Frenzzz...
bahan untuk ULANGAN HARIAN III adalah ABORSI, EUTHANASIA, dan SUICIDE...
WOMAN'S ABUSE tidak menjadi bahan ulangan kita.
Jadwal ulangan harian III:
XI IPA 2 : Kamis, 14 Mei 2009
Selasa, 19 Mei 2009 : XI Ipa 1,3,4 dan XI Ips 1-3
Format Ulangan Harian III:
Pilihan Ganda : 25 soal
Essay: memilih 1 soal dari 3 soal yang tersedia
Selamat mempersiapkan!!!
Selasa, 12 Mei 2009
Jumat, 08 Mei 2009
EUTHANASIA
Kata Euthanasia berasal dari bahasa Yunani: (eu = baik) dan (thanatos = kematian). Secara harafiah, euthanasia berarti “mati baik”. Dalam bahasa medis, euthanasia dimaksudkan sebagai suatu bentuk pertolongan yang diberikan dokter kepada pasien yang akan meninggal agar dia meninggal tanpa rasa sakit, menderita, dan sengsara. Barulah pada abad ke-20, prakteek euthanasia dimaksudkan sebagai membunuh secara langsung dan tanpa rasa sakit terhadap seorang pasien yang tidak mungkin lagi dapat sembuh dan mau segera mati (daripada terus menderita). Kematiannya dipercepat dengan mengunakan injeksi yang mematikan. Selanjutnya, terjadi penyimpangan yang lebih jauh dalam praktek euthanasia karena itu menjadi pembunuhan terencana dan terprogram terhadap sesame manuisa yang secara sosial dan ekonomi tidak lagi menguntungkan dunia, khususnya mereka yang cacat mental dan cacat fisik.
A. Distinksi (Pembedaan)
Para dokter senantiasa membedakan antara euthanasia negative dan positif. Euthanasia negative adalah tidak memberikan (menghentikan) pelayanan medis kepada pasien terminal sehingga dia meninggal secara alami. Hidupnya tidak diperpanjang secara buatan (bantuan alat-alat). Euthanasia negative juga disebut euthanasia tidak langsung (pasif). Dalam euthanasia pasif, keadaan pasien sudah diketahui yakni bahwa dia akan mati secara cepat atau lambat. Penghentian perawatan medis tidak dimaksudkan secara langsung untuk membunuhnya. Jadi, kematian pasien tidak disebabkan oleh penghentian pelayanan medis, tetapi oleh penyakit yang diderita pasien itu.
Euthanasia positif merupakan pelayanan terapeutik yang dirancang untuk mempercepat kematian si pasien dari yang seharusnya terjadi. Euthanasia jenis ini juga disebut sebagai “mercy killings”. Ungkapan tersebut hanyalah sebuah eufemisme dari tindakan membunuh pasien secara terencana. Euthanasia positif ini memang dimaksudkan untuk segera mengakhiri kehidupan pasien dan alasan utama yang umumnya diajukan adalah “belaskasihan” pada pasien: daripada dia menderita lebih baik kehidupannya diajukan saja. Dalam perdebatan medis, euthanasia positif harus didasarkan pada kehendak rela dari pasien bahwa dia menyatakan keinginan bulat untuk meminta dokter bekerjasama agar kematiannya dipercepat. Jadi, tindakan ini memang dimaksudkan untuk mematikan pasien.
B. Problem Moral
B.1. Euthanasia Negatif
Euthanasia negative hanya dimaksudkan sebagai praktek medis di mana segala macam cara untuk memperpanjang kehidupan sudah tidak mungkin lagi sehingga oran dihadapkan pada pilihan meneruskan perawatan atau menghentikannya. Di sini, tidak ada lagi harapan menjadi lebih baik.
Tradisi moral Katolik menerima dan membenarkan suatu tindakan medis yang dimaksudkan untuk menghilangkan rasa sakit dan kegelisahan – walaupun itu mempercepat kematian menjadi suatu akibat yang mungkin dapat terjadi. Hal ini berbeda misalnya dengan menghentikan segala macam pelayanan medis dengan maksud agar pasien dapat meninggal secara alami. Dalam arti yang paling ketat, euthanasia negative adalah mempersingkat penderitaan atau penyakit yang berat dengan menghentikan atau tidak memberikan pelayanan medis lagi. Ide dasarnya adalah tidak memperpanjang penderitaan seorang pasien yang menyebabkan dia tidak bisa mati dengan tenang dan damai.
Masalah moral yang berkaitan dengan euthanasia negatif ini adalah “apakah tidak melakukan tindakan medis dengan tujuan tidak memperpanjang proses kematian baik secara moral?” Umumnya para moralis berpendapat bahwa tidak ada masalah moral yang amat serius dan berat berkaitan dengan euthanasia pasif ini. Euthanasia negative ini dapat secara formal ditolak bila hal tersebut terlalu diperluas dan bila pertimbangannya hanya didasarkan pada asas manfaat atau kegunaan. Ada sejumlah kecenderungan dalam di mana pasien tidak saja dibiarkan agar mati dengan layak, tetapi dengan tidak memberikan pelayanan medis, pasien sengaja untuk dihabisi dengan cara sederhana, terutama untuk mereka yang sakitnya lama sehingga tidak punya potensi ekonomi. Karena itu, profesi medis mesti menyadari imperative untuk menolak setiap prinsip yang dilandasi asas manfaat atau kegunaan yang mendorong praktek euthanasia positif atau memanipulasi euthanasia negative.
B.2. Euthanasia Positif
Di banyak negara, promosi legalisasi euthanasia positif menimbulkan pro-kontra yang luas dalam masyarakat. Sulit diingkari bahwa sebagian masyarakat maju, memiliki landasan hidup falsafah utilitarian dan kurang memiliki respek pada pribadi-pribadi serta kemanusiaan. Mereka melihat euthanasia positif sebagai pilihan untuk bebas dari penderitaan. Ciri masyarakat yang semakin individualistis dimana ikatan kekeluargaan dan saling memperhatikan semakin pudar, telah membuat banyak orang mengalami kesendirian dan perasaan tercampakkan. Mereka itu umumnya amat rentan terhadap penderitaan dan sulit menerima realitas hidup: menderita sakit, makin tua, makin tak berdaya, sendirian. Perjuangan legalisasi euthanasia positif lebih berlandaskan pada argument yang dibangun atas realitas itu sehingga terlihat jelas bahwa perjuangan legalisasi itu hanya sekedar sebagai pelarian dari kenyataan hidup.
