mari kita fokuskan perhatian pada kata “tindakan”. Manusia selalu melakukan berbagai tindakan untuk mewujudkan gagasan-gagasan hidupnya dengan caranya yang khas. Kekhasan cara tersebut yang membuat tindakan-tindakan manusia, menjadi berbeda satu dengan lainnya. Apa yang menjadi tindakan manusia adalah khas dan menunjukkan bahwa dirinya adalah manusia. Berikut adalah tindakan-tindakan yang dapat dikatakan sebagai cirri khas manusia (makhluk hidup):
a. Asimilasi: Manusia berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Yang tergolong dalam tindakan asimilasi ini juga adalah tindakan manusia untuk memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya sendiri.
b. Reproduksi: Kemampuan untuk melipatgandakan diri dan membentuk bibit-bibit baru (keturunan).
c. Bereaksi: Manusia juga dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya dan atas keadaan-keadaan yang sedang dialaminya.
d. Menyadari : Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain dan benda mati. Manusia senantiasa memiliki kesadaran untuk melakukan sesuatu. Kesadaran itu menjadi landasan bagi manusia untuk berbuat.
2. Bunuh Diri sebagai tindakan yang menghabisi kehidupan sendiri.
Bunuh Diri adalah sebuah kejahatan. Sebab, tindakan ini memiliki tujuan akhir untuk menghancurkan kehidupan. Meskipun kehidupan yang dihancurkan itu adalah kehidupan si pelaku sendiri dan bukan orang lain, tetap saja itu memiliki inti tindakan yang sama, yaitu tidak menghargai kehidupan.
3. Bunuh Diri sebagai tindakan yang dilakukan atas dasar otoritas sendiri.
Sebuah tindakan disebut tindakan bunuh diri bila tindakan itu dilakukan atas dasar kemauan si pelaku sendiri. Jika tindakan itu dilakukan oleh seseorang atas perintah otoritas yang berkuasa, maka itu tidak dapat disebut sebagai bunuh diri.
Secara psikologis, diketahui bahwa kecenderungan bunuh diri terdorong oleh adanya keinginan manusia untuk bebas dari segala macam beban atau konflik hidup. Si pelaku merasa tidak berdaya dalam mengelola serta menghadapi problem-problem itu. Dia mengalamai kesendirian dan keterisolasian dari dunia pergaulannya. Ia menjadi merasa tidak berguna dan merasa hanya menjadi beban bagi orang lain. Karenanya, bunuh diri kerap dilihat sebagai jalan terakhir yang tepat untuk membebaskan diri dari segala perasaan ketertekanan itu. Data real di lapangan menunjukkan bahwa pria lebih banyak bunuh diri daripada wanita; warga kota lebih banyak bunuh diri dibanding orang desa; para manula lebih banyak bunh diri daripada anak-anak muda; dan manusia dunia maju lebih banyak bunuh diri daripada manusia di dunia ketiga.
Bagaimana dengan para filsuf? Para filsuf juga mencoba berpendapat tentang bunuh diri. Para filsuf yang menolak adanya bunuh diri adalah Aristoteles dan Immanuel Kant. Menurut Immanuel Kant, bunuh diri tidak layak dilakukan karena bunuh diri adalah penghancuran terhadap subyek moral dan juga sekaligus penghancuran terhadap moralitas itu sendiri. Namun, ada juga filsuf yang mendukung bunuh diri, seperti David Hume dan para filsuf Stoa. Di zaman modern ini, para pendukung euthanasia menyetujui bunuh diri sebagai wujud otonomi dan kebebasan pribadi terhadap hidupnya sendiri.
B. Bagaimana dengan Moral Katolik?
Secara tegas, Moral Katolik menolak Bunuh Diri, dan menilainya sebagai sebuah KEJAHATAN BESAR.
Mengapa demikian? Berikut alasan penolakannya.
B.1. Manusia bukanlah Tuan yang memiliki kehidupan.
Meskipun manusia menjalani suatu kehidupan yang ada padanya, kehidupan itu sendiri bukanlah sesuatu yang dicapai berkat upaya mausia itu sendiri. Akan tetapi, kehidupan adalah sesuatu yang diterimanya dan berada di luar kuasa kebebasannya. Karena itu, manusia tidak bisa menyatakan “menerima” atau “menolak” terhadap kehidupan ini. Teologi agama monoteis mengajarkan bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia, dan menganugerahkan kehidupan kepada manusia itu. Kehidupan adalah milik Allah. Peran manusia terhadap kehidupan hanyalah sebatas memelihara, mengembangkan dan memajukan kehidupan agar mencapai kepenuhannya.
Menyia-nyiakan kehidupan adalah tanda ketidaksetiaan dan pengingkaran manusia terhadap peranannya dan bentuk perlawanan terhadap Allah sebagai pemilik kehidupan. Karena itu, bunuh diri adalah tanda nyata dari keputusasaan dan ketidaksetiaan kepada Allah. Bunuh Diri menjadi tanda pemberontakan dan menjadi suatu ekspresi otonomi yang merusak terhadap Allah. Maka dari itu, bunh diri tidak dapat dibenarkan.
B.2. Kewajiban dan Tanggungjawab Masyarakat
Dalam banyak kasus bunuh diri, umumnya masyarakat dan lingkungan terdekatlah yang dipersalahkan karena si pelaku bunuh diri terkondisikan dalam situasi dan pengalaman hidup yang berat tak terpikulkan yang menyebabkannya putus asa dan terhalang untuk melihat kehidupan secara positif dan optimistic. Bunuh diri adalah tanda nyata kegagalan masyarakat dalam mewujudkan keadilan dan dalam memberikan perhatian kasih kepada mereka yang putus asa dan menderita. Bunuh diri sering menjadi bentuk protes dan sekaligus meminta perhatian terhadap orang-orang sekitar agar memperhatikan dan membantu.
Untuk itu, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan bahwa bunuh diri bukanlah ekspresi kebebasan, akan tetapi merupakan tanda kehilangan kebebasan. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kondisi dasar bagi otonomi manusia dalam mengembangkan dan memajukan kehidupan menuju kepenuhannya.
B.3. Keterkaitan Kehidupan satu sama lain
Sering banyak orang berpikir bahwa kehidupannya adalah semata-mata urusannya sendiri, terpisah dan tak terkait dengan kehidupan orang lain sehingga apa yang dilakukan terhadap dirinya sendiri, tidak akan mempengaruhi orang lain. Bunuh Diri seringkali dilandasi oleh keyakinan yang macam itu. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Hakekat manusia sebagai makhluk sosial menjadi landasan bagi suatu kebenaran bahwa kehidupan manusia itu saling berhubungan dan saling terkait satu sama lain. Apa yang terjadi para seseorang akan juga mempengaruhi orang lain.
Karena itu, sebenarnya setiap manusia secara tertentu memiliki dan mengemban tanggung jawab atas kehidupan orang lain. Tindakan bunuh diri jelas akan meninggalkan beban derita dan tanggungjawab moral bagi orang lain. Bagi si pelaku bunuh diri, tindakannya itu menjadi tanda ketidakpeduliannya terhadap kepentingan bersama dan tanggung jawab orang lain dalma satu kesatuan kehidupan. Bunuh diri berarti mengingkari keberadaan dan tanggung jawab sesame. Atau dengan kata lain, Bunuh diri merupakan suatu pengingkaran akan hakekat sosial manusia.
