ABORSI
A. Masalah Pokok dalam Aborsi
Aborsi dapat didefinisikan sebagai pengeluaran janin bayi dari rahim secara paksa. Secara esensial, aborsi menjadi suatu tindakan yang dikecam oleh ajaran moral maupun agama. Namun, dalam prakteknya, kecaman tersebut masih belum terlihat total. Masing-masing lembaga memiliki versinya masing-masing dalam hal pelarangan aborsi, terlebih tentang kapan tepatnya suatu aborsi tidak boleh dilakukan. Jika melihat secara seksama, hal pokok yang menjadi perdebatan seputar aborsi, yaitu “kapan kehidupan manusia itu dimulai?”
a.1. “Kapan kehidupan manusia itu dimulai?”
Berikut adalah sejumlah pendapat mengenai jawaban atas pertanyaan itu:
1. Konsepsi
Sebuah kehidupan dimulai saat sel sperma bersatu dengan sel telur. Persatuan itu akan berkembang menuju kelahiran manusia. Kelompok yang memiliki pendapat ini adalah Gereja Katolik. Menurut Gereja Katolik, betapa pentingnya bagi setiap orang untuk menghormati kehidupan manusia, termasuk manakala secara fisik, kehidupan itu masih terwujud dalam bentuk embrio. Dokumen Gereja “Donum Vitae” mengajarkan secara lebih tegas bahwa setiap fase hidup manusia sejak konsepsi, haruslah dihormati.
2. Kehidupan ada saat mulai adanya getaran syaraf.
Pandangan ini menyatakan bahwa kehidupan dimulai ketika saraf mulai berfungsi dan getaran saraf dapat dideteksi. Dasar pandangan ini adalah bahwa kematian merupakan berhentunya aktivitas otak. Dengan kata lain, kelompok ini menyatakan bahwa kehidupan dimulai sejak berfungsinya otak.
Pandangan ini memperbolehkan aborsi bila dilakukan sebelum hari ke-20 kehamilan.
3. Bergeraknya fetus
Kehidupan mulai dengan bergeraknya fetus dalam rahim ibu. Gerakan itu dapat dirasakan oleh sang ibu. Pandangan ini memperbolehkan aborsi bila dilakukan sebelum bulan ke-4 kehamilan.
4. Viabilitas
Pandangan ini menegaskan bahwa kehidupan manusia dimulai bila janin dinilai telah mampu hidup di luar rahim ibunya. Pandangan ini menjadi landasan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1973 dalam menetapkan bahwa Negara dapat melarang aborsi bila fetus itu telah dinilai dapat hidup di luar rahim ibunya. Itu berarti bahwa aborsi diperbolehkan bila dilakukan sebelum bulan ke-6 kehamilan.
5. Kelahiran
Pandangan ini menyatakan bahwa kemanusiaan baru muncul saat janin itu dilahirkan. Saat ia sudah dilahirkan, maka saat itulah ia menjadi manusia yang independen. Kelompok yang memiliki pendapat ini adalah kelompok yang memperbolehkan aborsi dilakukan pada usia kehamilan berapapun.
B. Sejarah Singkat Aborsi
Sepanjang sejarah hidup manusia, aborsi dipakai sebagai salh satu metode pengaturan kelahiran. Pengaturan kelahiran dalam konteks aborsi bukanlah pencegahan kehamilan, tetapi menggugurkan/mengeluarkan janin yang sudah ada dalam rahim ibu. Debat moral tetnang aborsi sudah dimulai sejak zaman Yunani kuno. Plato dan Aristoteles menerima aborsi karena mencegah pertumbuhan penduduk yang berlebihan di polis-polis Yunani kuno. Tetapi, mereka tidak sepenuhnya menerima. Aristoteles menolak aborsi setelah janin mulai bergerak dalam rahim. Kitab Hukum bangsa Sumer, melarang keras aborsi dan menerapkan hukuman yang keras bagi mereka yang menggugurkan janin yang belum lahir. Sumpah Hipocrater juga menegaskan untuk tidak membantu seorang wanita yang ingin melakukan aborsi.
Pada masyarakat Romawi, secara hukum, aborsi tidak menjadi masalah. Itu baru menjadi masalah bila aborsi dilakukan tanpa persetujuan suami. Pada abad kedua Masehi, muncul gerakan anti aborsi karena terjadi kemerosotan jumlah pertambahan penduduk. Dari sana, kekaisaran romawi menerapkan hukum anti aborsi yang sangat keras sebagai medium untuk menghentikan kemerosotan moral dan untuk memperkuat bangsa. Sikap Yahudi dan Kristiani adalah sangat menentang keras praktek aborsi.