Moral tidak dapat menerima dan tidak dapat membenarkan euthanasia positif. Hal tersebut tidak ada yang meragukannya. Upaya penghentian euthanasia positif tidaklah mudah karena yang terlebih dahulu harus dihadapi adalah budaya utilitarian yang telah menjadi ciri kehidupan modern. positif. Hal tersebut tidak ada yang meragukannya. Upaya penghentian euthanasia positif tidaklah mudah karena yang terlebih dahulu harus dihadapi adalah budaya utilitarian yang telah menjadi ciri kehidupan modern. Yang mesti terus menerus dipromosikan sekarang adalah penghargaan terhadap pribadi dan kemanusiaan atas dasar norma moral “jangan membunuh”.
Menurut Bernard Haring, argument utama untuk menolak euthanasia positif terletak pada perspektif kebebasan. Apa yang disebut “bebas untuk mati” dengan memaksakan kematian sesuai dengan keinginan dan kehendak sendiri, sebenarnya bukan ungkapan kebebasan tetapi justru menghilangkan keutuhan kebebasan untuk menerima kematian. Mewujudkan kebebasan memilih dalam kehidupan atas dasar kekuatan manusia dan dalam kematian atas dasar ketakberdayaan manusia, merupakan pengakuan yang paling tepat atas eksistensi keterciptaan manusia dalam dua realitas hidup, yaitu kehidupan dan kematian.
Dari sudut pandang praktis, euthanasia positif sangatlah problematic. Bila euthanasia positif dilegalisasi dan didasarkan pada falsafah manfaat ekonomis, siapa yang harus membuat keputusan final bagi pelaksanaannya? Mereka yang dibunuh dengan “belaskasihan” karena kondisi mereka, tidak dapat membuat keputusan rasional atas dasar keyakinan teguh. Amat mungkin bahwa mereka memutuskan itu karena kecemasan atau rasa salah mereka akan resiko atau kesulitan yang mereka timbulkan bagi keluarga karena keadaan nyata mereka. Dengan rasa salah dalam hati dan ditambah lagi dengan adanya penolakan, yang ada hanyalah penyesalan, mengapa hidup? DI sini, manusia tertekan dan tidak bebas lagi membuat keputusan dan terpaksa memilih mati saja. Banyak orang tua bunuh diri di negara maju karena sikap masyarakat yang memperlakukan orang tua sebagai beban masyarakat. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa di balik topeng upaya rasionalisasi untuk melegalisasi euthanasia, tersembunyi motivasi yang mengerikan, yaitu “marjinalisasi” kehidupan, penghilangan makna kehidupan dan kematian itu sendiri.
Pada titik ini, mesti disadari bahwa moral Kristen berhadapan dengan sebuah kesulitan besar untuk memberikan motivasi yang meyakinkan kepad amereka yang tidak lagi percaya pada penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Demikian juga, kepada mereka yang tidak lagi mampu menangkap nilai dari penderitaan dan pelayanan kasih kepada manusia yang menderita. Di sinilah titik temu moral kristiani dengan etika medis.
Pelayanan kasih merupakan sentral pemahaman dan komitmen moral kristiani dalam pelayanan terhadap kehidupan. Kehidupan diterima sebagai pemberian dan karenanya mesti diperlakukan dengan hormat, syukur, dan bertanggungjawab. Sakit dan penderitaan adalah bagian integral dari kehidupan. Dalam Kristus, manusia menemukan makna dan nilai penderitaan walaupun penderitaan itu pada dirinya adalah negative. Karena itu, kesengajaan untuk mengambil atau menghabisi kehidupan seseorang, tidak dapat dibenarkan oleh moral kristiani. Euthanasia positif ditolak dan dinilai immoral.
C. Pendapat Pro-Kontra Euthanasia
C.1. Pendapat yang mendukung Euthanasia:
a. Kehidupan seseorang yang menderita sakit terminal, tidak lagi bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat. Dia juga tidak lagi memiliki tugas-tugas yang dapat dia jalankan bagi dirinya maupun bagi orang lain. Memperpanjang masa hidupnya (masa sakitnya), tidak member manfaat apa-apa selain beban baginya dan bagi orang lain. Karenanya, masuk akal kalau kehidupannya dihentikan saja.
b. Dalam menghadapi dua hal jahat, orang mesti memilih kejahatan yang lebih ringan. Memperpanjang penderitaan seseorang merupakan suatu kejahatan yang lebih berat dibandingkan dengan menghentikan kehidupan seseorang.
c. Adalah tidak manusiawi dan tidak masuk akal bila memperpanjang hidup seorang pasien terminal sementara dia sendiri tidak menghendakinya lagi.
d. Mereka yang tidak percaya akan Allah, sah saja mengatakan bahwa mereka adalah tuan atas kehidupan mereka sehingga dapat dengan bebas memutuskan sendiri untuk menghentikan kehidupan.
e. Kebebasan orang untuk berbuat sesuatu hendaknya tidak dibatasi.
f. Euthanasia positif sukarela adalha tindakna belaskasih terhadap keluarga dan masyarakat karena dengan itu, pasien memilih untuk tidak membebani keluarganya dengan memperpanjang masa penderitaannya karena akan memakan biaya dan tenaga.
g. Orang beriman percaya bahwa Allah yang menganugerahkan kehidupan. Tetapi, tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengintervensi kehidupan kita, karena Allah mempercayai kita sebagai pemelihara kehidupan. Jadi, masuk akal bahwa Allah tidak menghendaki kita menderita secara tidak perlu dan kita dapat mengakhiri penderitaan itu.
C.2. Pendapat yang menolak Euthanasia:
a. Tradisi Barat dan filsafat Teistis, menolak pembunuhan langsung. Argumen dasarnya adalah bahwa Allah adalah penguasa langsung kehidupan manusia. Kita hanya mengatur dan memelihara kehidupan kita, tetapi kita bukanlah pemiliknya.
b. Manusia sebagai makhluk rasional adalah dasar dari moralitas. Dibenarkan bahwa manusia mengintervensi kehidupannya demi meningkatkan mutu dan peluang hidup. Tidaklah bijaksana menghentikan penderitaan dengan mengakhiri kehidupan. Lebih masuk akal, bila intervensi itu dimaksudkan untuk menghilangkan sakit dan penderitaan serta bukan membunuh pasien. Dalam hal ini, sekarang sudah muncul banyak obat medis untuk menghilangkan rasa sakit itu.