B.4. Bunuh Diri adalah Pelanggaran terhadap Tugas Mencintai dan Mengejar Kesempurnaan Hidup.
Pelaku bunuh diri membuang peluang dan kesempatan untuk terus bertumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Ia menolak untuk terus bertumbuh menuju tingkat kesempurnaan yang dapat dicapainya dalam hidup. Bunuh diri menyebabkan dia kehilangan kesempatan untuk memperbaiki dan mengembangkan diri sendiri.
B.5. Bunuh Diri sebagai Protes terhadap Kejahatan Sosial Politik
Bunuh diri sering juga dipraktekkan sebagai suatu bentuk perlawanan dan pemberontakan terhadap suatu regim atau dictator yang jahat dan kejam. Bagi para pelaku, mati adalah lebih baik dairpada membiarkan diri menyerah dan diperlakukan sewenang-wenang oleh rejim dictatorial. Dalam kasus ini, bunuh diri dilakukan untuk mengingatkan rezim itu bahwa si pelaku bunuh diri bukanlah orang yang tega dan senang mengorbankan kehidupan orang lain, seperti halnya si penguasa rezim, tetapi ia lebih senang mengorbankan diri sendiri demi perwujudan suatu situasi hidup sosial politik yang manusiawi. Kasus lain yang terkait dengan pemahaman bagian ini adalah kasus di mana orang melakukan aksi kekerasan pembunuhan dengan juga membiarkan dirinya terbunuh. Aksi seperti ini kerap menjadi pilihan perjuangan bagi para teroris.
Apapun alasannya, suatu tindakan menghilangkan kehidupan sendiri ataupun kehidupan orang lain adalah sesuatu yang tidak dibenarkan secara moral. Tujuan yang ingin diperjuangkan tidak akan pernah membenarkan cara yang dipakai itu.
C. Gereja Katolik dan Bunuh Diri
Gereja Katolik secara tegas menolak dan tidak membenarkan tindakan bunuh diri. Dulu, Gereja pernah melarang pelayanan liturgis-sakramental bagi orang yang bunuh diri. Tetapi, sekarang ini, hal itu tidak lagi disebutkan secara eksplisit sebagai bunuh diri. Dalam Kanon 1184, dikatakan bahwa: (1) Tidak boleh diberi pemakaman gerejawi, kecuali jika sebelum meninggal, menampakkan sekedar tanda-tanda tobat. Mereka yang mendapatkan perlakuan ini adalah: a. Mereka yang nyata-nyata murtad, mengikuti bidaah dan skisma; b. Mereka yang memilih kremasi jenazah mereka demi alasan yang bertentangan dengan iman kristiani; c. Pendosa-pendosa public lainnya yang tidak dapat diberi pemakaman gerejawi tanpa menimbulkan sandungan bagi kaum beriman.
(2) Jika ada keragua-raguan, hendaknya Ordinaris Wilayah dihubungi, yang keputusannya harus dituruti.
Di lain pihak, Gereja Katolik menjunjung tinggi dan menghargai orang-orang yang mengorbankan hidupnya demi kehidupan orang lain atau demi kebaikan banyak orang serta demi iman. Hidup memang merupakan nilai tertinggi, tetapi nilai hidup bukanlah segalanya. Orang bahkan dituntut untuk mengorbankan hidupnya demi orang lain. Tokoh seperti Mazimilan Maria Kolbe, merupakan model dari orang yang menyerahkan hidupnya demi kebaikan orang lain.
a. Apa itu Bunuh Diri?
Bunuh Diri adalah tindakan seseorang yang menghabisi hidupnya sendiri atas dasar otoritasnya sendiri (direct suicide). Definisi itu dapat kita telaah ke dalam beberapa unsur berikut:
1. Bunuh Diri adalah tindakan seseorang. Seseorang yang dimaksud adalah seorang manusia. Mari kita fokuskan perhatian pada kata “tindakan”. Manusia selalu melakukan berbagai tindakan untuk mewujudkan gagasan-gagasan hidupnya dengan caranya yang khas. Kekhasan cara tersebut yang membuat tindakan-tindakan manusia, menjadi berbeda satu dengan lainnya. Apa yang menjadi tindakan manusia adalah khas dan menunjukkan bahwa dirinya adalah manusia. Berikut adalah tindakan-tindakan yang dapat dikatakan sebagai cirri khas manusia (makhluk hidup):
a. Asimilasi: Manusia berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Yang tergolong dalam tindakan asimilasi ini juga adalah tindakan manusia untuk memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya sendiri.
b. Reproduksi: Kemampuan untuk melipatgandakan diri dan membentuk bibit-bibit baru (keturunan).
c. Bereaksi: Manusia juga dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya dan atas keadaan-keadaan yang sedang dialaminya.
d. Menyadari : Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain dan benda mati. Manusia senantiasa memiliki kesadaran untuk melakukan sesuatu. Kesadaran itu menjadi landasan bagi manusia untuk berbuat.
2. Bunuh Diri sebagai tindakan yang menghabisi kehidupan sendiri.
Bunuh Diri adalah sebuah kejahatan. Sebab, tindakan ini memiliki tujuan akhir untuk menghancurkan kehidupan. Meskipun kehidupan yang dihancurkan itu adalah kehidupan si pelaku sendiri dan bukan orang lain, tetap saja itu memiliki inti tindakan yang sama, yaitu tidak menghargai kehidupan.
3. Bunuh Diri sebagai tindakan yang dilakukan atas dasar otoritas sendiri.
Sebuah tindakan disebut tindakan bunuh diri bila tindakan itu dilakukan atas dasar kemauan si pelaku sendiri. Jika tindakan itu dilakukan oleh seseorang atas perintah otoritas yang berkuasa, maka itu tidak dapat disebut sebagai bunuh diri.
Secara psikologis, diketahui bahwa kecenderungan bunuh diri terdorong oleh adanya keinginan manusia untuk bebas dari segala macam beban atau konflik hidup. Si pelaku merasa tidak berdaya dalam mengelola serta menghadapi problem-problem itu. Dia mengalamai kesendirian dan keterisolasian dari dunia pergaulannya. Ia menjadi merasa tidak berguna dan merasa hanya menjadi beban bagi orang lain. Karenanya, bunuh diri kerap dilihat sebagai jalan terakhir yang tepat untuk membebaskan diri dari segala perasaan ketertekanan itu. Data real di lapangan menunjukkan bahwa pria lebih banyak bunuh diri daripada wanita; warga kota lebih banyak bunuh diri dibanding orang desa; para manula lebih banyak bunh diri daripada anak-anak muda; dan manusia dunia maju lebih banyak bunuh diri daripada manusia di dunia ketiga.
Bagaimana dengan para filsuf? Para filsuf juga mencoba berpendapat tentang bunuh diri. Para filsuf yang menolak adanya bunuh diri adalah Aristoteles dan Immanuel Kant. Menurut Immanuel Kant, bunuh diri tidak layak dilakukan karena bunuh diri adalah penghancuran terhadap subyek moral dan juga sekaligus penghancuran terhadap moralitas itu sendiri. Namun, ada juga filsuf yang mendukung bunuh diri, seperti David Hume dan para filsuf Stoa. Di zaman modern ini, para pendukung euthanasia menyetujui bunuh diri sebagai wujud otonomi dan kebebasan pribadi terhadap hidupnya sendiri.