Sejak PD II, praktek aborsi secara diam-diam marak di Amerika Serikat dan di banyak tempat lain di dunia ini. Praktek itulah yang makin mendorong para kaum pro aborsi untuk mendesak pengadilan membatalkan larangan terhadap aborsi. Pada tahun 1973, aborsi dilegalkan di Amerika Serikat. Untuk usia kandungan tiga bulan pertama, keputusan aborsi diserahkan kepada penilaian medis dari dokter yang menangani wanita hamil itu. Sedangkan pada usia kandungan di atas 6 bulan, Negara dapat melarang aborsi karena pada usia kehamilan itu, janin sudah dinilai dapat hidup di luar rahim.
C. Aborsi dan Pembunuhan Janin (Infantisida)
Aborsi dan Infantisida adalah dua istilah yang berbeda. Aborsi adalah penghentian kehamilan atau pengguguran kandungan sebelum kandungan mencapai usia dapat hidup di luar rahim (5-6 bulan). Sedangkan Infantisida adalah tindakan pembunuhan janin dalam rahim setelah janin tersebut mencapai usia dapat hidup di luar rahim.
Aborsi ada dua macam, yaitu aborsi alamiah dan aborsi yang disengaja. Aborsi alamiah: kematian janin sama sekali bukan karena kehendak pihak lain, tetapi terjadi secara alamiah. Aborsi yang disengaja: aborsi yang dilakukan kerena kehendak pihak lain dan dilakukan berkat campur tangan pihak lain.
D. Argumen Pro-Kontra Aborsi
KONTRA- ABORSI PRO-ABORSI
1. Embrio atau janin adalah kehidupan manusia. Aborsi secara moral adalah jahat karena mengambil kehidupan manusia. 1. Embrio bukanlah kehidupan manusia.
2. Agar menjadi sah, maka UU harus lahir dari prinsip yang kuat dan teguh, yaitu penghargaan terhadap kehidupan manusia. 2.Fungsi UU adalah melindungi wanita dari pelaku aborsi yang tidak ahli dan melindungi dokter dari pertanggungjawaban.
3. Mengambil kehidupan yang belum lahir adalah tindakan amoral. 3.Janin adalah seorang pengacau ke dalam kehidupan si wanita.
4. Janin bukanlah bagian dari diri ibu, tetapi unsur yang terpisah dari ibu dengan hak-haknya sendiri. 4.Janin adalah bagian dari tubuh ibu dan tidak lebih dari itu.
5. Hak janin yang belum lahir adalah lebih utama dari hak ibu dalam mengontrol tubuhnya. 5.Hak wanita lebih besar dari janin dan secara moral, adalah benar bila wanita dianjurkan untuk menjalankan haknya untuk tidak hamil sebelum dia menghendakinya.
6. Aborsi secara moral adalah salah dan UU harus mengikuti moralitas. 6.Agama-agama memaksakan kepercayaannya berkaitan dengan aborsi. Hal ini tidak dapat dibenarkan dalam masyarakat pluralistic.
E. Konflik-Konflik Nilai dalam Aborsi
Saat ini, tidak semua Negara melarang adanya aborsi. Beberapa pihak melegalkan aborsi. Pelegalan aborsi ini tidak serta merta mengubah moralitas aborsi itu sendiri. Jika keputusan mayoritas mengizinkan dilakukannya tindakan aborsi, itu tidak membuat aborsi dapat dipandang sebagai suatu tindakan yang bermoral. Tetap saja, aborsi merupakan tindakan amoral.
Pada bagian ini, kita akan melihat sejumlah argument yang sering diajukan untuk membenarkan tindakan aborsi. Semua argument itu berkaitan dengan perbandingan nilai antara kehidupan fetus yang masih berkembang dengan sejumlah nilai lainnya. Pemahaman yang harus dimiliki adalah bahwa dalam sebuah situasi di mana hanya ada satu nilai yang harus dipertahankan dari sekian banyak nilai yang ada, pilihan logis dan yang lebih bermoral-lah yang harus dipilih. Hukum moral itu rasional dan tidak memperbolehkan kita mengambil tindakan yang tidak rasional.