c. Menyebut euthanasia positif mengandaikan bahwa si pasien dengan bebas dan sukarela, meminta untuk mati. Demi menghindari kesalahpahaman dan penyimpangan maka sebaiknya si pasien mengajukan permintaan tertulis dan ditandatangani di hadapan saksi. Pertanyaannya, apakah pasien tersebut sungguh berada dalam posisi bebas dan mampu menyatakan serta mengevaluasi kehidupannya sehingga dengan rela pula meminta untuk mengakhiri kehidupannya? Jadi, persoalannya persis menyangkut kebebasan utnuk menyatakan keinginannya. Dapatkah dijamin bahwa di sana tidak ada tekanan, dan penciptaan kondisi marjinal bagi si pasien sehingga dia merasa terbuang, tidak berguna, dan frustasi?
d. Waktu bagi injeksi mematikan biasanya ditentukan. Hal itu persis sama dengan eksekusi hukuman mati. Banyak negara menolak hukuman mati karena tidak manusiawi. Adalah kejam sekali bila menentukan kapan seseorang harus mati, apalagi jika memberitahukannya kepada pasien itu.
e. Siapa yang harus menentukan dan mengatur injeksi mematikan? Pelaku mestinya bukan dokter karena hal itu bertentangan dengan sumpah profesinya.
f. Euthanasia positif adalah tidak manusiawi. Euthanasia positif itu tidak sama dengan “mati dengan hormat dan tenang”. Kemungkinan kejahatan di dalamnya berkaitan dengan legalisasi euthanasia, akan menghantui dan menakutkan bagi orang-orang usia lanjut karena jika mereka sakit, maka itulah kesempatan mengeksekusi mereka dan mengeliminasi mereka dari kehidupan dan lingkungan sosial. Adalah lebih manusiawi jika membiarkan alam kehidupan berjalan apa adanya, dan jika kematian datang, biarlah dia datang, tanpa ada campur tangan manusia atau kuasa manusia untuk mengontrolnya.
A. Distinksi (Pembedaan)
Para dokter senantiasa membedakan antara euthanasia negative dan positif. Euthanasia negative adalah tidak memberikan (menghentikan) pelayanan medis kepada pasien terminal sehingga dia meninggal secara alami. Hidupnya tidak diperpanjang secara buatan (bantuan alat-alat). Euthanasia negative juga disebut euthanasia tidak langsung (pasif). Dalam euthanasia pasif, keadaan pasien sudah diketahui yakni bahwa dia akan mati secara cepat atau lambat. Penghentian perawatan medis tidak dimaksudkan secara langsung untuk membunuhnya. Jadi, kematian pasien tidak disebabkan oleh penghentian pelayanan medis, tetapi oleh penyakit yang diderita pasien itu.
Euthanasia positif merupakan pelayanan terapeutik yang dirancang untuk mempercepat kematian si pasien dari yang seharusnya terjadi. Euthanasia jenis ini juga disebut sebagai “mercy killings”. Ungkapan tersebut hanyalah sebuah eufemisme dari tindakan membunuh pasien secara terencana. Euthanasia positif ini memang dimaksudkan untuk segera mengakhiri kehidupan pasien dan alasan utama yang umumnya diajukan adalah “belaskasihan” pada pasien: daripada dia menderita lebih baik kehidupannya diajukan saja. Dalam perdebatan medis, euthanasia positif harus didasarkan pada kehendak rela dari pasien bahwa dia menyatakan keinginan bulat untuk meminta dokter bekerjasama agar kematiannya dipercepat. Jadi, tindakan ini memang dimaksudkan untuk mematikan pasien.
B. Problem Moral
B.1. Euthanasia Negatif
Euthanasia negative hanya dimaksudkan sebagai praktek medis di mana segala macam cara untuk memperpanjang kehidupan sudah tidak mungkin lagi sehingga oran dihadapkan pada pilihan meneruskan perawatan atau menghentikannya. Di sini, tidak ada lagi harapan menjadi lebih baik.
Tradisi moral Katolik menerima dan membenarkan suatu tindakan medis yang dimaksudkan untuk menghilangkan rasa sakit dan kegelisahan – walaupun itu mempercepat kematian menjadi suatu akibat yang mungkin dapat terjadi. Hal ini berbeda misalnya dengan menghentikan segala macam pelayanan medis dengan maksud agar pasien dapat meninggal secara alami. Dalam arti yang paling ketat, euthanasia negative adalah mempersingkat penderitaan atau penyakit yang berat dengan menghentikan atau tidak memberikan pelayanan medis lagi. Ide dasarnya adalah tidak memperpanjang penderitaan seorang pasien yang menyebabkan dia tidak bisa mati dengan tenang dan damai.
Masalah moral yang berkaitan dengan euthanasia negatif ini adalah “apakah tidak melakukan tindakan medis dengan tujuan tidak memperpanjang proses kematian baik secara moral?” Umumnya para moralis berpendapat bahwa tidak ada masalah moral yang amat serius dan berat berkaitan dengan euthanasia pasif ini. Euthanasia negative ini dapat secara formal ditolak bila hal tersebut terlalu diperluas dan bila pertimbangannya hanya didasarkan pada asas manfaat atau kegunaan. Ada sejumlah kecenderungan dalam di mana pasien tidak saja dibiarkan agar mati dengan layak, tetapi dengan tidak memberikan pelayanan medis, pasien sengaja untuk dihabisi dengan cara sederhana, terutama untuk mereka yang sakitnya lama sehingga tidak punya potensi ekonomi. Karena itu, profesi medis mesti menyadari imperative untuk menolak setiap prinsip yang dilandasi asas manfaat atau kegunaan yang mendorong praktek euthanasia positif atau memanipulasi euthanasia negative.
B.2. Euthanasia Positif
Di banyak negara, promosi legalisasi euthanasia positif menimbulkan pro-kontra yang luas dalam masyarakat. Sulit diingkari bahwa sebagian masyarakat maju, memiliki landasan hidup falsafah utilitarian dan kurang memiliki respek pada pribadi-pribadi serta kemanusiaan. Mereka melihat euthanasia positif sebagai pilihan untuk bebas dari penderitaan. Ciri masyarakat yang semakin individualistis dimana ikatan kekeluargaan dan saling memperhatikan semakin pudar, telah membuat banyak orang mengalami kesendirian dan perasaan tercampakkan. Mereka itu umumnya amat rentan terhadap penderitaan dan sulit menerima realitas hidup: menderita sakit, makin tua, makin tak berdaya, sendirian. Perjuangan legalisasi euthanasia positif lebih berlandaskan pada argument yang dibangun atas realitas itu sehingga terlihat jelas bahwa perjuangan legalisasi itu hanya sekedar sebagai pelarian dari kenyataan hidup.