B. Bagaimana dengan Moral Katolik?
Secara tegas, Moral Katolik menolak Bunuh Diri, dan menilainya sebagai sebuah KEJAHATAN BESAR.
Mengapa demikian? Berikut alasan penolakannya.
B.1. Manusia bukanlah Tuan yang memiliki kehidupan.
Meskipun manusia menjalani suatu kehidupan yang ada padanya, kehidupan itu sendiri bukanlah sesuatu yang dicapai berkat upaya mausia itu sendiri. Akan tetapi, kehidupan adalah sesuatu yang diterimanya dan berada di luar kuasa kebebasannya. Karena itu, manusia tidak bisa menyatakan “menerima” atau “menolak” terhadap kehidupan ini. Teologi agama monoteis mengajarkan bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia, dan menganugerahkan kehidupan kepada manusia itu. Kehidupan adalah milik Allah. Peran manusia terhadap kehidupan hanyalah sebatas memelihara, mengembangkan dan memajukan kehidupan agar mencapai kepenuhannya.
Menyia-nyiakan kehidupan adalah tanda ketidaksetiaan dan pengingkaran manusia terhadap peranannya dan bentuk perlawanan terhadap Allah sebagai pemilik kehidupan. Karena itu, bunuh diri adalah tanda nyata dari keputusasaan dan ketidaksetiaan kepada Allah. Bunuh Diri menjadi tanda pemberontakan dan menjadi suatu ekspresi otonomi yang merusak terhadap Allah. Maka dari itu, bunh diri tidak dapat dibenarkan.
B.2. Kewajiban dan Tanggungjawab Masyarakat
Dalam banyak kasus bunuh diri, umumnya masyarakat dan lingkungan terdekatlah yang dipersalahkan karena si pelaku bunuh diri terkondisikan dalam situasi dan pengalaman hidup yang berat tak terpikulkan yang menyebabkannya putus asa dan terhalang untuk melihat kehidupan secara positif dan optimistic. Bunuh diri adalah tanda nyata kegagalan masyarakat dalam mewujudkan keadilan dan dalam memberikan perhatian kasih kepada mereka yang putus asa dan menderita. Bunuh diri sering menjadi bentuk protes dan sekaligus meminta perhatian terhadap orang-orang sekitar agar memperhatikan dan membantu.
Untuk itu, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan bahwa bunuh diri bukanlah ekspresi kebebasan, akan tetapi merupakan tanda kehilangan kebebasan. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kondisi dasar bagi otonomi manusia dalam mengembangkan dan memajukan kehidupan menuju kepenuhannya.
B.3. Keterkaitan Kehidupan satu sama lain
Sering banyak orang berpikir bahwa kehidupannya adalah semata-mata urusannya sendiri, terpisah dan tak terkait dengan kehidupan orang lain sehingga apa yang dilakukan terhadap dirinya sendiri, tidak akan mempengaruhi orang lain. Bunuh Diri seringkali dilandasi oleh keyakinan yang macam itu. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Hakekat manusia sebagai makhluk sosial menjadi landasan bagi suatu kebenaran bahwa kehidupan manusia itu saling berhubungan dan saling terkait satu sama lain. Apa yang terjadi para seseorang akan juga mempengaruhi orang lain.
Karena itu, sebenarnya setiap manusia secara tertentu memiliki dan mengemban tanggung jawab atas kehidupan orang lain. Tindakan bunuh diri jelas akan meninggalkan beban derita dan tanggungjawab moral bagi orang lain. Bagi si pelaku bunuh diri, tindakannya itu menjadi tanda ketidakpeduliannya terhadap kepentingan bersama dan tanggung jawab orang lain dalma satu kesatuan kehidupan. Bunuh diri berarti mengingkari keberadaan dan tanggung jawab sesame. Atau dengan kata lain, Bunuh diri merupakan suatu pengingkaran akan hakekat sosial manusia.
B.4. Bunuh Diri adalah Pelanggaran terhadap Tugas Mencintai dan Mengejar Kesempurnaan Hidup.
Pelaku bunuh diri membuang peluang dan kesempatan untuk terus bertumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Ia menolak untuk terus bertumbuh menuju tingkat kesempurnaan yang dapat dicapainya dalam hidup. Bunuh diri menyebabkan dia kehilangan kesempatan untuk memperbaiki dan mengembangkan diri sendiri.
B.5. Bunuh Diri sebagai Protes terhadap Kejahatan Sosial Politik
Bunuh diri sering juga dipraktekkan sebagai suatu bentuk perlawanan dan pemberontakan terhadap suatu regim atau dictator yang jahat dan kejam. Bagi para pelaku, mati adalah lebih baik dairpada membiarkan diri menyerah dan diperlakukan sewenang-wenang oleh rejim dictatorial. Dalam kasus ini, bunuh diri dilakukan untuk mengingatkan rezim itu bahwa si pelaku bunuh diri bukanlah orang yang tega dan senang mengorbankan kehidupan orang lain, seperti halnya si penguasa rezim, tetapi ia lebih senang mengorbankan diri sendiri demi perwujudan suatu situasi hidup sosial politik yang manusiawi. Kasus lain yang terkait dengan pemahaman bagian ini adalah kasus di mana orang melakukan aksi kekerasan pembunuhan dengan juga membiarkan dirinya terbunuh. Aksi seperti ini kerap menjadi pilihan perjuangan bagi para teroris.
Apapun alasannya, suatu tindakan menghilangkan kehidupan sendiri ataupun kehidupan orang lain adalah sesuatu yang tidak dibenarkan secara moral. Tujuan yang ingin diperjuangkan tidak akan pernah membenarkan cara yang dipakai itu.
C. Gereja Katolik dan Bunuh Diri
Gereja Katolik secara tegas menolak dan tidak membenarkan tindakan bunuh diri. Dulu, Gereja pernah melarang pelayanan liturgis-sakramental bagi orang yang bunuh diri. Tetapi, sekarang ini, hal itu tidak lagi disebutkan secara eksplisit sebagai bunuh diri. Dalam Kanon 1184, dikatakan bahwa: (1) Tidak boleh diberi pemakaman gerejawi, kecuali jika sebelum meninggal, menampakkan sekedar tanda-tanda tobat. Mereka yang mendapatkan perlakuan ini adalah: a. Mereka yang nyata-nyata murtad, mengikuti bidaah dan skisma; b. Mereka yang memilih kremasi jenazah mereka demi alasan yang bertentangan dengan iman kristiani; c. Pendosa-pendosa public lainnya yang tidak dapat diberi pemakaman gerejawi tanpa menimbulkan sandungan bagi kaum beriman.
(2) Jika ada keragua-raguan, hendaknya Ordinaris Wilayah dihubungi, yang keputusannya harus dituruti.
Di lain pihak, Gereja Katolik menjunjung tinggi dan menghargai orang-orang yang mengorbankan hidupnya demi kehidupan orang lain atau demi kebaikan banyak orang serta demi iman. Hidup memang merupakan nilai tertinggi, tetapi nilai hidup bukanlah segalanya. Orang bahkan dituntut untuk mengorbankan hidupnya demi orang lain. Tokoh seperti Mazimilan Maria Kolbe, merupakan model dari orang yang menyerahkan hidupnya demi kebaikan orang lain.