E.1. Kehidupan Sang Ibu
Dalam sejumlah kasus, kehidupan ibu dapat dibahayakan bila kehamilan diteruskan. Salah satu contohnya adalah dalam kehamilan ektopis. Maksudnya adalah bahwa sel telur yang dibuahi tidak berpindah ke dalam rahim tapi ke dalam saluran telur dan berkembang di sana. Dalam situasi yang demikian, embrio jelas tidak mungkin dapat bertahan hidup dan hal itu akan menyebabkan pendarahan yang membahayakan kehidupan sang ibu. Situasi ini merupakan salah satu contoh kasus di mana satu kehidupan berada dalam kondisi yang berlawanan dengan kehidupan lainnya. Hanya kehidupan ibu yang bisa diselamatkan sehingga tidaklah dapat diterima jika janin itu tidak dapat dipindahkan karena jika tidak dilakukan, maka kedua-duanya akan mati.
Maka, aborsi boleh dilakukan dengan pertimbangan bahwa lebih baik menyelamatkan satu kehidupan daripada keduanya binasa.
E.2. Kesehatan Ibu
Mari kita lihat kasus aborsi terapeutis. Dalam kasus ini, kehidupan janin bertentangan dengan kesehatan sang ibu yang mengandung. Para pendukung aborsi terapeutis berargumen bahwa kesehatan ibu yang hamil lebih penting daripada kehidupan janin. Kesehatan fisik menjadi yang lebih utama dalam kasus ini.
Ada sejumlah persoalan berkaitan dengan pandangan ini. Pertama, kehidupan manusia jauh lebih penting daripada sekedar kesehatan fisik. Karena itu dipertanyakan, apakah aborsi perlu dijalankan demi kesehatan? Sakit yang tidak berkaitan dengan kehamilan, tidak harus disembuhkan dengan aborsi. Kehidupan janin adalah nilai yang lebih besar daripada sekedar kesehatan fisik yang dapat diusahakan dengan obat-obat medis.
Kedua, kesehatan mental kurang dapat diterima sebagai alasan untuk melakukan aborsi. Kehamilan normal dari wanita yang menikah, bukanlah penyakit dan tidak menyebabkan gangguan mental. Misalkan, seorang wanita muda yang stress karena takut menghadapi kehamilan pertama. Untuk mengatasi stress itu, ia ingin mengaborsi anaknya. Alasan ini tidak dapat diterima. Sebab, stress-nya wanita itu, tidak membahayakan kehidupan.
E.3. Perkosaan dan Incest
Apakah aborsi diperbolehkan pada wanita korban perkosaan dan incest?
Menurut pandangan umum, seorang wanita yang hamil akibat perkosaan atau incest merupakan korban dari kekejaman dan kekerasan yang tidak manusiawi. Kerusakan mental dan penderitaan batin merupakan akibat langsung dari kehamilan yang terjadi secara terpaksa itu. Sering diajukan bahwa dalam kasus-kasus tragis seperti itu, nilai kesehatan mental dari wanita korban perkosaan, merupakan hal yang paling penting untuk diupayakan dan dapat dicapai dengan aborsi. Meneruskan kehamilan berarti membuat wanita itu menderita akibat trauma kekerasan yang dilakukan terhadapnya. Dengan kata lain, kesehatan mental korban perkosaan lebih penting dari kehidupan janin. Dalam kasus ini, janin dipandang sebagai seorang aggressor terhadap keutuhan dan kehidupan pribadi si wanita. Jika hanya aborsi yang menjadi jalan satu-satunya untuk mempertahankan nilai pribadi dan kemanusiaan si wanita itu, maka aborsi dapat dibenarkan.
Bagaimana pandangan moral berkomentar?
Janin yang muncul dalam korban perkosaan bukanlah aggressor. Yang menjadi aggressor adalah si pelaku perkosaan itu sendiri. Dalam situasi itu, janin adalah sama dengan si wanita. Mereka adalah korban yang tak bersalah. Karena itu, janin tidak dapat dibunuh dengan tuduhan sebagai aggressor. Jika diadakan perbandingan nilai antara kehidupan janin dengan pemulihan psikologis wanita melalui aborsi, maka kehidupan manusia jelas-jelas secara obyektif tetaplah lebih tinggi daripada nilai yang ingin dicapai wanita melalui aborsi itu. Dalam kasus ini, harus dicari upaya alternative untuk menolong korban, yaitu dengan penanganan religius, psikologis, dan social serta menyiapkan adopsi bila wanita tidak ingin memelihara bayi hasil perkosaan itu. Dengan kata lain, moral tetap melarang adanya aborsi untuk kasus-kasus seperti ini.
E.4. Aborsi Eugenis
Argumen yang diajukan oleh para pendukung aborsi eugenic adalah bahwa lebih baik bagi seorang bayi untuk tidak lahir daripada lahir dengan beban fisik yang cacat berat seumur hidup. Karena itu, aborsi dibenarkan bila ditemukan sejumlah kerusakan fisik pada janin yang sedang berkembang dalam rahim ibu.