Moral tidak dapat menerima dan tidak dapat membenarkan euthanasia positif. Hal tersebut tidak ada yang meragukannya. Upaya penghentian euthanasia positif tidaklah mudah karena yang terlebih dahulu harus dihadapi adalah budaya utilitarian yang telah menjadi ciri kehidupan modern. positif. Hal tersebut tidak ada yang meragukannya. Upaya penghentian euthanasia positif tidaklah mudah karena yang terlebih dahulu harus dihadapi adalah budaya utilitarian yang telah menjadi ciri kehidupan modern. Yang mesti terus menerus dipromosikan sekarang adalah penghargaan terhadap pribadi dan kemanusiaan atas dasar norma moral “jangan membunuh”.
Menurut Bernard Haring, argument utama untuk menolak euthanasia positif terletak pada perspektif kebebasan. Apa yang disebut “bebas untuk mati” dengan memaksakan kematian sesuai dengan keinginan dan kehendak sendiri, sebenarnya bukan ungkapan kebebasan tetapi justru menghilangkan keutuhan kebebasan untuk menerima kematian. Mewujudkan kebebasan memilih dalam kehidupan atas dasar kekuatan manusia dan dalam kematian atas dasar ketakberdayaan manusia, merupakan pengakuan yang paling tepat atas eksistensi keterciptaan manusia dalam dua realitas hidup, yaitu kehidupan dan kematian.
Dari sudut pandang praktis, euthanasia positif sangatlah problematic. Bila euthanasia positif dilegalisasi dan didasarkan pada falsafah manfaat ekonomis, siapa yang harus membuat keputusan final bagi pelaksanaannya? Mereka yang dibunuh dengan “belaskasihan” karena kondisi mereka, tidak dapat membuat keputusan rasional atas dasar keyakinan teguh. Amat mungkin bahwa mereka memutuskan itu karena kecemasan atau rasa salah mereka akan resiko atau kesulitan yang mereka timbulkan bagi keluarga karena keadaan nyata mereka. Dengan rasa salah dalam hati dan ditambah lagi dengan adanya penolakan, yang ada hanyalah penyesalan, mengapa hidup? DI sini, manusia tertekan dan tidak bebas lagi membuat keputusan dan terpaksa memilih mati saja. Banyak orang tua bunuh diri di negara maju karena sikap masyarakat yang memperlakukan orang tua sebagai beban masyarakat. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa di balik topeng upaya rasionalisasi untuk melegalisasi euthanasia, tersembunyi motivasi yang mengerikan, yaitu “marjinalisasi” kehidupan, penghilangan makna kehidupan dan kematian itu sendiri.
Pada titik ini, mesti disadari bahwa moral Kristen berhadapan dengan sebuah kesulitan besar untuk memberikan motivasi yang meyakinkan kepad amereka yang tidak lagi percaya pada penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Demikian juga, kepada mereka yang tidak lagi mampu menangkap nilai dari penderitaan dan pelayanan kasih kepada manusia yang menderita. Di sinilah titik temu moral kristiani dengan etika medis.
Pelayanan kasih merupakan sentral pemahaman dan komitmen moral kristiani dalam pelayanan terhadap kehidupan. Kehidupan diterima sebagai pemberian dan karenanya mesti diperlakukan dengan hormat, syukur, dan bertanggungjawab. Sakit dan penderitaan adalah bagian integral dari kehidupan. Dalam Kristus, manusia menemukan makna dan nilai penderitaan walaupun penderitaan itu pada dirinya adalah negative. Karena itu, kesengajaan untuk mengambil atau menghabisi kehidupan seseorang, tidak dapat dibenarkan oleh moral kristiani. Euthanasia positif ditolak dan dinilai immoral.
C. Pendapat Pro-Kontra Euthanasia
C.1. Pendapat yang mendukung Euthanasia:
a. Kehidupan seseorang yang menderita sakit terminal, tidak lagi bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat. Dia juga tidak lagi memiliki tugas-tugas yang dapat dia jalankan bagi dirinya maupun bagi orang lain. Memperpanjang masa hidupnya (masa sakitnya), tidak member manfaat apa-apa selain beban baginya dan bagi orang lain. Karenanya, masuk akal kalau kehidupannya dihentikan saja.
b. Dalam menghadapi dua hal jahat, orang mesti memilih kejahatan yang lebih ringan. Memperpanjang penderitaan seseorang merupakan suatu kejahatan yang lebih berat dibandingkan dengan menghentikan kehidupan seseorang.
c. Adalah tidak manusiawi dan tidak masuk akal bila memperpanjang hidup seorang pasien terminal sementara dia sendiri tidak menghendakinya lagi.
d. Mereka yang tidak percaya akan Allah, sah saja mengatakan bahwa mereka adalah tuan atas kehidupan mereka sehingga dapat dengan bebas memutuskan sendiri untuk menghentikan kehidupan.
e. Kebebasan orang untuk berbuat sesuatu hendaknya tidak dibatasi.
f. Euthanasia positif sukarela adalha tindakna belaskasih terhadap keluarga dan masyarakat karena dengan itu, pasien memilih untuk tidak membebani keluarganya dengan memperpanjang masa penderitaannya karena akan memakan biaya dan tenaga.
g. Orang beriman percaya bahwa Allah yang menganugerahkan kehidupan. Tetapi, tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengintervensi kehidupan kita, karena Allah mempercayai kita sebagai pemelihara kehidupan. Jadi, masuk akal bahwa Allah tidak menghendaki kita menderita secara tidak perlu dan kita dapat mengakhiri penderitaan itu.