Selasa, 21 April 2009
Aborsi
ABORSI
A. Masalah Pokok dalam Aborsi
Aborsi dapat didefinisikan sebagai pengeluaran janin bayi dari rahim secara paksa. Secara esensial, aborsi menjadi suatu tindakan yang dikecam oleh ajaran moral maupun agama. Namun, dalam prakteknya, kecaman tersebut masih belum terlihat total. Masing-masing lembaga memiliki versinya masing-masing dalam hal pelarangan aborsi, terlebih tentang kapan tepatnya suatu aborsi tidak boleh dilakukan. Jika melihat secara seksama, hal pokok yang menjadi perdebatan seputar aborsi, yaitu “kapan kehidupan manusia itu dimulai?”
a.1. “Kapan kehidupan manusia itu dimulai?”
Berikut adalah sejumlah pendapat mengenai jawaban atas pertanyaan itu:
1. Konsepsi
Sebuah kehidupan dimulai saat sel sperma bersatu dengan sel telur. Persatuan itu akan berkembang menuju kelahiran manusia. Kelompok yang memiliki pendapat ini adalah Gereja Katolik. Menurut Gereja Katolik, betapa pentingnya bagi setiap orang untuk menghormati kehidupan manusia, termasuk manakala secara fisik, kehidupan itu masih terwujud dalam bentuk embrio. Dokumen Gereja “Donum Vitae” mengajarkan secara lebih tegas bahwa setiap fase hidup manusia sejak konsepsi, haruslah dihormati.
2. Kehidupan ada saat mulai adanya getaran syaraf.
Pandangan ini menyatakan bahwa kehidupan dimulai ketika saraf mulai berfungsi dan getaran saraf dapat dideteksi. Dasar pandangan ini adalah bahwa kematian merupakan berhentunya aktivitas otak. Dengan kata lain, kelompok ini menyatakan bahwa kehidupan dimulai sejak berfungsinya otak.
Pandangan ini memperbolehkan aborsi bila dilakukan sebelum hari ke-20 kehamilan.
3. Bergeraknya fetus
Kehidupan mulai dengan bergeraknya fetus dalam rahim ibu. Gerakan itu dapat dirasakan oleh sang ibu. Pandangan ini memperbolehkan aborsi bila dilakukan sebelum bulan ke-4 kehamilan.
4. Viabilitas
Pandangan ini menegaskan bahwa kehidupan manusia dimulai bila janin dinilai telah mampu hidup di luar rahim ibunya. Pandangan ini menjadi landasan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1973 dalam menetapkan bahwa Negara dapat melarang aborsi bila fetus itu telah dinilai dapat hidup di luar rahim ibunya. Itu berarti bahwa aborsi diperbolehkan bila dilakukan sebelum bulan ke-6 kehamilan.
5. Kelahiran
Pandangan ini menyatakan bahwa kemanusiaan baru muncul saat janin itu dilahirkan. Saat ia sudah dilahirkan, maka saat itulah ia menjadi manusia yang independen. Kelompok yang memiliki pendapat ini adalah kelompok yang memperbolehkan aborsi dilakukan pada usia kehamilan berapapun.
B. Sejarah Singkat Aborsi
Sepanjang sejarah hidup manusia, aborsi dipakai sebagai salh satu metode pengaturan kelahiran. Pengaturan kelahiran dalam konteks aborsi bukanlah pencegahan kehamilan, tetapi menggugurkan/mengeluarkan janin yang sudah ada dalam rahim ibu. Debat moral tetnang aborsi sudah dimulai sejak zaman Yunani kuno. Plato dan Aristoteles menerima aborsi karena mencegah pertumbuhan penduduk yang berlebihan di polis-polis Yunani kuno. Tetapi, mereka tidak sepenuhnya menerima. Aristoteles menolak aborsi setelah janin mulai bergerak dalam rahim. Kitab Hukum bangsa Sumer, melarang keras aborsi dan menerapkan hukuman yang keras bagi mereka yang menggugurkan janin yang belum lahir. Sumpah Hipocrater juga menegaskan untuk tidak membantu seorang wanita yang ingin melakukan aborsi.
Pada masyarakat Romawi, secara hukum, aborsi tidak menjadi masalah. Itu baru menjadi masalah bila aborsi dilakukan tanpa persetujuan suami. Pada abad kedua Masehi, muncul gerakan anti aborsi karena terjadi kemerosotan jumlah pertambahan penduduk. Dari sana, kekaisaran romawi menerapkan hukum anti aborsi yang sangat keras sebagai medium untuk menghentikan kemerosotan moral dan untuk memperkuat bangsa. Sikap Yahudi dan Kristiani adalah sangat menentang keras praktek aborsi.
Sejak PD II, praktek aborsi secara diam-diam marak di Amerika Serikat dan di banyak tempat lain di dunia ini. Praktek itulah yang makin mendorong para kaum pro aborsi untuk mendesak pengadilan membatalkan larangan terhadap aborsi. Pada tahun 1973, aborsi dilegalkan di Amerika Serikat. Untuk usia kandungan tiga bulan pertama, keputusan aborsi diserahkan kepada penilaian medis dari dokter yang menangani wanita hamil itu. Sedangkan pada usia kandungan di atas 6 bulan, Negara dapat melarang aborsi karena pada usia kehamilan itu, janin sudah dinilai dapat hidup di luar rahim.
C. Aborsi dan Pembunuhan Janin (Infantisida)
Aborsi dan Infantisida adalah dua istilah yang berbeda. Aborsi adalah penghentian kehamilan atau pengguguran kandungan sebelum kandungan mencapai usia dapat hidup di luar rahim (5-6 bulan). Sedangkan Infantisida adalah tindakan pembunuhan janin dalam rahim setelah janin tersebut mencapai usia dapat hidup di luar rahim.
Aborsi ada dua macam, yaitu aborsi alamiah dan aborsi yang disengaja. Aborsi alamiah: kematian janin sama sekali bukan karena kehendak pihak lain, tetapi terjadi secara alamiah. Aborsi yang disengaja: aborsi yang dilakukan kerena kehendak pihak lain dan dilakukan berkat campur tangan pihak lain.
D. Argumen Pro-Kontra Aborsi
KONTRA- ABORSI PRO-ABORSI
1. Embrio atau janin adalah kehidupan manusia. Aborsi secara moral adalah jahat karena mengambil kehidupan manusia. 1. Embrio bukanlah kehidupan manusia.
2. Agar menjadi sah, maka UU harus lahir dari prinsip yang kuat dan teguh, yaitu penghargaan terhadap kehidupan manusia. 2.Fungsi UU adalah melindungi wanita dari pelaku aborsi yang tidak ahli dan melindungi dokter dari pertanggungjawaban.
3. Mengambil kehidupan yang belum lahir adalah tindakan amoral. 3.Janin adalah seorang pengacau ke dalam kehidupan si wanita.
4. Janin bukanlah bagian dari diri ibu, tetapi unsur yang terpisah dari ibu dengan hak-haknya sendiri. 4.Janin adalah bagian dari tubuh ibu dan tidak lebih dari itu.