Bagaimana dengan pandangan moral?
Ada dua nilai yang dipertentangkan, yaitu mempertahankan kehidupan bayi, dan membebaskan bayi dari penderitaannya sebagai bayi yang nantinya cacat. Aborsi eugenic dilakukan tidak demi si janin yang cacat karena tidak membawa keuntungan atau kesembuhan bagi si janin itu sendiri, tapi hanya untuk mengakhiri kehidupannya. Cacatnya si janin itu, bukanlah alasan untuk menghancurkan kehidupan mereka yang baru saja dimulai. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak cacat yang mampu menikmati kehidupan mereka sesuai kemampuannya dengan gembira. Bahkan, sejumlah dari mereka menjadi orang yang berprestasi dan berperanan penting. Kodrat social manusia mewajibkan setiap orang untuk memperhatikan dan memelihara mereka yang cacat. Karena itu, aborsi eugenic tidak pernah dapat dibenarkan.
E.5. Aborsi dan wanita yang tidak menikah
Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa kebanyakan wanita pelaku aborsi adalah mereka yang mengalami kehamilan di luar nikah. Alasan permintaan aborsi mereka adalah bahwa mereka tidak mau dibebani tanggung jawab akibat hubungan seksual pra-nikah yang mereka lakukan. Pada kasus ini, aborsi dilakukan untuk mengatur kelahiran. Kelompok pro-aborsi setuju bahwa aborsi harus dilakukan agar tidak menyebabkan derita batin bagi para gadis remaja itu.
Pandangan moral jelas menyatakan bahwa aborsi bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah itu. Janin hasil seks pra-nikah tetap harus dipertahankan untuk lahir. Dan, ketika lahir, bila sang wanita tidak siap merawatnya, maka adopsi menjadi jalan yang lebih bermartabat dibandingkan aborsi.
F. Gereja Katolik dan Aborsi
Aborsi bukanlah isu tunggal, tetapi terkait dengan penghargaan terhadap kehidupan yang harus dihargai sejak terjadinya konsepsi; penghargaan terhadap status hidup janin; penghargaan terhadap kesejahteraan ibu yang mencakup kemampuan untuk hamil dan melahirkan; serta penghargaan terhadap perlindungan sang ibu dari ancaman penyakit.
Gereja Katolik sudah secara tegas mengajarkan bahwa kehidupan dimulai sejak terjadinya pembuahan. Karenanya, itu harus dihormati dan dilindungi. Aborsi pada dirinya adalah jahat dan tidak netral. Gereja Katolik tetap menegaskan bahwa penghargaan terhadap kehidupan sejak pembuahan adalah nilai yang harus diperjuangkan. Gereja melarang semua bentuk aborsi yang disengaja. Hal itu dikatakan secara nyata dalam dokumen-dokumen Gereja, seperti halnya Humanae Vitae, Donum Vitae, dan Evangelium Vitae.
Lebih lantang lagi, Gereja Katolik mengutuk aborsi karena beberapa alasan berikut:
1. Aborsi adalah tindakan yang melanggar perintah Allah yang ke-5.
2. Pada prinsipnya, semua kehidupan adalah kudus (Donum Vitae art.5)
“Kehidupan manusia adalha kudus karena sejak awal ia membutuhkan kekuasaan Allah pencipta dan untuk selama-lamanya tinggal dalam hubungan khusus dengan Penciptanya. Hanya Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir. Tidak ada seorang pun yang berhak mengakhiri secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah.
3. Aborsi adalah kejahatan moral.
Dalam sejarahnya, Gereja juga tidak henti-hentinya menentang praktek aborsi. Pada tahun 80 M, para Rasul secara jelas melarang pembunuhan terhadap anak yang baru dilahirkan. Selanjutnya, pada tahun 177 M, Athenagoras menyatakan bahwa umat Kristen menganggap para wanita yang menelan ramuan untuk mengugurkan kandungannya sebagai para pembunuh. Ia mengutuk pembunuh-pembunuh itu. Pada tahun 197 M, Tertulianus dalam Apologeticam menyatakan bahwa mencegah kelahiran adalah melakukan pembunuhan. Pada tahun 374 M, dalam suratnya kepada Uskup Amphilochius, St. Basilius menyatakan bahwa seorang wanita yang dengan sengaja membinasakan janin, haruslah diganjari dengan hukuman seorang pembunuh. Mereka yang memberikan ramuan yang mengakibatkan aborsi juga harus dipandang sebagai pembunuh.
Selasa, 21 April 2009
Langganan:
Postingan (Atom)