C.2. Pendapat yang menolak Euthanasia:
a. Tradisi Barat dan filsafat Teistis, menolak pembunuhan langsung. Argumen dasarnya adalah bahwa Allah adalah penguasa langsung kehidupan manusia. Kita hanya mengatur dan memelihara kehidupan kita, tetapi kita bukanlah pemiliknya.
b. Manusia sebagai makhluk rasional adalah dasar dari moralitas. Dibenarkan bahwa manusia mengintervensi kehidupannya demi meningkatkan mutu dan peluang hidup. Tidaklah bijaksana menghentikan penderitaan dengan mengakhiri kehidupan. Lebih masuk akal, bila intervensi itu dimaksudkan untuk menghilangkan sakit dan penderitaan serta bukan membunuh pasien. Dalam hal ini, sekarang sudah muncul banyak obat medis untuk menghilangkan rasa sakit itu.
c. Menyebut euthanasia positif mengandaikan bahwa si pasien dengan bebas dan sukarela, meminta untuk mati. Demi menghindari kesalahpahaman dan penyimpangan maka sebaiknya si pasien mengajukan permintaan tertulis dan ditandatangani di hadapan saksi. Pertanyaannya, apakah pasien tersebut sungguh berada dalam posisi bebas dan mampu menyatakan serta mengevaluasi kehidupannya sehingga dengan rela pula meminta untuk mengakhiri kehidupannya? Jadi, persoalannya persis menyangkut kebebasan utnuk menyatakan keinginannya. Dapatkah dijamin bahwa di sana tidak ada tekanan, dan penciptaan kondisi marjinal bagi si pasien sehingga dia merasa terbuang, tidak berguna, dan frustasi?
d. Waktu bagi injeksi mematikan biasanya ditentukan. Hal itu persis sama dengan eksekusi hukuman mati. Banyak negara menolak hukuman mati karena tidak manusiawi. Adalah kejam sekali bila menentukan kapan seseorang harus mati, apalagi jika memberitahukannya kepada pasien itu.
e. Siapa yang harus menentukan dan mengatur injeksi mematikan? Pelaku mestinya bukan dokter karena hal itu bertentangan dengan sumpah profesinya.
f. Euthanasia positif adalah tidak manusiawi. Euthanasia positif itu tidak sama dengan “mati dengan hormat dan tenang”. Kemungkinan kejahatan di dalamnya berkaitan dengan legalisasi euthanasia, akan menghantui dan menakutkan bagi orang-orang usia lanjut karena jika mereka sakit, maka itulah kesempatan mengeksekusi mereka dan mengeliminasi mereka dari kehidupan dan lingkungan sosial. Adalah lebih manusiawi jika membiarkan alam kehidupan berjalan apa adanya, dan jika kematian datang, biarlah dia datang, tanpa ada campur tangan manusia atau kuasa manusia untuk mengontrolnya.
BUNUH DIRI? JALAN KELUARKAH?
Perkembangan kehidupan manusia menghadirkan sebuah situasi yang kontradiktif. Ketika masyarakat dunia modern mencapai tingkat kemajuan sosial-ekonomi dan teknologi yang tinggi, tingkat presentasi problem kemanusiaan tidak menunjukkan grafik penurunan. Justru kemajuan itu kerap memunculkan problem-problem kemanusiaan yang baru dan lebih rumit. Budaya hidup manusia modern, sering ditandai dengan budaya persaingan dalam pencapaian tingkat kemajuan hidup. Tak jarang, tidak sedikit orang yang gagal bersaing dan tidak mampu mewujudkan impian mereka. Kegagalan itu kerap kali membuat banyak orang menjadi putus asa dan menganggapnya sebagai akhir dari segalanya. Persaingan yang semakin keras juga melahirkan sebuah keprihatinan baru, yaitu melemahnya intensitas relasi antar pribadi yang menyusutkan pengalaman kasih dan keakraban antar pribadi manusia. Tidak adanya lagi kehangatan kasih, membuat banyak orang merasa ditinggalkan dan kesepian. Kecondongan batin itu menggerakkan banyak orang pada derita batin yang mendalam. Derita batin itu akan membuat orang menjadi putus asa dan tidak mampu lagi melihat makna kehidupannya secara jernih. Orang tidak lagi menyadari eksistensinya di dunia ini sebagai anugerah Allah yang luhur dan suci. Suasana umum dunia yang seperti itulah yang kerap menjadi latar belakang dan penyebab terjadinya bunuh diri. Paper ini akan melihat lebih dalam lagi tentang fenomena Bunuh Diri dan sekaligus ingin menunjukkan sejumlah penilaian moral atasnya.
a. Apa itu Bunuh Diri?
Bunuh Diri adalah tindakan seseorang yang menghabisi hidupnya sendiri atas dasar otoritasnya sendiri (direct suicide). Definisi itu dapat kita telaah ke dalam beberapa unsur berikut:
1. Bunuh Diri adalah tindakan seseorang. Seseorang yang dimaksud adalah seorang manusia. Mari kita fokuskan perhatian pada kata “tindakan”. Manusia selalu melakukan berbagai tindakan untuk mewujudkan gagasan-gagasan hidupnya dengan caranya yang khas. Kekhasan cara tersebut yang membuat tindakan-tindakan manusia, menjadi berbeda satu dengan lainnya. Apa yang menjadi tindakan manusia adalah khas dan menunjukkan bahwa dirinya adalah manusia. Berikut adalah tindakan-tindakan yang dapat dikatakan sebagai cirri khas manusia (makhluk hidup):
a. Asimilasi: Manusia berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Yang tergolong dalam tindakan asimilasi ini juga adalah tindakan manusia untuk memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya sendiri.
b. Reproduksi: Kemampuan untuk melipatgandakan diri dan membentuk bibit-bibit baru (keturunan).
c. Bereaksi: Manusia juga dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya dan atas keadaan-keadaan yang sedang dialaminya.
d. Menyadari : Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain dan benda mati. Manusia senantiasa memiliki kesadaran untuk melakukan sesuatu. Kesadaran itu menjadi landasan bagi manusia untuk berbuat.
2. Bunuh Diri sebagai tindakan yang menghabisi kehidupan sendiri.
Bunuh Diri adalah sebuah kejahatan. Sebab, tindakan ini memiliki tujuan akhir untuk menghancurkan kehidupan. Meskipun kehidupan yang dihancurkan itu adalah kehidupan si pelaku sendiri dan bukan orang lain, tetap saja itu memiliki inti tindakan yang sama, yaitu tidak menghargai kehidupan.
3. Bunuh Diri sebagai tindakan yang dilakukan atas dasar otoritas sendiri.
Sebuah tindakan disebut tindakan bunuh diri bila tindakan itu dilakukan atas dasar kemauan si pelaku sendiri. Jika tindakan itu dilakukan oleh seseorang atas perintah otoritas yang berkuasa, maka itu tidak dapat disebut sebagai bunuh diri.
Secara psikologis, diketahui bahwa kecenderungan bunuh diri terdorong oleh adanya keinginan manusia untuk bebas dari segala macam beban atau konflik hidup. Si pelaku merasa tidak berdaya dalam mengelola serta menghadapi problem-problem itu. Dia mengalamai kesendirian dan keterisolasian dari dunia pergaulannya. Ia menjadi merasa tidak berguna dan merasa hanya menjadi beban bagi orang lain. Karenanya, bunuh diri kerap dilihat sebagai jalan terakhir yang tepat untuk membebaskan diri dari segala perasaan ketertekanan itu. Data real di lapangan menunjukkan bahwa pria lebih banyak bunuh diri daripada wanita; warga kota lebih banyak bunuh diri dibanding orang desa; para manula lebih banyak bunh diri daripada anak-anak muda; dan manusia dunia maju lebih banyak bunuh diri daripada manusia di dunia ketiga.