5. Hak janin yang belum lahir adalah lebih utama dari hak ibu dalam mengontrol tubuhnya. 5.Hak wanita lebih besar dari janin dan secara moral, adalah benar bila wanita dianjurkan untuk menjalankan haknya untuk tidak hamil sebelum dia menghendakinya.
6. Aborsi secara moral adalah salah dan UU harus mengikuti moralitas. 6.Agama-agama memaksakan kepercayaannya berkaitan dengan aborsi. Hal ini tidak dapat dibenarkan dalam masyarakat pluralistic.
E. Konflik-Konflik Nilai dalam Aborsi
Saat ini, tidak semua Negara melarang adanya aborsi. Beberapa pihak melegalkan aborsi. Pelegalan aborsi ini tidak serta merta mengubah moralitas aborsi itu sendiri. Jika keputusan mayoritas mengizinkan dilakukannya tindakan aborsi, itu tidak membuat aborsi dapat dipandang sebagai suatu tindakan yang bermoral. Tetap saja, aborsi merupakan tindakan amoral.
Pada bagian ini, kita akan melihat sejumlah argument yang sering diajukan untuk membenarkan tindakan aborsi. Semua argument itu berkaitan dengan perbandingan nilai antara kehidupan fetus yang masih berkembang dengan sejumlah nilai lainnya. Pemahaman yang harus dimiliki adalah bahwa dalam sebuah situasi di mana hanya ada satu nilai yang harus dipertahankan dari sekian banyak nilai yang ada, pilihan logis dan yang lebih bermoral-lah yang harus dipilih. Hukum moral itu rasional dan tidak memperbolehkan kita mengambil tindakan yang tidak rasional.
E.1. Kehidupan Sang Ibu
Dalam sejumlah kasus, kehidupan ibu dapat dibahayakan bila kehamilan diteruskan. Salah satu contohnya adalah dalam kehamilan ektopis. Maksudnya adalah bahwa sel telur yang dibuahi tidak berpindah ke dalam rahim tapi ke dalam saluran telur dan berkembang di sana. Dalam situasi yang demikian, embrio jelas tidak mungkin dapat bertahan hidup dan hal itu akan menyebabkan pendarahan yang membahayakan kehidupan sang ibu. Situasi ini merupakan salah satu contoh kasus di mana satu kehidupan berada dalam kondisi yang berlawanan dengan kehidupan lainnya. Hanya kehidupan ibu yang bisa diselamatkan sehingga tidaklah dapat diterima jika janin itu tidak dapat dipindahkan karena jika tidak dilakukan, maka kedua-duanya akan mati.
Maka, aborsi boleh dilakukan dengan pertimbangan bahwa lebih baik menyelamatkan satu kehidupan daripada keduanya binasa.
E.2. Kesehatan Ibu
Mari kita lihat kasus aborsi terapeutis. Dalam kasus ini, kehidupan janin bertentangan dengan kesehatan sang ibu yang mengandung. Para pendukung aborsi terapeutis berargumen bahwa kesehatan ibu yang hamil lebih penting daripada kehidupan janin. Kesehatan fisik menjadi yang lebih utama dalam kasus ini.
Ada sejumlah persoalan berkaitan dengan pandangan ini. Pertama, kehidupan manusia jauh lebih penting daripada sekedar kesehatan fisik. Karena itu dipertanyakan, apakah aborsi perlu dijalankan demi kesehatan? Sakit yang tidak berkaitan dengan kehamilan, tidak harus disembuhkan dengan aborsi. Kehidupan janin adalah nilai yang lebih besar daripada sekedar kesehatan fisik yang dapat diusahakan dengan obat-obat medis.
Kedua, kesehatan mental kurang dapat diterima sebagai alasan untuk melakukan aborsi. Kehamilan normal dari wanita yang menikah, bukanlah penyakit dan tidak menyebabkan gangguan mental. Misalkan, seorang wanita muda yang stress karena takut menghadapi kehamilan pertama. Untuk mengatasi stress itu, ia ingin mengaborsi anaknya. Alasan ini tidak dapat diterima. Sebab, stress-nya wanita itu, tidak membahayakan kehidupan.
E.3. Perkosaan dan Incest
Apakah aborsi diperbolehkan pada wanita korban perkosaan dan incest?
Menurut pandangan umum, seorang wanita yang hamil akibat perkosaan atau incest merupakan korban dari kekejaman dan kekerasan yang tidak manusiawi. Kerusakan mental dan penderitaan batin merupakan akibat langsung dari kehamilan yang terjadi secara terpaksa itu. Sering diajukan bahwa dalam kasus-kasus tragis seperti itu, nilai kesehatan mental dari wanita korban perkosaan, merupakan hal yang paling penting untuk diupayakan dan dapat dicapai dengan aborsi. Meneruskan kehamilan berarti membuat wanita itu menderita akibat trauma kekerasan yang dilakukan terhadapnya. Dengan kata lain, kesehatan mental korban perkosaan lebih penting dari kehidupan janin. Dalam kasus ini, janin dipandang sebagai seorang aggressor terhadap keutuhan dan kehidupan pribadi si wanita. Jika hanya aborsi yang menjadi jalan satu-satunya untuk mempertahankan nilai pribadi dan kemanusiaan si wanita itu, maka aborsi dapat dibenarkan.
Bagaimana pandangan moral berkomentar?
Janin yang muncul dalam korban perkosaan bukanlah aggressor. Yang menjadi aggressor adalah si pelaku perkosaan itu sendiri. Dalam situasi itu, janin adalah sama dengan si wanita. Mereka adalah korban yang tak bersalah. Karena itu, janin tidak dapat dibunuh dengan tuduhan sebagai aggressor. Jika diadakan perbandingan nilai antara kehidupan janin dengan pemulihan psikologis wanita melalui aborsi, maka kehidupan manusia jelas-jelas secara obyektif tetaplah lebih tinggi daripada nilai yang ingin dicapai wanita melalui aborsi itu. Dalam kasus ini, harus dicari upaya alternative untuk menolong korban, yaitu dengan penanganan religius, psikologis, dan social serta menyiapkan adopsi bila wanita tidak ingin memelihara bayi hasil perkosaan itu. Dengan kata lain, moral tetap melarang adanya aborsi untuk kasus-kasus seperti ini.
E.4. Aborsi Eugenis
Argumen yang diajukan oleh para pendukung aborsi eugenic adalah bahwa lebih baik bagi seorang bayi untuk tidak lahir daripada lahir dengan beban fisik yang cacat berat seumur hidup. Karena itu, aborsi dibenarkan bila ditemukan sejumlah kerusakan fisik pada janin yang sedang berkembang dalam rahim ibu.
Bagaimana dengan pandangan moral?
Ada dua nilai yang dipertentangkan, yaitu mempertahankan kehidupan bayi, dan membebaskan bayi dari penderitaannya sebagai bayi yang nantinya cacat. Aborsi eugenic dilakukan tidak demi si janin yang cacat karena tidak membawa keuntungan atau kesembuhan bagi si janin itu sendiri, tapi hanya untuk mengakhiri kehidupannya. Cacatnya si janin itu, bukanlah alasan untuk menghancurkan kehidupan mereka yang baru saja dimulai. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak cacat yang mampu menikmati kehidupan mereka sesuai kemampuannya dengan gembira. Bahkan, sejumlah dari mereka menjadi orang yang berprestasi dan berperanan penting. Kodrat social manusia mewajibkan setiap orang untuk memperhatikan dan memelihara mereka yang cacat. Karena itu, aborsi eugenic tidak pernah dapat dibenarkan.
E.5. Aborsi dan wanita yang tidak menikah
Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa kebanyakan wanita pelaku aborsi adalah mereka yang mengalami kehamilan di luar nikah. Alasan permintaan aborsi mereka adalah bahwa mereka tidak mau dibebani tanggung jawab akibat hubungan seksual pra-nikah yang mereka lakukan. Pada kasus ini, aborsi dilakukan untuk mengatur kelahiran. Kelompok pro-aborsi setuju bahwa aborsi harus dilakukan agar tidak menyebabkan derita batin bagi para gadis remaja itu.
Pandangan moral jelas menyatakan bahwa aborsi bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah itu. Janin hasil seks pra-nikah tetap harus dipertahankan untuk lahir. Dan, ketika lahir, bila sang wanita tidak siap merawatnya, maka adopsi menjadi jalan yang lebih bermartabat dibandingkan aborsi.
F. Gereja Katolik dan Aborsi
Aborsi bukanlah isu tunggal, tetapi terkait dengan penghargaan terhadap kehidupan yang harus dihargai sejak terjadinya konsepsi; penghargaan terhadap status hidup janin; penghargaan terhadap kesejahteraan ibu yang mencakup kemampuan untuk hamil dan melahirkan; serta penghargaan terhadap perlindungan sang ibu dari ancaman penyakit.
Gereja Katolik sudah secara tegas mengajarkan bahwa kehidupan dimulai sejak terjadinya pembuahan. Karenanya, itu harus dihormati dan dilindungi. Aborsi pada dirinya adalah jahat dan tidak netral. Gereja Katolik tetap menegaskan bahwa penghargaan terhadap kehidupan sejak pembuahan adalah nilai yang harus diperjuangkan. Gereja melarang semua bentuk aborsi yang disengaja. Hal itu dikatakan secara nyata dalam dokumen-dokumen Gereja, seperti halnya Humanae Vitae, Donum Vitae, dan Evangelium Vitae.
Lebih lantang lagi, Gereja Katolik mengutuk aborsi karena beberapa alasan berikut:
1. Aborsi adalah tindakan yang melanggar perintah Allah yang ke-5.
2. Pada prinsipnya, semua kehidupan adalah kudus (Donum Vitae art.5)
“Kehidupan manusia adalha kudus karena sejak awal ia membutuhkan kekuasaan Allah pencipta dan untuk selama-lamanya tinggal dalam hubungan khusus dengan Penciptanya. Hanya Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir. Tidak ada seorang pun yang berhak mengakhiri secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah.
3. Aborsi adalah kejahatan moral.
Dalam sejarahnya, Gereja juga tidak henti-hentinya menentang praktek aborsi. Pada tahun 80 M, para Rasul secara jelas melarang pembunuhan terhadap anak yang baru dilahirkan. Selanjutnya, pada tahun 177 M, Athenagoras menyatakan bahwa umat Kristen menganggap para wanita yang menelan ramuan untuk mengugurkan kandungannya sebagai para pembunuh. Ia mengutuk pembunuh-pembunuh itu. Pada tahun 197 M, Tertulianus dalam Apologeticam menyatakan bahwa mencegah kelahiran adalah melakukan pembunuhan. Pada tahun 374 M, dalam suratnya kepada Uskup Amphilochius, St. Basilius menyatakan bahwa seorang wanita yang dengan sengaja membinasakan janin, haruslah diganjari dengan hukuman seorang pembunuh. Mereka yang memberikan ramuan yang mengakibatkan aborsi juga harus dipandang sebagai pembunuh.
A. Masalah Pokok dalam Aborsi
Aborsi dapat didefinisikan sebagai pengeluaran janin bayi dari rahim secara paksa. Secara esensial, aborsi menjadi suatu tindakan yang dikecam oleh ajaran moral maupun agama. Namun, dalam prakteknya, kecaman tersebut masih belum terlihat total. Masing-masing lembaga memiliki versinya masing-masing dalam hal pelarangan aborsi, terlebih tentang kapan tepatnya suatu aborsi tidak boleh dilakukan. Jika melihat secara seksama, hal pokok yang menjadi perdebatan seputar aborsi, yaitu “kapan kehidupan manusia itu dimulai?”
a.1. “Kapan kehidupan manusia itu dimulai?”
Berikut adalah sejumlah pendapat mengenai jawaban atas pertanyaan itu:
1. Konsepsi
Sebuah kehidupan dimulai saat sel sperma bersatu dengan sel telur. Persatuan itu akan berkembang menuju kelahiran manusia. Kelompok yang memiliki pendapat ini adalah Gereja Katolik. Menurut Gereja Katolik, betapa pentingnya bagi setiap orang untuk menghormati kehidupan manusia, termasuk manakala secara fisik, kehidupan itu masih terwujud dalam bentuk embrio. Dokumen Gereja “Donum Vitae” mengajarkan secara lebih tegas bahwa setiap fase hidup manusia sejak konsepsi, haruslah dihormati.
2. Kehidupan ada saat mulai adanya getaran syaraf.
Pandangan ini menyatakan bahwa kehidupan dimulai ketika saraf mulai berfungsi dan getaran saraf dapat dideteksi. Dasar pandangan ini adalah bahwa kematian merupakan berhentunya aktivitas otak. Dengan kata lain, kelompok ini menyatakan bahwa kehidupan dimulai sejak berfungsinya otak.
Pandangan ini memperbolehkan aborsi bila dilakukan sebelum hari ke-20 kehamilan.
3. Bergeraknya fetus
Kehidupan mulai dengan bergeraknya fetus dalam rahim ibu. Gerakan itu dapat dirasakan oleh sang ibu. Pandangan ini memperbolehkan aborsi bila dilakukan sebelum bulan ke-4 kehamilan.
4. Viabilitas
Pandangan ini menegaskan bahwa kehidupan manusia dimulai bila janin dinilai telah mampu hidup di luar rahim ibunya. Pandangan ini menjadi landasan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1973 dalam menetapkan bahwa Negara dapat melarang aborsi bila fetus itu telah dinilai dapat hidup di luar rahim ibunya. Itu berarti bahwa aborsi diperbolehkan bila dilakukan sebelum bulan ke-6 kehamilan.
5. Kelahiran
Pandangan ini menyatakan bahwa kemanusiaan baru muncul saat janin itu dilahirkan. Saat ia sudah dilahirkan, maka saat itulah ia menjadi manusia yang independen. Kelompok yang memiliki pendapat ini adalah kelompok yang memperbolehkan aborsi dilakukan pada usia kehamilan berapapun.
B. Sejarah Singkat Aborsi
Sepanjang sejarah hidup manusia, aborsi dipakai sebagai salh satu metode pengaturan kelahiran. Pengaturan kelahiran dalam konteks aborsi bukanlah pencegahan kehamilan, tetapi menggugurkan/mengeluarkan janin yang sudah ada dalam rahim ibu. Debat moral tetnang aborsi sudah dimulai sejak zaman Yunani kuno. Plato dan Aristoteles menerima aborsi karena mencegah pertumbuhan penduduk yang berlebihan di polis-polis Yunani kuno. Tetapi, mereka tidak sepenuhnya menerima. Aristoteles menolak aborsi setelah janin mulai bergerak dalam rahim. Kitab Hukum bangsa Sumer, melarang keras aborsi dan menerapkan hukuman yang keras bagi mereka yang menggugurkan janin yang belum lahir. Sumpah Hipocrater juga menegaskan untuk tidak membantu seorang wanita yang ingin melakukan aborsi.