Bagaimana dengan para filsuf? Para filsuf juga mencoba berpendapat tentang bunuh diri. Para filsuf yang menolak adanya bunuh diri adalah Aristoteles dan Immanuel Kant. Menurut Immanuel Kant, bunuh diri tidak layak dilakukan karena bunuh diri adalah penghancuran terhadap subyek moral dan juga sekaligus penghancuran terhadap moralitas itu sendiri. Namun, ada juga filsuf yang mendukung bunuh diri, seperti David Hume dan para filsuf Stoa. Di zaman modern ini, para pendukung euthanasia menyetujui bunuh diri sebagai wujud otonomi dan kebebasan pribadi terhadap hidupnya sendiri.
B. Bagaimana dengan Moral Katolik?
Secara tegas, Moral Katolik menolak Bunuh Diri, dan menilainya sebagai sebuah KEJAHATAN BESAR.
Mengapa demikian? Berikut alasan penolakannya.
B.1. Manusia bukanlah Tuan yang memiliki kehidupan.
Meskipun manusia menjalani suatu kehidupan yang ada padanya, kehidupan itu sendiri bukanlah sesuatu yang dicapai berkat upaya mausia itu sendiri. Akan tetapi, kehidupan adalah sesuatu yang diterimanya dan berada di luar kuasa kebebasannya. Karena itu, manusia tidak bisa menyatakan “menerima” atau “menolak” terhadap kehidupan ini. Teologi agama monoteis mengajarkan bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia, dan menganugerahkan kehidupan kepada manusia itu. Kehidupan adalah milik Allah. Peran manusia terhadap kehidupan hanyalah sebatas memelihara, mengembangkan dan memajukan kehidupan agar mencapai kepenuhannya.
Menyia-nyiakan kehidupan adalah tanda ketidaksetiaan dan pengingkaran manusia terhadap peranannya dan bentuk perlawanan terhadap Allah sebagai pemilik kehidupan. Karena itu, bunuh diri adalah tanda nyata dari keputusasaan dan ketidaksetiaan kepada Allah. Bunuh Diri menjadi tanda pemberontakan dan menjadi suatu ekspresi otonomi yang merusak terhadap Allah. Maka dari itu, bunh diri tidak dapat dibenarkan.
B.2. Kewajiban dan Tanggungjawab Masyarakat
Dalam banyak kasus bunuh diri, umumnya masyarakat dan lingkungan terdekatlah yang dipersalahkan karena si pelaku bunuh diri terkondisikan dalam situasi dan pengalaman hidup yang berat tak terpikulkan yang menyebabkannya putus asa dan terhalang untuk melihat kehidupan secara positif dan optimistic. Bunuh diri adalah tanda nyata kegagalan masyarakat dalam mewujudkan keadilan dan dalam memberikan perhatian kasih kepada mereka yang putus asa dan menderita. Bunuh diri sering menjadi bentuk protes dan sekaligus meminta perhatian terhadap orang-orang sekitar agar memperhatikan dan membantu.
Untuk itu, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan bahwa bunuh diri bukanlah ekspresi kebebasan, akan tetapi merupakan tanda kehilangan kebebasan. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kondisi dasar bagi otonomi manusia dalam mengembangkan dan memajukan kehidupan menuju kepenuhannya.
B.3. Keterkaitan Kehidupan satu sama lain
Sering banyak orang berpikir bahwa kehidupannya adalah semata-mata urusannya sendiri, terpisah dan tak terkait dengan kehidupan orang lain sehingga apa yang dilakukan terhadap dirinya sendiri, tidak akan mempengaruhi orang lain. Bunuh Diri seringkali dilandasi oleh keyakinan yang macam itu. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Hakekat manusia sebagai makhluk sosial menjadi landasan bagi suatu kebenaran bahwa kehidupan manusia itu saling berhubungan dan saling terkait satu sama lain. Apa yang terjadi para seseorang akan juga mempengaruhi orang lain.
Karena itu, sebenarnya setiap manusia secara tertentu memiliki dan mengemban tanggung jawab atas kehidupan orang lain. Tindakan bunuh diri jelas akan meninggalkan beban derita dan tanggungjawab moral bagi orang lain. Bagi si pelaku bunuh diri, tindakannya itu menjadi tanda ketidakpeduliannya terhadap kepentingan bersama dan tanggung jawab orang lain dalma satu kesatuan kehidupan. Bunuh diri berarti mengingkari keberadaan dan tanggung jawab sesame. Atau dengan kata lain, Bunuh diri merupakan suatu pengingkaran akan hakekat sosial manusia.
B.4. Bunuh Diri adalah Pelanggaran terhadap Tugas Mencintai dan Mengejar Kesempurnaan Hidup.
Pelaku bunuh diri membuang peluang dan kesempatan untuk terus bertumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Ia menolak untuk terus bertumbuh menuju tingkat kesempurnaan yang dapat dicapainya dalam hidup. Bunuh diri menyebabkan dia kehilangan kesempatan untuk memperbaiki dan mengembangkan diri sendiri.
B.5. Bunuh Diri sebagai Protes terhadap Kejahatan Sosial Politik
Bunuh diri sering juga dipraktekkan sebagai suatu bentuk perlawanan dan pemberontakan terhadap suatu regim atau dictator yang jahat dan kejam. Bagi para pelaku, mati adalah lebih baik dairpada membiarkan diri menyerah dan diperlakukan sewenang-wenang oleh rejim dictatorial. Dalam kasus ini, bunuh diri dilakukan untuk mengingatkan rezim itu bahwa si pelaku bunuh diri bukanlah orang yang tega dan senang mengorbankan kehidupan orang lain, seperti halnya si penguasa rezim, tetapi ia lebih senang mengorbankan diri sendiri demi perwujudan suatu situasi hidup sosial politik yang manusiawi. Kasus lain yang terkait dengan pemahaman bagian ini adalah kasus di mana orang melakukan aksi kekerasan pembunuhan dengan juga membiarkan dirinya terbunuh. Aksi seperti ini kerap menjadi pilihan perjuangan bagi para teroris.