Pada masyarakat Romawi, secara hukum, aborsi tidak menjadi masalah. Itu baru menjadi masalah bila aborsi dilakukan tanpa persetujuan suami. Pada abad kedua Masehi, muncul gerakan anti aborsi karena terjadi kemerosotan jumlah pertambahan penduduk. Dari sana, kekaisaran romawi menerapkan hukum anti aborsi yang sangat keras sebagai medium untuk menghentikan kemerosotan moral dan untuk memperkuat bangsa. Sikap Yahudi dan Kristiani adalah sangat menentang keras praktek aborsi.
Sejak PD II, praktek aborsi secara diam-diam marak di Amerika Serikat dan di banyak tempat lain di dunia ini. Praktek itulah yang makin mendorong para kaum pro aborsi untuk mendesak pengadilan membatalkan larangan terhadap aborsi. Pada tahun 1973, aborsi dilegalkan di Amerika Serikat. Untuk usia kandungan tiga bulan pertama, keputusan aborsi diserahkan kepada penilaian medis dari dokter yang menangani wanita hamil itu. Sedangkan pada usia kandungan di atas 6 bulan, Negara dapat melarang aborsi karena pada usia kehamilan itu, janin sudah dinilai dapat hidup di luar rahim.
C. Aborsi dan Pembunuhan Janin (Infantisida)
Aborsi dan Infantisida adalah dua istilah yang berbeda. Aborsi adalah penghentian kehamilan atau pengguguran kandungan sebelum kandungan mencapai usia dapat hidup di luar rahim (5-6 bulan). Sedangkan Infantisida adalah tindakan pembunuhan janin dalam rahim setelah janin tersebut mencapai usia dapat hidup di luar rahim.
Aborsi ada dua macam, yaitu aborsi alamiah dan aborsi yang disengaja. Aborsi alamiah: kematian janin sama sekali bukan karena kehendak pihak lain, tetapi terjadi secara alamiah. Aborsi yang disengaja: aborsi yang dilakukan kerena kehendak pihak lain dan dilakukan berkat campur tangan pihak lain.
D. Argumen Pro-Kontra Aborsi
KONTRA- ABORSI PRO-ABORSI
1. Embrio atau janin adalah kehidupan manusia. Aborsi secara moral adalah jahat karena mengambil kehidupan manusia. 1. Embrio bukanlah kehidupan manusia.
2. Agar menjadi sah, maka UU harus lahir dari prinsip yang kuat dan teguh, yaitu penghargaan terhadap kehidupan manusia. 2.Fungsi UU adalah melindungi wanita dari pelaku aborsi yang tidak ahli dan melindungi dokter dari pertanggungjawaban.
3. Mengambil kehidupan yang belum lahir adalah tindakan amoral. 3.Janin adalah seorang pengacau ke dalam kehidupan si wanita.
4. Janin bukanlah bagian dari diri ibu, tetapi unsur yang terpisah dari ibu dengan hak-haknya sendiri. 4.Janin adalah bagian dari tubuh ibu dan tidak lebih dari itu.
5. Hak janin yang belum lahir adalah lebih utama dari hak ibu dalam mengontrol tubuhnya. 5.Hak wanita lebih besar dari janin dan secara moral, adalah benar bila wanita dianjurkan untuk menjalankan haknya untuk tidak hamil sebelum dia menghendakinya.
6. Aborsi secara moral adalah salah dan UU harus mengikuti moralitas. 6.Agama-agama memaksakan kepercayaannya berkaitan dengan aborsi. Hal ini tidak dapat dibenarkan dalam masyarakat pluralistic.
E. Konflik-Konflik Nilai dalam Aborsi
Saat ini, tidak semua Negara melarang adanya aborsi. Beberapa pihak melegalkan aborsi. Pelegalan aborsi ini tidak serta merta mengubah moralitas aborsi itu sendiri. Jika keputusan mayoritas mengizinkan dilakukannya tindakan aborsi, itu tidak membuat aborsi dapat dipandang sebagai suatu tindakan yang bermoral. Tetap saja, aborsi merupakan tindakan amoral.
Pada bagian ini, kita akan melihat sejumlah argument yang sering diajukan untuk membenarkan tindakan aborsi. Semua argument itu berkaitan dengan perbandingan nilai antara kehidupan fetus yang masih berkembang dengan sejumlah nilai lainnya. Pemahaman yang harus dimiliki adalah bahwa dalam sebuah situasi di mana hanya ada satu nilai yang harus dipertahankan dari sekian banyak nilai yang ada, pilihan logis dan yang lebih bermoral-lah yang harus dipilih. Hukum moral itu rasional dan tidak memperbolehkan kita mengambil tindakan yang tidak rasional.
E.1. Kehidupan Sang Ibu
Dalam sejumlah kasus, kehidupan ibu dapat dibahayakan bila kehamilan diteruskan. Salah satu contohnya adalah dalam kehamilan ektopis. Maksudnya adalah bahwa sel telur yang dibuahi tidak berpindah ke dalam rahim tapi ke dalam saluran telur dan berkembang di sana. Dalam situasi yang demikian, embrio jelas tidak mungkin dapat bertahan hidup dan hal itu akan menyebabkan pendarahan yang membahayakan kehidupan sang ibu. Situasi ini merupakan salah satu contoh kasus di mana satu kehidupan berada dalam kondisi yang berlawanan dengan kehidupan lainnya. Hanya kehidupan ibu yang bisa diselamatkan sehingga tidaklah dapat diterima jika janin itu tidak dapat dipindahkan karena jika tidak dilakukan, maka kedua-duanya akan mati.
Maka, aborsi boleh dilakukan dengan pertimbangan bahwa lebih baik menyelamatkan satu kehidupan daripada keduanya binasa.
E.2. Kesehatan Ibu
Mari kita lihat kasus aborsi terapeutis. Dalam kasus ini, kehidupan janin bertentangan dengan kesehatan sang ibu yang mengandung. Para pendukung aborsi terapeutis berargumen bahwa kesehatan ibu yang hamil lebih penting daripada kehidupan janin. Kesehatan fisik menjadi yang lebih utama dalam kasus ini.
Ada sejumlah persoalan berkaitan dengan pandangan ini. Pertama, kehidupan manusia jauh lebih penting daripada sekedar kesehatan fisik. Karena itu dipertanyakan, apakah aborsi perlu dijalankan demi kesehatan? Sakit yang tidak berkaitan dengan kehamilan, tidak harus disembuhkan dengan aborsi. Kehidupan janin adalah nilai yang lebih besar daripada sekedar kesehatan fisik yang dapat diusahakan dengan obat-obat medis.