Apapun alasannya, suatu tindakan menghilangkan kehidupan sendiri ataupun kehidupan orang lain adalah sesuatu yang tidak dibenarkan secara moral. Tujuan yang ingin diperjuangkan tidak akan pernah membenarkan cara yang dipakai itu.
C. Gereja Katolik dan Bunuh Diri
Gereja Katolik secara tegas menolak dan tidak membenarkan tindakan bunuh diri. Dulu, Gereja pernah melarang pelayanan liturgis-sakramental bagi orang yang bunuh diri. Tetapi, sekarang ini, hal itu tidak lagi disebutkan secara eksplisit sebagai bunuh diri. Dalam Kanon 1184, dikatakan bahwa: (1) Tidak boleh diberi pemakaman gerejawi, kecuali jika sebelum meninggal, menampakkan sekedar tanda-tanda tobat. Mereka yang mendapatkan perlakuan ini adalah: a. Mereka yang nyata-nyata murtad, mengikuti bidaah dan skisma; b. Mereka yang memilih kremasi jenazah mereka demi alasan yang bertentangan dengan iman kristiani; c. Pendosa-pendosa public lainnya yang tidak dapat diberi pemakaman gerejawi tanpa menimbulkan sandungan bagi kaum beriman.
(2) Jika ada keragua-raguan, hendaknya Ordinaris Wilayah dihubungi, yang keputusannya harus dituruti.
Di lain pihak, Gereja Katolik menjunjung tinggi dan menghargai orang-orang yang mengorbankan hidupnya demi kehidupan orang lain atau demi kebaikan banyak orang serta demi iman. Hidup memang merupakan nilai tertinggi, tetapi nilai hidup bukanlah segalanya. Orang bahkan dituntut untuk mengorbankan hidupnya demi orang lain. Tokoh seperti Mazimilan Maria Kolbe, merupakan model dari orang yang menyerahkan hidupnya demi kebaikan orang lain.
a. Apa itu Bunuh Diri?
Bunuh Diri adalah tindakan seseorang yang menghabisi hidupnya sendiri atas dasar otoritasnya sendiri (direct suicide). Definisi itu dapat kita telaah ke dalam beberapa unsur berikut:
1. Bunuh Diri adalah tindakan seseorang. Seseorang yang dimaksud adalah seorang manusia. Mari kita fokuskan perhatian pada kata “tindakan”. Manusia selalu melakukan berbagai tindakan untuk mewujudkan gagasan-gagasan hidupnya dengan caranya yang khas. Kekhasan cara tersebut yang membuat tindakan-tindakan manusia, menjadi berbeda satu dengan lainnya. Apa yang menjadi tindakan manusia adalah khas dan menunjukkan bahwa dirinya adalah manusia. Berikut adalah tindakan-tindakan yang dapat dikatakan sebagai cirri khas manusia (makhluk hidup):
a. Asimilasi: Manusia berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Yang tergolong dalam tindakan asimilasi ini juga adalah tindakan manusia untuk memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya sendiri.
b. Reproduksi: Kemampuan untuk melipatgandakan diri dan membentuk bibit-bibit baru (keturunan).
c. Bereaksi: Manusia juga dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya dan atas keadaan-keadaan yang sedang dialaminya.
d. Menyadari : Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain dan benda mati. Manusia senantiasa memiliki kesadaran untuk melakukan sesuatu. Kesadaran itu menjadi landasan bagi manusia untuk berbuat.
2. Bunuh Diri sebagai tindakan yang menghabisi kehidupan sendiri.
Bunuh Diri adalah sebuah kejahatan. Sebab, tindakan ini memiliki tujuan akhir untuk menghancurkan kehidupan. Meskipun kehidupan yang dihancurkan itu adalah kehidupan si pelaku sendiri dan bukan orang lain, tetap saja itu memiliki inti tindakan yang sama, yaitu tidak menghargai kehidupan.
3. Bunuh Diri sebagai tindakan yang dilakukan atas dasar otoritas sendiri.
Sebuah tindakan disebut tindakan bunuh diri bila tindakan itu dilakukan atas dasar kemauan si pelaku sendiri. Jika tindakan itu dilakukan oleh seseorang atas perintah otoritas yang berkuasa, maka itu tidak dapat disebut sebagai bunuh diri.
Secara psikologis, diketahui bahwa kecenderungan bunuh diri terdorong oleh adanya keinginan manusia untuk bebas dari segala macam beban atau konflik hidup. Si pelaku merasa tidak berdaya dalam mengelola serta menghadapi problem-problem itu. Dia mengalamai kesendirian dan keterisolasian dari dunia pergaulannya. Ia menjadi merasa tidak berguna dan merasa hanya menjadi beban bagi orang lain. Karenanya, bunuh diri kerap dilihat sebagai jalan terakhir yang tepat untuk membebaskan diri dari segala perasaan ketertekanan itu. Data real di lapangan menunjukkan bahwa pria lebih banyak bunuh diri daripada wanita; warga kota lebih banyak bunuh diri dibanding orang desa; para manula lebih banyak bunh diri daripada anak-anak muda; dan manusia dunia maju lebih banyak bunuh diri daripada manusia di dunia ketiga.
Bagaimana dengan para filsuf? Para filsuf juga mencoba berpendapat tentang bunuh diri. Para filsuf yang menolak adanya bunuh diri adalah Aristoteles dan Immanuel Kant. Menurut Immanuel Kant, bunuh diri tidak layak dilakukan karena bunuh diri adalah penghancuran terhadap subyek moral dan juga sekaligus penghancuran terhadap moralitas itu sendiri. Namun, ada juga filsuf yang mendukung bunuh diri, seperti David Hume dan para filsuf Stoa. Di zaman modern ini, para pendukung euthanasia menyetujui bunuh diri sebagai wujud otonomi dan kebebasan pribadi terhadap hidupnya sendiri.
B. Bagaimana dengan Moral Katolik?
Secara tegas, Moral Katolik menolak Bunuh Diri, dan menilainya sebagai sebuah KEJAHATAN BESAR.
Mengapa demikian? Berikut alasan penolakannya.
B.1. Manusia bukanlah Tuan yang memiliki kehidupan.
Meskipun manusia menjalani suatu kehidupan yang ada padanya, kehidupan itu sendiri bukanlah sesuatu yang dicapai berkat upaya mausia itu sendiri. Akan tetapi, kehidupan adalah sesuatu yang diterimanya dan berada di luar kuasa kebebasannya. Karena itu, manusia tidak bisa menyatakan “menerima” atau “menolak” terhadap kehidupan ini. Teologi agama monoteis mengajarkan bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia, dan menganugerahkan kehidupan kepada manusia itu. Kehidupan adalah milik Allah. Peran manusia terhadap kehidupan hanyalah sebatas memelihara, mengembangkan dan memajukan kehidupan agar mencapai kepenuhannya.