Kedua, kesehatan mental kurang dapat diterima sebagai alasan untuk melakukan aborsi. Kehamilan normal dari wanita yang menikah, bukanlah penyakit dan tidak menyebabkan gangguan mental. Misalkan, seorang wanita muda yang stress karena takut menghadapi kehamilan pertama. Untuk mengatasi stress itu, ia ingin mengaborsi anaknya. Alasan ini tidak dapat diterima. Sebab, stress-nya wanita itu, tidak membahayakan kehidupan.
E.3. Perkosaan dan Incest
Apakah aborsi diperbolehkan pada wanita korban perkosaan dan incest?
Menurut pandangan umum, seorang wanita yang hamil akibat perkosaan atau incest merupakan korban dari kekejaman dan kekerasan yang tidak manusiawi. Kerusakan mental dan penderitaan batin merupakan akibat langsung dari kehamilan yang terjadi secara terpaksa itu. Sering diajukan bahwa dalam kasus-kasus tragis seperti itu, nilai kesehatan mental dari wanita korban perkosaan, merupakan hal yang paling penting untuk diupayakan dan dapat dicapai dengan aborsi. Meneruskan kehamilan berarti membuat wanita itu menderita akibat trauma kekerasan yang dilakukan terhadapnya. Dengan kata lain, kesehatan mental korban perkosaan lebih penting dari kehidupan janin. Dalam kasus ini, janin dipandang sebagai seorang aggressor terhadap keutuhan dan kehidupan pribadi si wanita. Jika hanya aborsi yang menjadi jalan satu-satunya untuk mempertahankan nilai pribadi dan kemanusiaan si wanita itu, maka aborsi dapat dibenarkan.
Bagaimana pandangan moral berkomentar?
Janin yang muncul dalam korban perkosaan bukanlah aggressor. Yang menjadi aggressor adalah si pelaku perkosaan itu sendiri. Dalam situasi itu, janin adalah sama dengan si wanita. Mereka adalah korban yang tak bersalah. Karena itu, janin tidak dapat dibunuh dengan tuduhan sebagai aggressor. Jika diadakan perbandingan nilai antara kehidupan janin dengan pemulihan psikologis wanita melalui aborsi, maka kehidupan manusia jelas-jelas secara obyektif tetaplah lebih tinggi daripada nilai yang ingin dicapai wanita melalui aborsi itu. Dalam kasus ini, harus dicari upaya alternative untuk menolong korban, yaitu dengan penanganan religius, psikologis, dan social serta menyiapkan adopsi bila wanita tidak ingin memelihara bayi hasil perkosaan itu. Dengan kata lain, moral tetap melarang adanya aborsi untuk kasus-kasus seperti ini.
E.4. Aborsi Eugenis
Argumen yang diajukan oleh para pendukung aborsi eugenic adalah bahwa lebih baik bagi seorang bayi untuk tidak lahir daripada lahir dengan beban fisik yang cacat berat seumur hidup. Karena itu, aborsi dibenarkan bila ditemukan sejumlah kerusakan fisik pada janin yang sedang berkembang dalam rahim ibu.
Bagaimana dengan pandangan moral?
Ada dua nilai yang dipertentangkan, yaitu mempertahankan kehidupan bayi, dan membebaskan bayi dari penderitaannya sebagai bayi yang nantinya cacat. Aborsi eugenic dilakukan tidak demi si janin yang cacat karena tidak membawa keuntungan atau kesembuhan bagi si janin itu sendiri, tapi hanya untuk mengakhiri kehidupannya. Cacatnya si janin itu, bukanlah alasan untuk menghancurkan kehidupan mereka yang baru saja dimulai. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak cacat yang mampu menikmati kehidupan mereka sesuai kemampuannya dengan gembira. Bahkan, sejumlah dari mereka menjadi orang yang berprestasi dan berperanan penting. Kodrat social manusia mewajibkan setiap orang untuk memperhatikan dan memelihara mereka yang cacat. Karena itu, aborsi eugenic tidak pernah dapat dibenarkan.
E.5. Aborsi dan wanita yang tidak menikah
Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa kebanyakan wanita pelaku aborsi adalah mereka yang mengalami kehamilan di luar nikah. Alasan permintaan aborsi mereka adalah bahwa mereka tidak mau dibebani tanggung jawab akibat hubungan seksual pra-nikah yang mereka lakukan. Pada kasus ini, aborsi dilakukan untuk mengatur kelahiran. Kelompok pro-aborsi setuju bahwa aborsi harus dilakukan agar tidak menyebabkan derita batin bagi para gadis remaja itu.
Pandangan moral jelas menyatakan bahwa aborsi bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah itu. Janin hasil seks pra-nikah tetap harus dipertahankan untuk lahir. Dan, ketika lahir, bila sang wanita tidak siap merawatnya, maka adopsi menjadi jalan yang lebih bermartabat dibandingkan aborsi.
F. Gereja Katolik dan Aborsi
Aborsi bukanlah isu tunggal, tetapi terkait dengan penghargaan terhadap kehidupan yang harus dihargai sejak terjadinya konsepsi; penghargaan terhadap status hidup janin; penghargaan terhadap kesejahteraan ibu yang mencakup kemampuan untuk hamil dan melahirkan; serta penghargaan terhadap perlindungan sang ibu dari ancaman penyakit.
Gereja Katolik sudah secara tegas mengajarkan bahwa kehidupan dimulai sejak terjadinya pembuahan. Karenanya, itu harus dihormati dan dilindungi. Aborsi pada dirinya adalah jahat dan tidak netral. Gereja Katolik tetap menegaskan bahwa penghargaan terhadap kehidupan sejak pembuahan adalah nilai yang harus diperjuangkan. Gereja melarang semua bentuk aborsi yang disengaja. Hal itu dikatakan secara nyata dalam dokumen-dokumen Gereja, seperti halnya Humanae Vitae, Donum Vitae, dan Evangelium Vitae.
Lebih lantang lagi, Gereja Katolik mengutuk aborsi karena beberapa alasan berikut:
1. Aborsi adalah tindakan yang melanggar perintah Allah yang ke-5.
2. Pada prinsipnya, semua kehidupan adalah kudus (Donum Vitae art.5)
“Kehidupan manusia adalha kudus karena sejak awal ia membutuhkan kekuasaan Allah pencipta dan untuk selama-lamanya tinggal dalam hubungan khusus dengan Penciptanya. Hanya Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir. Tidak ada seorang pun yang berhak mengakhiri secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah.
3. Aborsi adalah kejahatan moral.
Dalam sejarahnya, Gereja juga tidak henti-hentinya menentang praktek aborsi. Pada tahun 80 M, para Rasul secara jelas melarang pembunuhan terhadap anak yang baru dilahirkan. Selanjutnya, pada tahun 177 M, Athenagoras menyatakan bahwa umat Kristen menganggap para wanita yang menelan ramuan untuk mengugurkan kandungannya sebagai para pembunuh. Ia mengutuk pembunuh-pembunuh itu. Pada tahun 197 M, Tertulianus dalam Apologeticam menyatakan bahwa mencegah kelahiran adalah melakukan pembunuhan. Pada tahun 374 M, dalam suratnya kepada Uskup Amphilochius, St. Basilius menyatakan bahwa seorang wanita yang dengan sengaja membinasakan janin, haruslah diganjari dengan hukuman seorang pembunuh. Mereka yang memberikan ramuan yang mengakibatkan aborsi juga harus dipandang sebagai pembunuh.
Langganan:
Postingan (Atom)