Menyia-nyiakan kehidupan adalah tanda ketidaksetiaan dan pengingkaran manusia terhadap peranannya dan bentuk perlawanan terhadap Allah sebagai pemilik kehidupan. Karena itu, bunuh diri adalah tanda nyata dari keputusasaan dan ketidaksetiaan kepada Allah. Bunuh Diri menjadi tanda pemberontakan dan menjadi suatu ekspresi otonomi yang merusak terhadap Allah. Maka dari itu, bunh diri tidak dapat dibenarkan.
B.2. Kewajiban dan Tanggungjawab Masyarakat
Dalam banyak kasus bunuh diri, umumnya masyarakat dan lingkungan terdekatlah yang dipersalahkan karena si pelaku bunuh diri terkondisikan dalam situasi dan pengalaman hidup yang berat tak terpikulkan yang menyebabkannya putus asa dan terhalang untuk melihat kehidupan secara positif dan optimistic. Bunuh diri adalah tanda nyata kegagalan masyarakat dalam mewujudkan keadilan dan dalam memberikan perhatian kasih kepada mereka yang putus asa dan menderita. Bunuh diri sering menjadi bentuk protes dan sekaligus meminta perhatian terhadap orang-orang sekitar agar memperhatikan dan membantu.
Untuk itu, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan bahwa bunuh diri bukanlah ekspresi kebebasan, akan tetapi merupakan tanda kehilangan kebebasan. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kondisi dasar bagi otonomi manusia dalam mengembangkan dan memajukan kehidupan menuju kepenuhannya.
B.3. Keterkaitan Kehidupan satu sama lain
Sering banyak orang berpikir bahwa kehidupannya adalah semata-mata urusannya sendiri, terpisah dan tak terkait dengan kehidupan orang lain sehingga apa yang dilakukan terhadap dirinya sendiri, tidak akan mempengaruhi orang lain. Bunuh Diri seringkali dilandasi oleh keyakinan yang macam itu. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Hakekat manusia sebagai makhluk sosial menjadi landasan bagi suatu kebenaran bahwa kehidupan manusia itu saling berhubungan dan saling terkait satu sama lain. Apa yang terjadi para seseorang akan juga mempengaruhi orang lain.
Karena itu, sebenarnya setiap manusia secara tertentu memiliki dan mengemban tanggung jawab atas kehidupan orang lain. Tindakan bunuh diri jelas akan meninggalkan beban derita dan tanggungjawab moral bagi orang lain. Bagi si pelaku bunuh diri, tindakannya itu menjadi tanda ketidakpeduliannya terhadap kepentingan bersama dan tanggung jawab orang lain dalma satu kesatuan kehidupan. Bunuh diri berarti mengingkari keberadaan dan tanggung jawab sesame. Atau dengan kata lain, Bunuh diri merupakan suatu pengingkaran akan hakekat sosial manusia.
B.4. Bunuh Diri adalah Pelanggaran terhadap Tugas Mencintai dan Mengejar Kesempurnaan Hidup.
Pelaku bunuh diri membuang peluang dan kesempatan untuk terus bertumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Ia menolak untuk terus bertumbuh menuju tingkat kesempurnaan yang dapat dicapainya dalam hidup. Bunuh diri menyebabkan dia kehilangan kesempatan untuk memperbaiki dan mengembangkan diri sendiri.
B.5. Bunuh Diri sebagai Protes terhadap Kejahatan Sosial Politik
Bunuh diri sering juga dipraktekkan sebagai suatu bentuk perlawanan dan pemberontakan terhadap suatu regim atau dictator yang jahat dan kejam. Bagi para pelaku, mati adalah lebih baik dairpada membiarkan diri menyerah dan diperlakukan sewenang-wenang oleh rejim dictatorial. Dalam kasus ini, bunuh diri dilakukan untuk mengingatkan rezim itu bahwa si pelaku bunuh diri bukanlah orang yang tega dan senang mengorbankan kehidupan orang lain, seperti halnya si penguasa rezim, tetapi ia lebih senang mengorbankan diri sendiri demi perwujudan suatu situasi hidup sosial politik yang manusiawi. Kasus lain yang terkait dengan pemahaman bagian ini adalah kasus di mana orang melakukan aksi kekerasan pembunuhan dengan juga membiarkan dirinya terbunuh. Aksi seperti ini kerap menjadi pilihan perjuangan bagi para teroris.
Apapun alasannya, suatu tindakan menghilangkan kehidupan sendiri ataupun kehidupan orang lain adalah sesuatu yang tidak dibenarkan secara moral. Tujuan yang ingin diperjuangkan tidak akan pernah membenarkan cara yang dipakai itu.
C. Gereja Katolik dan Bunuh Diri
Gereja Katolik secara tegas menolak dan tidak membenarkan tindakan bunuh diri. Dulu, Gereja pernah melarang pelayanan liturgis-sakramental bagi orang yang bunuh diri. Tetapi, sekarang ini, hal itu tidak lagi disebutkan secara eksplisit sebagai bunuh diri. Dalam Kanon 1184, dikatakan bahwa: (1) Tidak boleh diberi pemakaman gerejawi, kecuali jika sebelum meninggal, menampakkan sekedar tanda-tanda tobat. Mereka yang mendapatkan perlakuan ini adalah: a. Mereka yang nyata-nyata murtad, mengikuti bidaah dan skisma; b. Mereka yang memilih kremasi jenazah mereka demi alasan yang bertentangan dengan iman kristiani; c. Pendosa-pendosa public lainnya yang tidak dapat diberi pemakaman gerejawi tanpa menimbulkan sandungan bagi kaum beriman.
(2) Jika ada keragua-raguan, hendaknya Ordinaris Wilayah dihubungi, yang keputusannya harus dituruti.
Di lain pihak, Gereja Katolik menjunjung tinggi dan menghargai orang-orang yang mengorbankan hidupnya demi kehidupan orang lain atau demi kebaikan banyak orang serta demi iman. Hidup memang merupakan nilai tertinggi, tetapi nilai hidup bukanlah segalanya. Orang bahkan dituntut untuk mengorbankan hidupnya demi orang lain. Tokoh seperti Mazimilan Maria Kolbe, merupakan model dari orang yang menyerahkan hidupnya demi kebaikan orang lain.
Langganan:
Postingan (Atom)